Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 12 May 2020

FILM – Disangka Ateis


Endong Johan bingung ketika dibawa ke lapangan sepak bola Jayanti, Cianjur, Jawa Barat. Setiba di sana, Endong yang telah dikumpulkan bersama banyak orang disuruh duduk, tiarap lalu mengelilingi lapangan. Setelah itu, ia digiring ke markas komando militer setempat.

Di dalam sana, seorang tentara menodongkan pistol dari jarak dekat ke arahnya. Ia mengacungkan pistolnya sembari duduk di atas meja yang salah satu penyangganya menginjak kaki Endong.

Istri Endong, Timih Hima Yanti, tak kuasa menangis ketika mengingat peristiwa itu. Walau terjadi pada tahun 1989, 31 tahun silam, Yanti tak pernah melupakannya.

Mereka disiksa, kata Yanti, lantaran masuk daftar orang-orang yang dinilai anggota partai komunis. Partai yang dianggap tidak percaya kepada agama.

“Disangkanya kamu itu PKI, nggak punya agama, kamu itu mau ganti pemerintahan. Katanya begitu,” ujar Yanti.

Demikian potongan kisah yang diangkat dalam film dokumenter Atas Nama Percaya. Film berdurasi 36 menit ini merupakan karya kolaborasi Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, Watchdoc Documentary, Universitas Boston Amerika Serikat, dan Henry Luce Foundation.

Koordinator riset film dari CRCS Syamsul Maarif mengatakan, setelah peristiwa 30 September 1965 meletus, pemerintah terus menerus berupaya membumihanguskan PKI. Bukan hanya pengurusnya, tapi juga seluruh simpatisannya.

“Kelompok kepercayaan pun ikut terkena dampaknya,” tuturnya. Dalam kisah di atas, Yanti dan suaminya merupakan penghayat kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalanan.

Pada masa itu, siapapun yang tidak memeluk satu dari enam agama resmi negara segera dicurigai bahkan dituduh komunis. Walhasil, orang-orang penghayat kepercayaan juga dituding tak beragama, ateis dan antek PKI.

Menurut Syamsul, ada banyak cerita penganut kepercayaan yang tidak tahu menahu persoalan PKI tapi ikut diculik dan diintimidasi. Mereka diculik lantaran tak dapat menunjukkan tanda sebagai penganut salah satu agama yang diakui negara. Sejak itu, para penghayat kepercayaan berbondong-bondong menyatakan diri sebagai pemeluk salah satu agama demi terhindar dari persekusi.

Film ini kemudian menggambarkan pasang surut pengakuan negara terhadap penghayat kepercayaan sejak Orde Baru hingga era reformasi. Pada tahun 1978 misalnya, negara mengadakan kolom agama dalam KTP. Tapi, pada tahun yang sama, kepercayaan ditegaskan bagian dari budaya, bukan agama.

Hingga tahun 2006, penghayat terpaksa mencantumkan salah satu agama resmi negara pada kolom agama di KTP mereka. Jika tidak memiliki KTP, mereka tak dapat mendapatkan layanan fasilitas negara seperti kesehatan dan pendidikan.

Film Atas Nama Percaya mencontohkan pria bernama Frans Seingo Bani. Meski menganut agama leluhur Marapu di Sumba Barat Daya, Frans menulis Katolik di kolom agama KTP-nya. Ia melakukan siasat ini demi terhindar dari kendala mengakses fasilitas negara.

Namun, melalui putusan Mahkamah Konstitusi pada November 2017, penghayat akhirnya dapat mencantumkan nama aliran kepercayaanya di KTP. Kepercayaan pun resmi diakui setara dengan agama.

Sampai di sini, masalah ternyata belum tuntas. Film ini menyampaikan kepada kita bahwa pengakuan kesetaraan sebagai tangga menuju kewarganegaraan yang inklusif masih menjadi tantangan di Indonesia.

Tapi setidaknya NU dan Muhammadiyah menghargai keberadaan warga penghayat kepercayaan. “Putusan resmi NU dalam satu sidang pelno di Yogya menyatakan bahwa NU tidak akan pernah melakukan pengkafiran, pembidah’an, penyesetan terhadap kelompok siapapun,” kata Ketua PBNU Imam Aziz.

Film seri pertama dari ‘Indonesian Pluralities‘ ini dapat ditonton di akun Youtube CRCS UGM yang dipublikasikan sejak 18 Januari 2020. Mutu film tentu tak terpisahkan dari pemain di balik layar. Di antaranya Syamsul Maarif yang dikenal lama sebagai peneliti agama-agama lokal. Ia pernah mengenyam pendidikan doktoral di Arizona State University AS sebelum kembali mengajar di UGM. Syamsul menulis banyak karya, salah satunya Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur (CRCS UGM, 2017).

Film ini semakin berkualitas dan enak ditonton lantaran produksinya melibatkan Watchdog. Rumah produksi ini telah menelurkan beragam tontonan menarik dan edukatif. Satu di antaranya ialah Asimetris yang pernah ditayangkan di stasiun televisi Qatar Al Jazeera.

***

-Judul film: Atas Nama Percaya

-Produser: Andhy Panca, Dandhy Dwi Laksono

-Sutradara: Ari Trismana

-Koordinator riset: Syamsul Maarif

YS/Islamidonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *