Satu Islam Untuk Semua

Monday, 13 January 2014

Merenungi Akar Terorisme


Awal tahun baru 2014 Indonesia diramaikan bukan sekadar petasan, tetapi  dentuman peluru dari senapan densus 88. Tangerang Selatan, Rabu, 1 Januari polisi menggerebak terduga teroris dengan penggerebekan dan 6 orang tewas tertembak. Kontroversi lahir, pelumpuhan secara tiba-tiba ini adalah modus yang diulang. Tanpa diinterogasi, baru terduga sudah tereksekusi. Apapun itu, mata masyarakat Indonesia khususnya Tangerang terbelalak sebab terosis masih ada dan dekat dengan mereka. Sebaliknya, masyarakat Indonesia juga optimis damai dapat disemai di tengah teror yang ada.

Teror bukanlah sekadar tindakan horor tanpa makna. Dan perlu dipahami bahwa tindakan terorisme menyangkut nyawa manusia. Tidak heran bila chaos yang ditimbulkan menyebabkan kegelisahan masyarakat. Memang untuk itulah teroris ada, teror lahir untuk menakuti.

Teroris berasal dari akar kata teror yang bermula dari bahasa latin, yang artinya menakut-nakuti atau membuat orang menjadi takut dan tidak aman. FBI mendefinisikan teroris dengan “The unlawful use of force or violence against person or property to intimidate or corce a government, the entire population, or any segment theorof, in furtherance of political or social objectivities”.

Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa teroris merupakan suatu bentuk tindak kekerasan pelanggaran hukum yang ditujukan ke masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat dengan sasaran sesungguhnya adalah pemerintah sah demi terwujudnya aspirasi politik atau sosial pelaku. Hal ini sebagai wujud dikarenakan ada intimidasi atau deskriminasi pada pelaku yang berasal dari pemerintah. Tidak didengarnya aspirasi oleh pemerintah pun menjadi alasan pekaku teror melakukan tindakan teror ini.

Masyarakat pun menjadi korban dari tindakan teror. Ketidakmampuan pelaku teror untuk memukul langsung pemerintah membuat tindakan teror dialihkan ke unsur terpenting dari pemerintah, yaitu rakyat. Ketika pemerintah tidak bisa melindugi warganya dari tindakan teroris, otomatis fungsi pemerintah sebagai pengaman negara dipertanyakan. Pilihannya, pemerintah perlu memberantas teroris tersebut atau menangkap pesan dari teror tersebut.

Pada perkembangannya, teroris dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau pemerintah kepada rakyatnya. Pemikiran politik Machievelli yang menegaskan bahwa demi tujuan politik dan kekuasaan  segala hal dapat dibenarkan. Teori inilah pendorong tindakan teror penguasa ataupun pengincar kekuasaan untuk menghalalkan segala cara.

Misalnya, pada zaman Romawi, Kaisar Tamerlane pernah memanggal kepala ribuan musuh yang ditaklukkan dan menjadikannya pagar serta piramid. Awal abad 20, fenomena teroris mencuat di tangan Hitler yang membantai kaum Yahudi. Juga ada Stalin kepada rakyat jika memiliki perbedaan pandangana politik dengannya. Di era globalisasi pasca perang dunia kedua, pelaku teror diusung oleh mereka yang berada di luar pemerintah atau “non state actor”. Latar belakang munculnya teror dari masyarakat untuk masyarakat adalah radikalisme ideology.

Teror ini lahir sebagai kelompok teror internasional. Pada 1970 dunia digemaprkan dengan aksi Tentara Merah, terutama dengan aksi pembajakan pesawat. Di bandara-bandara dunia pada waktu itu sering terlihat poto dari 15 tokoh Tentara Merah, banyak di antaranya perempuan. Aksi mereka paling dikenal adalah ketika melakukan penyerbuan di Bandara Lod, Israel, pada 1972. Banyak korban berjatuhan dan tidak ada yang pernah mengethaui siapa pendukung dana aksi mereka. Selain itu, ada kelompok Brigade Merah Italia pada periode yang sama. Kelompok ini berkembang di kalangan mahasiswa komunis sekitar tahun 1969. Kelompok ini menjadi kelompok dengan pegangan ideologis kuat, yaitu komunisme. Kelompok ini solid dan menyebut kelompoknya sebagai ultrakiri ekstrem.

Brigade Merah Italia menyerang lambang-lambang establishment, pemimpin negara, pemimpin partai, dan pengusaha kapitalis besar. Puncaknya terjadi ketika mereka menculik PM Italia Aldo Moro pada 1978. Pm Italia, Aldo Moro, diculik selama 2 tahun sebelum akhirnya terbunuh dan mayatnya ditemukan di Roma.

Belakangan, radikalisme ini mengerucut pada ideologi keagamaan dengan aroma kebencian. Aksi runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat yang dicurigai didalangi kelompok Al Qaeda membuka mata dunia pada aksi teror berbasis agama Islam. Di Kristen ada kelompok Timothy McVeigh yang meledakkan gedung federal di Oklahoma. Kelompok hindu radikal menghancurkan masjid di Ayodya (India) dengan dalih tempat tersebut adalah tempat kelahiran Si Rama.

Di Indonesia, terorisme berakar dari gerakan separatisme. Tindakan represif masa Orde Baru melandasi kebangkitan gerakan Islam sebagai korban deskriminasi represif pemerintah. Darul Islam (DI) adalah respon tindakan represif pemerintah dengan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). DI melawan pemerintah dengan banyak aksi kekerasan, terlebih ketika asas tunggal Pancasila diberlakukan. Pada perkembangannya, ditangkapnya Kartosuwiryo, perpecahan ditubuh DI, juga penangkapan petinggi DI oleh TNI, menjadikan DI hilang sementara dan hijrah ke Timur Tengah, Afghanistan salah satunya.

Greg Fealy dan Aldo Borgu menyebutkan pengiriman kader DI ke Afghanistan sebagai “mujahidin-isation” yang meningkatkan kapabilitias kelompok radikal Islam di Indonesai untuk melakukan kampanye teror. Kontak dengan Afghanistan menjadi jendela hubungan kelompok radikal Islam di Indonesia dengan kelompok radikal Islam lainnya di seluruh dunia. Doktrin Salafy Jihadi sepulang dari Afghanistan menjadi cikal bakal terbentuknya Jamaah Islamiyah yang diisi anggota pecahan dari DI.

Doktrin Salafy Jihadi pada tubuh Jamaah Islamiyah menjadi dasar gerakan dalam aksi terorisme di Indonesia pada rentang waktu tahun 2000 sampai tahun 2005. Aksi mereka dimulai dari Bom Natal tahun 2000, 81 Bom dan 29 peledekan di Jakarta tahun 2001, Bom Bali I tahun 2002, Bom Marriot tahun 2003, Bom Kedutaan Besar Australia tahun 2004 serta Bom Bali IItahun 2005. Pada periode ini kelompok JI menjadi sorotan karena pelaku-pelaku dari aksi-aksi terorisme tersebut, seperti Hambali, Imam Samudera, Ali Imron, Ali Ghufron,  Amrozi, Dr. Azahari Husein serta Noordin M. Top merupakan anggota JI. Aksi yang dilancarkan bukan sekadar meneror musuh melainkan juga bagian dari kewajiban di jalan Allah melawan kaum kafir.

Persentuhan Islam Indonesia dengan internasional dapat diketahui bahwa aksi terorisme Indonesia bermula ketika aksi represif dilakukan pada masa Orde Baru. Aksi represif pada zaman Orde Baru pun adalah bagian dari teror, tindakan menakuti masyarakat dengan pembatasan dan pengekangan. Kemunculan aksi teror saat ini adalah ideology yang dibawa dari Afghanistan sebagai akibat larinya beberapa umat Islam Darul Islam yang mengalami represi Orde Baru.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *