Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 26 March 2014

Syafi’i Maarif Tentang Pemikiran Cak Nur


foto:lintas.me

Rabu siang ini (26/3), Penerbit Mizan Pustaka akan kembali meluncurkan  salah satu karya terbaik almarhum  Nurcholish Madjid (Cak Nur): Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Sebagai pengantar peluncuran tersebut redaksi Islam Indonesia akan menayangkan kembali pendapat Buya Ahmad Syafi’I Maarif mengenai pemikiran Cak Nur yang pernah dimuat di  Majalah Ulumul Qur’an pada sekitar 21 tahun lalu. Kendati sudah begitu lama, namun kami berpikir pendapat  Buya tersebut masih sangat relevan hingga kini. Selamat membaca.

 

APA yang dilakukan Nurcholish Madjid tahun 70-an merupakan shock therapy yang positif bagi umat. Hanya saja beberapa ungkapan bahasa yang dipakainya, seperti membedakan antara sekularisasi dengan sekularisme, menimbulkan kesalahpahaman. Sekularisasi dengan sekularisme tidak dapat dipisahkan. Tapi itu sebenarnya sudah diralat Cak Nur sendiri dengan mengirimkan surat ke majalah Tempo sekitar tahun 80-an yang mengatakan bahwa sebenarnya istilah-istilah yang dipakainya misconception.

Sekularisasi merupakan pembumian paham sekularisme. Tapi  seorang sarjana Pakistan yang bernama al-Faruqi, mengatakan sekularisasi adalah proses yang tak ada hubungannya dengan paham sekuler. Baginya logis saja. Tapi bagi saya, tak bisa diselesaikan seperti itu. Contohnya modernisme tak dapat dipisahkan dengan modernisasi, kecuali kita memberikan definisi khusus pada istilah-istilah tersebut. Tentunya definisi itu harus berdasarkan standar yang ada.

Dalam sejarah pemikiran Islam klasik, pendapat kontroversial bukan hal aneh. Itu sangat biasa. Tapi level pemikiran kita baru pada tahap “baru mau belajar berpikir” maka jika ada gugatan sedikit saja terhadap konsep yang sudah mapan, langsung menimbulkan kehebohan. Jika umat Islam sudah cerdas dan penapat-pendapat yang kontroversial itu keluar dengan dilandasi niat yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan atau membawa umat ke martabat yang lebih tinggi, maka tidak ada masalah. Sebab setiap pembaruan pemikiran, kalau memang merefleksikan kebenaran adalah sah. Pemikiran pembaruan yang masih dalam bingkai iman merupakan sesuatu yang baik.

Yang harus dijaga adalah perasaan mayoritas umat yang belum paham. Misalnya tentang Assalamua;laikum-nya Gus Dur; Tiada tuhan selain Tuhan-nya Cak Nur. Hal itu counter productive dan tak perlu dikemukakan, karena akan menimbulkan kecurigaan orang banyak. Akibatnya , semakin menjauhkan tanggapan positif umat terhadap pemikiran-pemikiran yang lebih besar.

Dalam kaitan dengan umat lain, kita harus saling menghargai dan mengapresiasi agama masing-masing.Tapi yang terpenting, kita harus saling menghargai, dan jangan sampai merobek-robek rumah kemanusiaan kita. Jangan ada tujuan-tujuan saling meniadakan. Agama harus disampaikan secara manusiawi. Tidak melalui pendekatan yang bertujuan politik tertentu.

Jika kita memverifikasi pemikiran Cak Nur, maka tak benar bila ada orang yang menyatakan bahwa ia menganggap semua agama sama. Kesimpulan salah tersebut hanya tafsiran sebagian orang saja. Kalau dikatakan semua agama yang datangnya dari Tuhan itu islam, memang betul. Tapi kita juga harus ingat, dalam proses sejarah pernah terjadi distorsi-distorsi cukup parah, baik di bidang teologi maupun filsafat.  Namun karena orsinilitas kitab sucinya, Islam terbebas dari distorsi-distorsi teologi yang parah tersebut. Karena itu, perbedaan pemikiran dalam Islam, bagaimanapun masih tetap dalam bingkai Qur’an.

Seperti diketahui, yang pertama ditekankan Islam adalah prinsip tauhid. Implikasinya, pertama-tama kita harus berprinsip bahwa manusia itu sama, satu keluarga. Ajaran egaliter harus ditekankan supaya misi agama dalam keadilan sosial dan ekonomi terwujud. Karena itu, Indonesia harus menjadi negara demokrasi. Konsep tauhid tak bisa dibumikan kalau tidak ada keadilan sosial politik.

Kelemahan pemahaman tauhid kita selama ini karena kita menganggap sekakan-akan tauhid antitesisnya adalah syirik dan tak punya keterkaitan dengan masalah keduniaan seperti keadilan sosial dan egalitarianitas. Fazlur Rahman sangat tegas dalam masalah ini berdasarkan pemahaman terhadap Qur’an. Untuk menyadarkan umat Islam terhadap prinsip tauhid itu dibutuhkan waktu lama dan sistematika yang terencana, sebab konsepnya abstrak. Seperti Rasulullah, khusus untuk mengajarkan doktrin tauhid dan iman di madrasah-madrasah pada zamannya, memerlukan waktu sekitar 13 tahun. Kaum Quraisy yang kapitalistik, feudal dan zalim merasakan begitu hebatnya implikasi doktrin tauhid tersebut.

Berkaitan dengan kalimat tauhid yang diterjemahkan Cak Nur di atas, Dr. Bachtiar Abdullah pernah menyatakan bahwa yang kurang cermat dari penerjemahan Cak Nur adalah tak diperhatikannya tradisi lisan Indonesia. Dalam tradisi lisan, umumnya orang Indonesia tak bisa membedakan pengucapan “t” kecil dengan “T” besar (tuhan dan Tuhan), hingga bisa menimbulkan distorsi pemahaman. Padahal yang hendak dinyatakan Cak Nur adalah bahwa Tuhan itu hanya Allah sedangkan yang lain tidak ada. Saya sebagai orang yang seperguruan dengan Cak Nur (sama-sama belajat di Universitas Chicago dan sama-sama murid Fazlur Rahman) tahu maksud baik Cak Nur. Jadi kontroversi yang ada selama ini adalah akibat kurangnya komunikasi semata.

Namun yang penting, jika Cak Nur sudah membuka diri, maka seharusnya tokoh-tokoh agama lain pun harus membuka diri. Jika kita sudah sama-sama terbuka untuk menerima atau menolak—sesuai dengan ‘keterbukaan yang dituntut Qur’an—maka kecurigaan sepihak akan sirna. Islam adalah agama terbuka. Karena itu dialog mencari kebenaran sangat penting. Dalam hal ini, saya masih percaya niat baik Nurcholish.

 

Sumber: Majalah Ulumul Qur’an  No.1, Vol.IV Th.1993

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *