Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 18 August 2015

‘Surat Cinta’ Presiden Jokowi


merah-putih-di-puncak

Pada Selasa (14/ 8), Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan di Kompleks Parlemen Senayan.

Terdapat tiga inti pidato Jokowi. Pertama, berisi laporan kinerja lembaga-lembaga negara. Pidato kedua dalam rangka peringatan hari kemerdekaan yang ke-70.  Terakhir, presiden menyampaikan tanggapan pemerintah atas Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016 beserta Nota Keuangan.

Pidato yang menjadi sorotan publik adalah pidato kedua. Seperti presiden sebelumnya, Jokowi pun mengungkapkan klaim keberhasilan yang telah dicapai pemerintah.

Selain itu, presiden menyampaikan pesan yang ditujukan kepada rakyat Indonesia dalam mengisi kemerdekaan. Termasuk mengetengahkan janji Kabinet Kerja di masa mendatang.

Jokowi mengingatkan kepada rakyat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar. Atas dasar itu, pemimpin dan yang dipimpin harus percaya diri dan optimis dalam menghadapi persoalan yang menghadang di hadapan.

Secara garis besar, ada beberapa poin penting yang disampaikan presiden pada pidato kedua yang merupakan “surat cinta” pertama bagi rakyat Indonesia.

Ucapan terima kasih pada pemimpin pendahulu di awal pidato. “Kita patut berterima kasih kepada para pendahulu kita, para pemimpin nasional”. Redaksi ini mengindikasikan bahwa Jokowi memang politisi Jawa tulen yang memiliki kelihaian bersikap santun pada orang lain, termasuk lawan politiknya. Dengan kerendahan hati, dia tak memungkiri bahwa kemajuan Indonesia selama ini tak terlepas dari kerja keras pemimpin sebelumnya, serta berkat dukungan rakyat.

Klaim bahwa Indonesia sudah mengalami kemajuan signifikan.  “Persatuan Indonesia sudah kokoh, pendidikan rakyat semakin maju, dan peluang peserta didik untuk melakukan mobilitas sosial terbuka lebar. Saat ini, kita telah memiliki hampir 300 ribu sekolah, lebih dari dua juta guru, dan hampir 40 juta siswa, tidak termasuk Taman Kanak-Kanak yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.” Pernyataan bahwa “persatuan Indonesia sudah kokoh” masih rancu karena tidak menyertakan parameter yang jelas, hingga sampai pada kesimpulan pernyataan itu. Di samping itu, kuantitas sekolah, guru, dan siswa tidak berbanding lurus dengan kualitas pendidikan.

Indeks Demokrasi Indonesia membaik. “Dibandingkan dengan tahun 2013, indeks demokrasi kita naik dari 63,72 menjadi 73,04 pada tahun 2015.” Keberhasilan ini bisa tercermin pada Pemilihan Umum 2014. Pada pemilu tersebut juga terlihat antusiasme masyarakat yang lebih tinggi daripada pemilu sebelumnya. Itu tercermin dengan hadirnya para relawan muda yang berpartisipasi dalam menyukseskan pemilu atas kesadaran masing-masing. Bahkan, kini mereka mengawal jalannya demokrasi dan pemerintah. Namun,  persiapan penyelenggaraan Pilkada tahun ini cukup memprihatinkan. Terbukti dengan adanya kasak-kusuk beberapa elit politik yang berniat menggagalkan penyelenggaraan Pilkada tahun ini, hingga upaya membenturkan penyelenggara pemilu dengan pemerintah. Ditambah lagi persoalan “calon pimpinan daerah” yang hanya terdiri dari satu pasangan. Fenomena ini menciderai demokrasi Indonesia yang dimotori oleh partai politik.

Produk Domestik Bruto bertambah Rp 10 triliun. “Dalam 15 tahun terakhir, Indonesia juga mengalami lonjakan Produk Domestik Bruto, dari sekitar 1.000 triliun rupiah, menjadi sekitar 10 ribu triliun rupiah dan menjadi kekuatan ke-16 ekonomi dunia.” Faktanya, nilai pasar beberapa barang dan jasa yang diproduksi pada periode ini mengalami penurunan karena harga meningkat di pasaran. Dalam hal ini, kita harus bekerja keras pada sektor ekonomi agar masyarakat sejahtera. Pemerintah harus berani memberantas mafia perdagangan agar harga rasional dan tidak melakukan impor. Sehingga, daya beli masyarakat mengalami peningkatan signifikan, terutama terhadap bahan-bahan kebutuhan pokok.

Perekonomian Global bukan masalah paling utama. ”Kita terjebak pada pemahaman bahwa melambannya perekonomian global, yang berdampak pada perekonomian nasional adalah masalah paling utama. Padahal kalau kita cermati lebih seksama, menipisnya nilai kesantunan dan tatakrama, sekali lagi, menipisnya nilai kesantunan dan tatakrama, juga berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa.” Pengulangan terhadap kalimat terakhir mengindikasikan bahwa kesantunan dan tatakrama semakin menipis merupakan masalah utama, dibandingkan persoalan ekonomi. Ini merupakan poin menarik karena Jokowi memiliki sudut pandang out of the box dalam menelusuri akar persoalan bangsa. Seyogyanya juga disertai dengan solusi yang mengakar, Jokowi bisa mengajak segenap masyarakat dalam pidatonya untuk menjunjung nilai-nilai kearifan lokal yang sarat dengan kesantunan dan tatakrama. Bukankah itu merupakan ciri khas masyarakat nusantara yang sudah mendarah daging? Mengapa menuhankan kebebasan yang kebablasan? Apabila Indonesia menjalankan nilai-nilai adat ketimuran, seperti menipisnya budaya saling menghargai dan mengeringnya kultur tenggang rasa, program aksi pembangunan akan terwujud tanpa terjegal ego masing-masing pihak.

Masalah krusial masih terjadi di berbagai sektor. “Siklus perekonomian global maupun nasional kurang menggembirakan. Di bidang pangan, kita belum mencapai kedaulatan pangan, rentan gagal panen, dan mudah diterpa ketidakstabilan harga pangan. Di bidang infrastruktur, moda transportasi massal di tiap wilayah masih sangat kurang dan belum terintegrasi dengan baik. Di bidang maritim, illegal fishing, pencurian ikan dan penjarahan sumber daya laut menyebabkan kerugian negara sangat besar. Sedangkan untuk energi, kita masih menghadapi masalah ketersediaan tenaga listrik untuk menopang kehidupan warga dan pembangunan ekonomi. Ditambah lagi, produksi BBM masih defisit sekitar 600 ribu barel per hari. Sementara itu, di bidang kesehatan, gizi buruk dan angka kematian ibu yang relatif tinggi masih menjadi masalah utama. Di bidang pendidikan, rata-rata lama sekolah baru mencapai  sekitar 8 tahun dari 12 tahun wajib belajar. Selain itu, kita juga belum mentas dari kemiskinan dan kesenjangan sosial, baik antar kelompok masyarakat maupun antarwilayah. Gini ratio tahun ini masih di atas 0,4. Yang memperihatinkan fenomena kekerasan terhadap anak diduga juga meningkat.” Kejujuran Jokowi terhadap persoalan bangsa yang belum terselesaikan merupakan nilai plus pada pidato ini. Sehingga, rakyat bisa mengetahui  pemetaan persoalan secara komprehensif, meskipun dengan pemaparan yang singkat. Dalam pandangan Jokowi, kunci untuk mengatasi pelbagai persoalan tersebut adalah “persatuan”.

Subsidi BBM ke sektor produktif sudah tepat. “Kita harus meninggalkan perilaku konsumtif menjadi produktif.” Menurut presiden, langkah awal yang ditempuh pemerintah dengan mengalihkan subsidi BBM ke sektor-sektor produktif dan jaring pengaman sosial sudah tepat. Pada tahun lalu, sekitar 240 triliun rupiah subsidi BBM hanya dibakar di jalan-jalan atau dinikmati oleh jutaan mobil pribadi, bukan dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di gunung-gunung, di pesisir-pesisir, di pulau-pulau terpencil, atau mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Namun, presiden menyiratkan agar rakyat tidak boros menggunakan BBM. Persoalan BBM ini sangat kompleks untuk dianalisa serampangan, tentunya masih banyak pertanyaan apakah langkah tersebut sudah tepat sasaran.

Dukung perdamaian di Palestina dan Timur Tengah. “Indonesia juga terus mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan dan kedzaliman serta menyerukan agar saudara-saudara muslim di Timur Tengah meletakkan senjata dan berdamai demi kepentingan ukhuwah Islamiyah.” Tidak seperti pidato presiden pada Konferensi Asia Afrika beberapa waktu lalu, porsi pembahasan dukungan perdamaian Palestina tidak menjadi poin utama pada pidato kemerdekaan ini. Namun, Jokowi menambahkan seruan perdamaian bagi muslim di Timur Tengah pada penggalan pidatonya. Tentunya, rakyat mengharapkan ini bukan sekadar lip service mengingat Indonesia sebagai Muslim terbesar di dunia, tapi merupakan wujud implementasi Undang-undang dasar yang salah satunya menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Selain itu, pemerintah perlu bertindak tegas terhadap rakyat Indonesia yang bergabung dengan ISIS dan gerakan militan lainnya di negara Timur Tengah.

Indonesia akan menjadi poros maritim dunia. Kita juga harus menggali lagi budaya maritim dan identitas maritim bangsa Indonesia. Kita harus mampu menunjukkan kepada dunia, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa maritim. Bangsa yang menjaga dan mendayagunakan lautnya dengan penuh kesungguhan.” Program ini merupakan janji kampanye Jokowi yang menimbulkan optimisme rakyat Indonesia yang nenek moyangnya menguasai dunia maritim. Langkah yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan harapan ini, semoga mengalami percepatan signifikan dengan terpilihnya Rizal Ramli sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman.

Pro pemberantasan korupsi.  “Pemerintah juga telah membentuk Panitia Seleksi Pimpinan KPK yang terdiri dari tokoh masyarakat yang kredibel, independen, dan berintegritas. Semoga terpilih pimpinan KPK yang amanah, yang dapat membawa lembaga anti-rasuah itu bekerja efektif, dan dapat bekerjasama dengan penegak hukum lainnya, membersihkan jubah Republik yang dikotori oleh korupsi.” Sama halnya dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintahan Jokowi juga menyatakan pro terhadap pemberantasan korupsi. Diharapkan itu tak sekadar slogan, tapi bisa terimplementasikan. Untuk mewujudkan hal tersebut, penting kiranya pemerintah melakukan sinkronisasi dan harmonisasi antar lembaga penegak hukum.

Menuntaskan kasus Hak Asasi Manusia. “Saat ini Pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar paling bijaksana dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Air.” Sampai detik ini belum ada langkah konkret yang dilakukan pemerintah Jokowi untuk menuntaskan kasus HAM. Semoga kata-kata ini bukan janji palsu untuk membungkam rakyat yang selama ini berkoar-koar menuntut janji kampanye Jokowi ini.

Pada akhir pidato, presiden menghadiahkan “pesan Bung Karno” pada Sewindu Peringatan Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1953. “…kita tidak bertujuan bernegara hanya satu windu saja, kita bertujuan bernegara seribu windu lamanya, bernegara buat selama-lamanya.” Kado ini diharapkan dapat memotivasi rakyat dalam berbangsa dan bernegara secara berkesadaran. Presiden menutup dengan pernyataan yang menggetarkan, “Untuk hidup sejahtera perlu kerja keras, butuh pengorbanan. Ayo kerja untuk bangsa! Ayo kerja untuk bangsa! Ayo kerja untuk rakyat!

Zainab/ Islam Indonesia. Foto: kaskus.co.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *