Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 29 December 2013

Shalat di Gereja, Kebaktian di Masjid


Sebuah gereja dan masjid yang berdampingan di Aman, Yordania (foto: ncdalliance.org)

 

“Perbedaan tidak harus menjadikan kita saling membunuh…” (Gerson Poyk) 

Beberapa waktu lalu, media-media Inggris melaporkan suatu kejadian menarik di  Aberdeen. Sebuah gereja bernama Episkopal Saint John menyediakan salah satu bagian gedung mereka untuk penyelenggaraan salat jumat bagi umat Islam setempat.  Peristiwa  tersebut terjadi ketika satu hari, Pendeta Isaac Pooblan (50) menyaksikan kondisi masjid yang menjadi tetangga mereka itu, sangat sempit sehingga tidak bisa memuat  jamaah yang datang ke sana.  

“Masjid itu selalu sangat penuh di beberapa kesempatan. Ada banyak orang yang berdoa sambil diterpa angin dingin dan hujan,” ujar pimpinan gereja tersebut. 

Sang pendeta merasa tidak nyaman menyaksikan kondisi seperti itu. Tersirat dalam pikirannya bahwa tak ada gunanya ia sebagai mahluk Tuhan jika tidak bisa berbuat sesuatu untuk membantu para jamaah masjid itu. Menutup mata dari situasi ini, menurutnya sama juga dengan situasi ketika dirinya tidak menjalankan keyakinannya dengan benar. 

“Terdapat begitu banyak Muslim yang shalat di luar ketika salju turun pertama kali di musim dingin dan itu pemandangan yang sulit sekali untuk diabaikan,” katanya. 

Sekitar 1500 tahun yang lalu, tawaran untuk menjalankan shalat di gereja juga pernah dilontarkan oleh Uskup Agung Yerussalem bernama Sophonius. Alkisah, waktu zuhur telah tiba saat rombongan Khalifah Umar yang didampingi Uskup Sophonius mencapai  dataran tinggi Zion Yerussalem. 

Otomatis kegiatan inspeksi Khalifah Umar pasca penaklukan Yerussalem oleh pasukan Arab Islam itu dihentikan sementara. Khalifah Umar ibn Khattab lantas dengan sopan memohon waktu kepada Uskup Sophonius untuk menjalankan terlebih dahulu shalat dzuhur. 

Menanggapi permohonan tersebut, Uskup Sophonius menawarkah Khalifah Umar untuk mendirikan shalat di  Gereja Suci mereka saja yang terletak di Bukit Zion. Tawaran yang ramah itu disambut hangat oleh Khalifah Umar. Namun seperti diceritakan Joesoef Sou’yb dalam Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, tawaran tersebut dengan sopan ditolak oleh Umar. Alasannya:” Kalau saya shalat di situ, saya khawatir orang-orang Muslim di masa yang kan datang akan merampas gereja Tuan dan menjadikannya sebuah masjid.” 

Umar lantas menggariskan sebuah tanda dengan kakinya di sebidang tanah yang terletak pas di sisi gereja yang dipandang suci oleh kaum Kristiani tersebut. Di situlah ia dan para panglima serta prajurit Arab Islam melaksanakan shalat zuhur. Beberapa waktu kemudian di tanah itu berdirilah sebuah tempat ibadah umat Islam yang sekarang dikenal sebagai Masjid Umar. 

Penolakan yang dilakukan oleh Umar sesungguhnya didasarkan pada alasan antisipasi terjadinya klaim politik di kemudian hari, bukan karena alasan aqidah. Umar paham soal itu dibolehkan karena jauh sebelumnya, Rasulullah pun pernah menyilakan orang-orang Kristen untuk melanjalankan kebaktian di masjid. 

Dalam al-Sirath al Nabawiyat Juz II, sejarawan Arab terkemuka Ibn Hisyam menceritakan perihal 60 Kristiani Najran yang suatu hari mengunjungi Rasulullah di Madinah. Di antara mereka ada 14 orang pimpinan Kristen Najran terkemuka, diantaranya Abdul Masih, Ayham, Zaid, Abdullah, dan Abu Haritsah bin Alqama. 

Diceritakan, begitu rombongan Kristen dari Najran yang berpakaian jubah dan surban tersebut sampai di Madinah, mereka langsung diarahkan menuju masjid, karena saat itu Rasulullah tengah melaksanakan shalat Ashar. Usai sholat Rasulullah kemudian menemui mereka.

Di tengah pembicaraan yang akrab itu, tiba-tiba ketua rombongan Kristen Najran meminta izin untuk melakukan kebaktian. Dengan ramah, Rasulullah lantas menyilakan mereka untuk menjalankan kebaktian di dalam masjid tersebut. Mereka lantas berdiri dan melakukan kebaktian dengan menghadap ke arah Timur.  

Itulah sekelumit kisah-kisah sejarah yang menjadi bukti bahwa sesungguhnya sikap toleran bukan suatu hal yang asing di dalam kehidupan beragama para penduhulu kita. Lantas mengapa hari ini kita harus saling mengusir dan menolak ketika masing-masing saudara kita beda agama akan mendirikan tempat ibadahnya? 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *