Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 12 September 2019

Memahami Peristiwa Asyura


Islamindonesia.id – Memahami Peristiwa Asyura

Perinstiwa Asyura merupakan salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah kehidupan umat manusia. Setelah hampir 1400 tahun berlalu, tapi hikmah yang terkandung dalam peristiwa tersebut masih terus mengucur tanpa henti.

Setiap tahun, di berbagai belahan dunia, momen peringatan ini digelar dengan berbagai cara, baik dalam bentuk festival, upacara, tradisi budaya, hingga diskusi ilmiah. Salah satunya adalah diskusi ilmiah yang digelar di Jakarta, pada 9 Muharram 1441 H/9 September 2019, yang menghadirkan pemantik Musa Kadzim.

Berikut ini adalah sedikit rangkuman dari hasil diskusi tersebut, yang diharapkan bisa menambah perspektif kita mengenai peristiwa besar dalam sejarah umat manusia yang terjadi tepat 1380 tahun yang lalu.

Asyura Milik Semua

Peringatan syahadah Imam Husain di hari Asyura seharusnya tidak terkait dengan urusan mazhab dan agama tertentu. Peringatan syahadah Karbala merupakan praktik agung tentang cinta dan ihsan sebagai puncak keberagamaan dan kemanusiaan. Rasulullah Saw bukan hanya milik kaum Muslimin, melainkan beliau diutus sebagai kasih sayang (rahmat) untuk sekalian alam semesta.

Demikian juga Imam Husain, bukan hanya milik Muslimin apalagi penganut mazhab tertentu. Sifat posesif berlebihan seringkali mempersempit pelajaran dan teladan yang dapat diambil dari peristiwa dan gerakan suci ini.

Ahlul Bait adalah terminologi Qurani. Walaupun didefinisikan secara beragam, namun ada sebuah irisan pendapat yang disepakati oleh seluruh kalangan bahwa setidaknya Ahlul Bait mencakup Ahlul Kisa yang di dalamnya termasuk orang-orang yang menemani Rasulullah Saw dalam naungan kain (kisa) asal Yaman. Mereka adalah Imam Ali, Sayyidah Fatimah az-Zahra, Imam Hasan dan Imam Husain. Dengan demikian, Imam Husain yang merupakan tokoh sentral dalam tragedi Karbala adalah seorang manusia yang disepakati oleh seluruh kalangan sebagai Ahlul Bait yang disucikan oleh Allah SWT sesuai dengan surah Al-Ahzab ayat 33.[1]

Tragedi Karbala melibatkan kelompok yang mendukung Imam Husain dan kelompok yang mendukung Yazid. Di pihak pendukung Imam Husain ada kelompok Syiah Ali dan juga kelompok-kelompok Muslimin lainnya. Bahkan terdapat pula non-Muslim yang berada di kalangan pendukung Imam Husain.

Sedangkan di pihak musuh, selain para prajurit Yazid, juga terdapat kelompok-kelompok yang semula mengaku sebagai pendukung Ali. Bermacam-macam kelompok itu ikut memerangi Imam Husain di hari Asyuro dengan motif-motif duniawi yang hina. Pasca tragedi Karbala, pihak-pihak musuh Imam Husain menyesal karena merasa bersalah dan sedikit banyak ikut berkontribusi pada tragedi Karbala.

Lebih jauh, perjalanan Imam Husain dari Madinah menuju Makkah tanpa menuntaskan haji yang sedang dilaksanakannya untuk menuju Karbala (neinaweh/nainawa menurut istilah Injil), pada hakikatnya merupakan napak tilas dari perjalanan tauhid Nabi Ibrahim as.

Hal-hal di atas semakin menguatkan bahwa peristiwa Karbala adalah milik semua kalangan, setidaknya mereka yang memahami tradisi agama Ibrahim. Membuatnya menjadi seolah peristiwa sektarian adalah sikap dan perbuatan batil yang dapat mengerdilkan nilai perjuangan dan pengorbanan Imam Husain, keluarga dan para syuhada Karbala kala itu.

Asyura, Kulminasi Proses Panjang Perlawanan Pemuja Kepentingan

Makkah adalah sebuah kota perdagangan dan pariwisata yang terkenal di seluruh jazirah Arab. Popularitasnya bahkan menjangkau sampai ke daratan Eropa, Afrika dan Asia. Jauh dari stigma bahwa Makkah merupakan area perkampungan gurun terpencil yang jauh dari peradaban, ia sebaliknya merupakan kota metropolis yang dihuni masyarakat pedagang yang penuh dengan intrik-intrik dan perebutan penguasaan Kabah yang telah menjadi magnet umat beragama global di masa itu.

Kabilah-kabilah (Bani) yang ada di kala itu sebenarnya lebih banyak diikat oleh kepentingan politik dan ekonomi ketimbang hubungan darah. Karena pada zaman itu masyarakat banyak tidak memerhatikan penjagaan nasab, kecuali Bani Hasyim yang masih menjaga persoalan keturunan secara terhormat. Jadi, perseteruan Bani Umayyah dan Bani Hasyim yang sama-sama dari Quraisy lebih tepat dipadankan dengan perseteruan partai politik ketimbang pertikaian keluarga. [2]

Kerasulan Muhammad Saw dianggap oleh kelompok-kelompok ini sebagai ancaman besar atas kepentingan politik dan ekonomi mereka. Kerena mengancam kepentingan itulah maka berbagai cara dilakukan untuk menghentikan pengaruh Nabi Muhammad Saw. Termasuk di antaranya upaya kompromi aqidah dan peribadatan yang ditolak oleh Nabi saw (seperti diceritakan dalam surah al-Kafirun). Sampai dengan ujungnya menyebabkan Rasulullah terusir/hijrah ke Madinah.

Masyarakat Madinah berbeda karakter dengan masyarkaat Makkah. Masyarakat Madinah adalah masyarakat pertanian (agraris) dan heterogen dibandingkan Makkah yang didominasi masyarakat pedagang dengan persaingan kepentingan politik dan ekonomi yang sangat keras.

Hijrah Rasulullah Saw ke Madinah membuat terpisahnya kelompok pengikut dan musuh Rasulullah Saw. Penerimaan masyarakat Madinah kepada Rasulullah semakin membuat panas masyarakat Makkah, sehingga mereka terus melancarkan serangan-serangan frontal kepada kaum Muslimin di Madinah, termasuk dengan memanfaatkan jaringan perdagangan internasional yang mereka miliki selama ini.

Hingga akhirnya Rasulullah Saw dan Muslimin berhasil “membebaskan” Kota Makkah melalui peristiwa yang dikenal dengan “Fathu Makkah” yang sangat dahsyat itu. Pada peristiwa Fathu Makkah itu Rasulullah Saw di luar dugaan dan kebiasaan semua kalangan justru melakukan pengampunan massal terhadap para pihak yang selama ini selalu memusuhinya, memeranginya, membunuh keluarga dan sahabat tercintanya. Bahkan, beliau memberikan jaminan keamanan bagi siapapun yang berlindung di rumah pemimpin musuhnya, yaitu Abu Sufyan.

Musuh-musuh Rasulullah Saw yang dibebaskan tersebut (thulaqo) dan kemudian “masuk” dalam masyarakat Islam ini manfaatkan keadaan untuk membangun kekuatan dan merusak dari dalam. Mereka yang dulunya melakukan aksi perlawanan eksternal, sejak fathu Makkah, memperoleh momen untuk melakukan konsolidasi dan infiltrasi pengaruh di internal kaum Muslimin. Kaum thulaqo ini lantas membangun kekuatan munafiqin di internal kaum Muslimin dan memecah belah kekuatan yang semula solid.

Perpecahan mulai terlihat jelas begitu Rasulullah Saw wafat. Peristiwa Saqifah menunjukkan gesekan serius antara kelompok muhajirin dan anshor yang meninggalkan Ahlul Bait Nabi Saw. Kelompok para thulaqo ini terus bergerak mengkonsolidasi kekuatan dan melemahkan musuh-musuhnya, terutama dari kalangan Ahlul Bait Nabi Saw.

Namun demikian, pada masa kekhalifahan Abubakar, Umar dan Utsman, peran Ahlul Bait masih dijadikan sebagai penasihat dan rujukan keputusan-keputusan strategis yang menyangkut kepentingan negara. Meskipun begitu, kelompok thulaqo ini terus menggalang kekuatan sendiri dan membuat berbagai perpecahan di kalangan Muslimin. Muawiyah pun berkuasa di Syam sejak zaman khalifah Umar dan terus berkuasa hingga masa Imam Ali menjadi khalifah.

Isu-isu perpecahan seperti isu antara Arab dan Ajam juga terus dihembuhkan pada masa ini hingga puncaknya adalah terbunuhnya Khalifah Umar oleh Abu Lukluk yang orang ajam (Persia). Dibunuhnya Khalifah Utsman bin Affan kemudian juga dimanfaatkan oleh kelompok musuh Rasulullah ini untuk memfitnah Imam Ali yang mereka stigma sebagai pihak yang bertanggungjawab atas terbunuhnya Khalifah Utsman tersebut. Sehingga kemudian terjadilah berbagai pemberontakan terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang sah oleh kaum Muslimin akibat hoax yang mereka sebarkan.

Pada zaman kekhalifahan keempat ini, produksi hoax massal (termasuk hadits-hadits palsu) dan aksi-aksi teror juga mereka lancarkan untuk membuat stigma buruk pada masyarakat terhadap kemampuan Ali bin Abi Thalib dalam menjalankan kekhalifahan. Sampai akhirnya khalifah Ali bin Abi Thalib dibunuh di mihrab shalatnya oleh seorang khawarij, Abdurrahman Ibn Muljam.

Kaum Muslimin lalu sepakat membaiat Imam Hasan sebagai Amirul Mukminin. Tapi Imam Hasan saat itu melihat kondisi pendukungnya terlalu lemah akibat berbagai kekacauan, pemberontakan dan peperangan yang didalangi oleh kaum thulaqo. Akhirnya Imam Hasan memutuskan untuk membuat perjanjian damai dengan Muawiyah yang memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dengan sejumlah syarat. Salah satu yang terpenting adalah janji untuk tidak memberikan khalifah berikutnya kepada Yazid anaknya yang terkenal sebagai seorang pendosa yang nyata.

Imam Hasan kemudian terbunuh dengan racun istrinya atas perintah Muawiyah. Dan Muawiyah mengingkari kesepakatan dengan Imam Hasan dengan mewariskan khalifah tersebut pada Yazid.[3]

Yazid melalui aparatnya kemudian menekan Imam Husain untuk membaiatnya. Tentu saja Imam Husain menolak karena dia tahu siapa Yazid dan akan mengancam eksistensi risalah yang dibawa oleh kakeknya  jika orang seperti Yazid ini menjadi pemimpin kaum beriman. Sehingga Imam Husain pun menolak dan kemudian pergi berhaji ke Makkah.

Lalu setelah mendapatkan kabar bahwa banyak penduduk Kufah yang mendukungnya maka Imam Husain pun bersama rombongan berangkat ke Kufah. Namun di tengah perjalanan dia dihadang oleh pasukan yang dikirim oleh Gubernur Bashrah saat ini, yaitu Ubaidillah bin Ziyad bin Abihi (salah seorang dari bani Umayyah yang tidak jelas keturunan ayahnya).

Imam Husain dihadang di sebuah tempat bernama Karbala atau yang jika menggunakan bahasa biblikal dikenal dengan Nainawa (Neinava). Dan kemudian terjadilah pembantaian maha dahsyat terhadap cucu kesayangan Rasulullah Saw, salah seorang yang disepakati semua muslimin sebagai Ahlul Bait Nabi Saw, termasuk ayah, ibu dan kakaknya juga.

Pengorbanan ini benar-benar membuka mata semua manusia mengenai siapa yang berada di atas kebenaran di satu sisi dan yang berada sebagai musuh kebenaran yang sangat nyata di sisi yang lain. Semua manusia yang memiliki sedikit saja hati dan akal pastilah akan dapat membedakan siapa sebenarnya kelompok musuh Rasulullah Saw yang sebelumnya banyak bersembunyi melalui berbagai intriknya.

Tragedi karbala merupakan kulminasi dari proses panjang yang telah terjadi dari sejak jauh sebelumnya, bahkan sejak masa Rasulullah Saw. Proses panjang inilah yang kiranya dapat ikut menjawab pertanyaan bagaimana bisa sekelompok kaum Muslimin membantai seorang figur suci kecintaan Nabinya secara sangat sadis dan bengis. Dan hanya pada waktu sekitar 50 tahun sepeninggal Nabi Saw. Bagaimana bisa? Jawabannya, pembantaian itu merupakan kulminasi dari proses panjang perlawanan dari para pemuja kepentingan yang disebut dengan kaum thulaqo.

Teladan Ahlul Bait Dari Tragedi Karbala

Ahlul Bait selalu memprioritaskan perdamaian di atas peperangan. Imam Ali walaupun tegas tapi juga selalu mendahulukan perdamaian dibandingkan perang. Lihat peristiwa tahkim yang Imam Ali mau menerima perdamaian kelompok Muawiyah meski mendapat protes dari kalangan pengikutnya sendiri.

Seringkali sikap Imam Hasan dibentur-benturkan dengan sikap Imam Husin. Padahal Imam Hasan dan Imam Husin berada pada kondisi yang berbeda. Kedua-duanya menjalankan ajaran Alquran, yaitu mendahulukan perdamaian baru kemudian melakukan perlawanan jika perdamaian itu dikhianati dan membahayakan kepentingan Muslimin dan masyarakat secara umum.

Bukti bahwa Ahlul Bait Nabi mendahululan perdamaian dibanding peperangan adalah sikap Ali Zainal Abidin yang menyaksikan kebengisan dan kekejian penguasa dalam membantai ayah, sanak keluarganya, dan kalangan sahabat setia ayahnya yang menolak membalas dendam.

Saat Mukhtar Al-Tsaqafi bangkit membalas dendam atas pembantaian Imam Husain, Ali Zainal Abidin tidak pernah merestuinya. Ketika bertemu dengan Mukhtar yang meminta restu atas kebangkitannya, Muhammad bin Al-Hanafiyyah, saudara Imam Husain yang tak ikut dalam peristiwa Karbala lantaran mengalami kelumpuhan kaki, jelas-jelas menolak. Dia menyatakan bahwa sikap kami adalah mengikuti sikap imam kami di zaman ini, yakni Ali Zainal Abidin. Yaitu, berdiam diri dan bersabar menghadapi musibah.

Hidup ini adalah ujian untuk berbuat Ihsan. Salah satu wujud dari Ihsan itu adalah berbuat baik kepada orang-orang yang berbuat buruk kepada kita. Begitulah teladan Rasulullah ketika Fathu Makkah yang memaafkan musuh-musuhnya. Meskipun hal itu berisiko memberikan kesempatan musuh-musuhnya untuk menggalang kekuatan kembali melakukan perlawanan. Imam Ali juga memberikan keteladanan serupa pada orang-orang yang memberontak padanya dan bahkan meminta agar pembunuhnya diperlakukan secara baik dan diberi makanan dan minum persis seperti yang dia makan dan minum. Mereka semua ini adalah teladan hidup yang benar sebagai muhsinin.

Dalam ajaran Islam ada yang disebuat sebagai judd dan ada pula ‘adl. Ketika itu menyangkut hubungan personal antar individu, maka dahulukan judd yaitu berbuat baik bahkan pada orang yang menyakiti kita. Namun apabila perbuatan tersebut sudah pada tahapan membahayakan masyarakat banyak, maka dahulukan penegakan keadilan. Ini yang dilakukan oleh Imam Husain.

Imam Husain bangkit untuk menegakkan keadilan, membela kaum yang tertindas walaupun harus mengorbankan dirinya dan puluhan keluarga dan sahabatnya. Ini juga merupakan wujud tingkat kecintaan Imam Husain pada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana pengorbanan Nabi Ibrahim yang mengorbankan anaknya yang ditunggu-tunggu kehadiran dan dicintainya demi cintanya kepada Allah SWT. Pada tragedi Karbala ini, Imam Husain bahkan mengorbankan puluhan keluarga dan sahabatnya untuk membuktikan cinta beliau kepada Allah dan makhluk-Nya.

Dengan demikian dapat dibayangkan, betapa ruginya kaum Muslimin apabila menjadikan peristiwa agung teladan cinta ini sebagai ajang konflik dan permusuhan sektarian. Meletakkan peristiwa ini dalam kerangka seperti itu justru menguatkan dendam dengan sesama Muslimin dan makhluk Allah SWT.

Sedangkan Rasulullah Saw dan Ahlul Bait sama sekali jauh dari sifat pendendam. Tidak ada teladan sama sekali dari figur-figur mulia nan suci itu yang bertujuan untuk memelihara dendam kusumat dan kebencian.

Oleh karena itu, mari kita ikut mengembalikan misi Imam Husain dalam pengorbanannya yang tak lain adalah wujud kecintaan beliau kepada Allah dan makhluk-makhluk dan kesediaannya untuk berkorban demi kecintaan tersebut. Jauh sekali dari kebencian sebagaimana yang dominan berada pada kelompok yang memusuhi mereka.

Sejarah juga mencatat bagaimana pengorbanan agung Imam Husain dan keluarganya ini lalu digunakan untuk kepentingan-kepentingan kelompok tertentu demi mencapai hasrat-hasrat rendah politik dan ekonomi. Semoga kita termasuk dalam kelompok yang membela misi suci beliau, bukan justru malah merusaknya. Dan itu tidak lain adalah dengan menekankan pada sisi keberhasilan Imam Husain menunaikan tugas sucinya melayani Allah, Rasul dan agama, bukan dengan menonjolkan sikap keji musuh-musuhnya. Apalagi secara kaidah orang yang memiliki cinta akan dapat mencintai, sedangkan yang tidak memilikinya maka hanya akan berujung membenci. Mari kita miliki cinta yang demikian nyata dalam gerakan Asyura agar kita dapat mencintai, dan menghindari kebencian musuh-musuh Imam Husein agar kita tak menjadi golongan pembenci.

AL/ Islam Indonesia/ Photo: Lukisan berjudul The Evening of Ashura karya Mahmoud Farshchian.


[1] Rujuk, antara lain, Al-Hakim Al-Naisaburi, Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihayn, juz 3, hal. 185, hadis 4705, suntingan Muhammad Abdul Qadir Atha, cetakan pertama 1411 H, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut & Abu Bakar Ahmad Al-Bayhaqi, Al-Sunan Al-Kubra, juz 2, hal. 214, hadis 2861, suntingan Muhammad Abdul Qadir Atha, cetakan pertama 1414 H, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut.

[2] Untuk kajian mendalam terkait masalah ini, rujuk karya Abdullah Al-‘Alayili yang berjudul Al-Imam Al-Husein, Dar Maktabah Al-Tarbiyah, Beirut, cetakan  1986.

[3] Rujuk Al-Baladzuri, Ansab Al-Asyraf, cetakan pertama 1417 H, Dar Al-Fikr, Beirut, juz 3,  hal. 287. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *