Satu Islam Untuk Semua

Monday, 13 January 2014

Sekolah Mesin dan Pendidikan Agama Yang Reflektif


Tjui Tjioe/photos.com

Jika satu saat kita ditanya, “Kenapa anak-anak bersekolah?” Salah satu jawaban paling instan biasanya adalah “supaya mereka pintar.” Atau sebagian kita berusaha menjawab dengan ungkapan yang lebih hebat “supaya bisa berbakti bagi agama, bangsa dan negara”. Artinya, dengan bersekolah anak-anak diandaikan akan berubah dari satu kondisi awal menjadi berkondisi ideal sesuai dengan harapan atau target tertentu.

Singkat kata, secara umum, sekolah dilihat seumpama mesin, tempat di mana anak-anak diproses sebagai raw input atau bahan mentah yang pasif dan  pada akhir periode sekolah diandaikan menjadi output yang sudah ‘jadi’. Di dalam mesin ini terdapat guru-guru, fasilitas fisik, kurikulum, dan sebagainya, di mana semuanya merupakan bagian dari satu sistem yang memungkinkan proses perubahan terjadi.

Dalam praktik pendidikan, cara pandang yang mekanistis ini telah mengundang berbagai kritik, yang meliputi berbagai gagasan mulai dari sekadar advokasi untuk memperbaiki sistem persekolahan yang bekerja seperti mesin sampai pada kritik yang paling ekstrim yang disebut de-schooling—menghapuskan sama sekali sistem persekolahan konvensional.

Salah satu alasan yang paling kuat dari kritik-kritik tersebut adalah bahwa sekolah cenderung melahirkan ‘robot-robot’ yang diprogram sesuai target atau tujuan tertentu—ideologis maupun akademis—dan gagal memfasilitasi siswa menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berempati, bersikap toleran dan sebagainya. Atau sebaliknya, ketika para siswa dipaksa untuk menjadi ‘diri yang lain’ sesuai program pendidikan atau keinginan orang-orang yang terlibat dalam pendidikannya, kalau tidak berujung pada kegagalan akan berdampak negatif secara psikologis, seperti keterbelahan kepribadian, ambivalensi dan sebagainya.

Tidak terkecuali dalam pendidikan agama. Setidaknya sejauh ini, karena persoalan sistemis-paradigmatis  yang tak kunjung selesai ini, kekeliruan yang relatif sama terus dilakukan meskipun terjadi pergantian kurikulum dan adanya momentum lain yang semestinya bisa menjadi modalitas perubahan yang signifikan. Akibatnya, berbagai resolusi pada akhirnya tidak berpengaruh apa-apa terhadap kualitas proses maupun output pendidikan—atau  malah membuatnya menjadi lebih buruk.

Secara lebih jelas, fenomena ini pertama sekali dapat dilihat dalam praktik persekolahan saat ini yang masih terpusat pada guru (teacher-centered). Pada titik yang ekstrim, guru-guru  menjadi sumber pengetahuan  utama, yang dengan berbagai cara mentransfer pengetahuan mereka kepada siswa. Bahkan dalam pembelajaran agama, di mana indoktrinasi merupakan metode yang paling sering digunakan, guru memiliki otoritas yang amat besar, seolah-olah dia menjadi ‘sumber kebenaran’.

Konsekuesinya, jika guru gagal menjadi ‘pentransfer’ pengetahuan yang baik, siswa akan tetap ‘kosong’ sampai di akhir proses pembelajaran. Atau sebaliknya, jika guru memiliki kemampuan pedagogis yang memadai, dia justru akan mentransfer berbagai pengetahuan atau pandangan ideologis tertentu yang justru bersifat dekonstruktif, seperti menjadikan siswa tidak toleran, bersikap emosional atau bahkan menjadi pelaku kekerasan.

Dalam dunia pendidikan, salah satu rem yang dibuat oleh pemerintah adalah dengan adanya kurikulum dan berbagai turunannya. Di tingkat sekolah, ada sistem administratif seperti Rencana Program Pembelajaran (RPP) dan evaluasi pembelajaran yang menjadi panduan dan koridor bagi para guru dalam mengajar.

Namun demikian, karena mekanisme kontrol yang tak berfungsi, seringkali berbagai standar dan prosedur administratif lebih sebagai formalitas dan tidak terperiksa secara baik. Demikian juga, dalam satu sekolah yang secara kuat menganut paham keagamaan tertentu, mekanisme kontrolnya tentu saja sudah tercemar oleh berbagai kepentingan ideologis yang tidak perlu.

Kedua, di tengah rendahnya tingkat kehadiran negara dalam dunia pendidikan secara umum, sistem persekolahan yang menyerupai mesin ini sangat potensial bergerak sendiri. Atau sebaliknya, karena kontrol publik yang juga sangat lemah, dengan mudah bertumbuh berbagai metode pendidikan atau kegiatan yang tidak manusiawi, seperti adanya praktik kekerasan di sekolah dalam relasi guru-siswa, senior-yunior, atau kelompok dominan versus kelompok inferior. 

Demikian juga, dalam situasi ini, di sekolah-sekolah mudah berkembang kurikulum lokal atau hidden curriculum—yang terutama disusun oleh pemilik atau penyelenggara sekolah bersangkutan—yang disesuaikan dengan tujuan-tujuan ideologis tertentu atau dalam rangka menciptakan distinctive values yang cenderung lebih bertujuan untuk mendongkrak jumlah siswa.

Terkait dengan hidden curriculum pendidikan agama, di samping program-program standar seperti tahfiz al-Quran dan Bahasa Arab, terdapat program-program tertentu yang berpeluang bagi indoktrinasi radikalisme pro-kekerasan. Contoh yang paling sering disorot adalah program mentoring dan Rohani Islam (Rohis). Program mentoring, dimana siswa biasanya belajar Islam dalam kelompok-kelompok kecil dengan dibimbing oleh seorang mentor (ustadz) secara intensif, terutama menjadi berpeluang bagi radikalisasi karena faktor mentor dan materi yang tidak terkontrol. Peluang serupa juga potensial dalam kegiatan-kegiatan Rohis, seperti dalam ceramah-ceramah atau inisiasi/orientasi siswa baru dan pelatihan dakwah.

Demikian pula dalam rangka menghadapi momen-momen tertentu—seperti Ujian Nasional (UN) atau pergantian tahun—program-program seperti muhasabah atau pengajian, dimana praktik brain-washing terhadap siswa lebih kental terjadi dan seringkali diisi oleh narasumber dari luar, bisa menjadi sarana penanaman nilai-nilai yang sangat ‘ideologis’ dan indokrinatif.

Dengan karut-marut sistemis seperti ini, tentu tidaklah tepat jika harapan supaya anak-anak kita  bisa memiliki pemahaman dan sikap keagamaan yang moderat dan toleran semata-mata dipercayakan pada sekolah mereka. Bahkan, jika tingkat kepedulian terhadap penyelenggaraan dan konten pendidikan sangat rendah atau tidak ada, bukan hal yang mengagetkan jika satu saat ada di antara kita yang mendapati  anak tersayang menjadi pelaku pengeboman, terlibat kekerasan, atau mengkafirkan orang tuanya sendiri.

Sebagai alternatif, paling kurang terdapat dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, dimanapun seorang anak bersekolah, orangtua sebisa mungkin harus berusaha terlibat dalam kegiatan-kegiatan resmi maupun informal serta konsultatif yang sebenarnya merupakan mekanisme kontrol yang efektif. Apalagi, dalam konteks pendidikan modern, peluang partisipasi aktif para orangtua—yang merupakan stakeholders utama—jauh lebih terbuka lebar dibandingkan sebelumnya.

Seiring dengan itu, dengan adanya jaminan konstitusional mengenai community based school, sekolah berbasis komunitas, terutama pada sekolah-sekolah negeri, kontrol terhadap program-program sekolah, kualitas guru, mekanisme pembelajaran, dan kontrol kualitas secara keseluruhan sebenarnya menjadi lebih mudah dan mungkin. Sayangnya, sejauh ini, partisipasi dari komunitas—terutama masyarakat sipilnya—masih rendah atau bahkan tidak termobilisasi dan terorganisasi sama sekali.

Kedua, seiring keterlibatan partisipatoris orangtua dan komunitas, semua pihak hendaklah mendorong pendidikan agama ke arah pendidikan nilai, moral, atau karakter, dengan paradigma  yang bertumpu pada kemampuan reflektif manusia. Hal ini merupakan antitesis dari praktik pendidikan dewasa ini—sebagaimana yang sudah dibahas di atas—sebagai sistem pendidikan yang mekanistis yang mengandaikan manusia bisa dibentuk dan diprogram seperti halnya mesin atau robot.

Di sini kemudian, dalam praktik  pendidikan, pembelajaran melalui kegiatan dialogis, kontemplatif atau keberanian untuk berpikir dan belajar mandiri perlu diberi kesempatan yang lebih besar. Pendidikan mesti didorong ke arah berbagai upaya yang mengutamakan kegiatan-kegiatan kongkrit yang melibatkan siswa dengan realitas dunia nyata, dimana mereka misalnya bisa menyaksikan dan berefleksi tentang kemiskinan, keterbelakangan, atau ketidakadilan.

Pendidikan agama juga mesti membuat siswa menjadi sadar bahwa mereka sendiri sering melakukan ketidakadilan atau bahkan ‘kejahatan’ dengan mem-buly yunior, bersikap kasar terhadap pembantu, atau menyakiti orangtua. Pendidikan agama harus membuat para siswa sadar bahwa mereka merupakan bagian dari lingkungan sosial di mana mereka dibutuhkan untuk berperan dan mampu mewujudkan peran tersebut secara konstruktif dalam bentuk sekecil apapun.

Dan di tengah maraknya kekerasan atas nama agama saat ini, pendidikan agama yang reflektif tentu bukan yang membuat para siswa menjadi pembenci orang atau kelompok lain atau bersedia menyerang dan merusak tempat ibadah umat lain. Pendidikan agama yang reflektif mestilah yang memfasilitasi para siswa menjadi manusia yang secara kognitif, sikap dan perilaku menunjukkan bahwa berbuat baik bagi orang lain adalah hakikat keberadaan mereka. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *