Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 09 October 2018

Geliat Palu; Megap-Megap Dikepung Kekhawatiran


islamoindonesia.id – Geliat Palu; Megap-Megap Dikepung Kekhawatiran

 

Kini bencana Palu, Donggala, dan Sigi memasuki hari kesebelas. Menjadi kota mati sangat terasa hingga hari keempat. Hari kelima Palu mulai menggeliat. Meski gerakannya sangat tidak gesit, kota ini sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda gerak. Sampai hari keempat saja jalan raya yang ditutupi serpihan kayu dan besi serta bongkaran aspal yang tergulung belum dipinggirkan. Mobil tidak dapat melintas. Terlebih lagi karena banyak jalanan yang aspalnya terkelupas dan tergulung bak ombak atau terjadi patahan vertikal yang membujur memotong badan jalan.

Warga mulai dihinggapi putus asa. Mereka seakan bergerak sendiri. Otaknya seakan dititipi pesan agar mencari selamat masing-masing. Begitu juga untuk bertahan hidup. Hajat hidup dan rasa aman sudah nyaris tak perlu diharapkan. Otoritas kota dan daerah tak pernah menyambangi kesadarannya bahwa memang di samping mereka masih ada pengayom.

 

Warga yang berdesakan di ambang keputusasaan kini masih dihadapkan dengan suasana kota yang masih lumpuh. Tertatih untuk bangkit. Geliatnya masih berupa gerak lamban.

 

Perbincangan tentang dahsyatnya babatan tsunami di sepanjang pantai utara Pantoloan, Taweli, Tondo, Talise, hingga Silae, Watusampu, Loli Tasiburi, Kabonga, Donggala, Banawa, dan kawasan leher Sulawesi masih ramai diperbincangkan. Goncangan gempa yang menggegerkan 350.000 lebih penduduk Kota Palu masih menjadi kisah kelam terutama kampung-kampung yang terbenam.

Perumnas Balaroa yang di punggungnya bertengger lebih dari 1000 rumah penduduk lenyap hanya dalam waktu tidak lebih dari 10 menit. Tanah itu merosot ke bawah dan menelan warga beserta kediamannya. Atap-atap rumahlah yang tertinggal muncul di atas permukaan tanah. Kelurahan Petobo yang jumlah pemilihnya di Daftar Pemilih Tetap (DPT) saja sebanyak kurang lebih 7000 orang punya cerita lain. Ia menyimpan trauma tentang sebuah kampung yang merosot lalu ditimpa dengan kampung lainnya. Pengungsi yang berhasil menyelamatkan diri sekarang masih diliputi trauma.

Informasi tentang gempa susulan selalu menghantui warga. Berbagai hoax ikut menakuti warga yang tersisa di Palu. Sampai malam kesebelas pada umumnya warga Kota Palu, Donggala, dan Sigi yang terkena getaran gempa masih tidur di luar rumah. Selasa pagi, 9-10-2018, gempa magnitudo 5,2 masih juga menghamburkan warga Palu keluar rumahnya. Jalanan dipenuhi warga yang baru saja bangun tidur atau selesai Salat Subuh.

Was-was warga terlihat jelas. Kemarin beredar kabar bahwa Gubernur Sulteng sudah mengumumkan keadaan normal, meminta warganya kembali ke Sulteng dan memperbaiki serta menempati lagi rumah-rumah mereka. Walau demikian, keengganan menempati rumah masih terlihat dengan memilih tidur di halaman.

Geliat kota ini amat lambat. Meski listrik sudah mulai melayani kota pada malam ketujuh namun aktivitas ekonomi yang bergantung kepada listrik amat lemah. Seolah enggan bergerak. Toko-toko masih tutup. Hanya kios kecil yang berani dibuka.

Akibat wajar dari suasana kota ini adalah munculnya tindak kriminal. Penjarahan mulai meresahkan. Memang sampai pada hari keempat aparat masih memberi toleransi untuk mengambil bahan makanan dari beberapa supermarket atau minimarket namun sejak beberapa hari lalu sudah tidak diperkenankan.

Gejala kriminalitas terlihat pada kasus penjarahan. Polresta Palu melaporkan ada 91 orang ditangkap pada 8 Oktober 2018. Beredar video di berbagai media sosial yang memperlihatkan pencuri sedang dipukuli tentara.

Tak kalah mengkhawatirkannya adalah penyakit. Ancaman penyakit mulai terasa. Daya tahan tubuh mulai melemah akibat kekurangan bahan makanan beberapa hari. Distribusi logistik yang tak merata menyebabkan sebagian warga belum dapat menikmati makanan yang layak. Dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan gangguan kesehatan.

Palu dan sekitarnya yang megap-megap belum dapat diandalkan. Bandara Mutiara SIS Al-Djufri tiap hari masih disesaki warga yang ingin eksodus. Otoritas setempat masih menyediakan layanan angkutan gratis menggunakan Hercules.

Ditengah kepungan kehawatiran itu, masih saja digunakan peselancar politik. Berbagai spekuasi politik muncul. Ketegangan di tengah trauma musibah masih coba diangkat. Penanganan yang dinilai lamban ini dikaitkan dengan soal keberpihakan pada paslon pilpres.

Ribut-ribut soal Festival Palu Nomoni juga masih ditengarai menyebabkan Walikota Palu masih enggan menemui publiknya. Festival yang dianggap mengandung syirik itu dikaitkan sebagai kutukan yang menyebabkan gempa dan tsunami. Walau penjelasan yang lebih ilmiah sudah dipaparkan, namun gesekan politik untuk mendongkel walikota masih coba diangkat bak mengail di air keruh.

Walhasil, Palu mulai menggeliat namun masih dikepung kekhawatiran. Diperlukan keseriusan ekstra tinggi dengan tampilnya pemerintah provinsi dan kota/kabupaten sepenuhnya mengendalikan situasi. Dukungan berbagai stakeholders sebenarnya dapat dimanfaatkan. Toh, semua mata kini masih tertuju ke sesar tanah yang sedang bergerak ini. Begitu juga manusia yang duduk dan bermukim di atasnya.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *