Saya dan Gereja Itu

“Sebagai manusia, kita selalu berharap dicintai,dipahami, dipelihara dan dihormati.Dan kita berharap bisa saling mempercayai.” (Erich Fromm)
Ketika pulang mudik lebaran ke kota kecil kelahiran saya, entah untuk ke berapa ribu kali, saya kembali melewati gereja itu. Malam terasa kudus. Kumandang takbir dan suara beduk bertalu dalam cuaca dingin yang lembab. Di pintu gerbang rumah ibadah tua itu, samar-samar saya melihat sebuah pemandangan yang tiap lebaran selalu saya saksikan: sebuah spanduk berwarna biru dengan untaian kalimat Arabic merah berbunyi “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin.”
Saya tidak tahu tendensi apa di balik kalimat itu. Apakah itu lahir dari sebuah ketulusan yang sempurna? Ataukah jangan-jangan itu hanya sebuah menifestasi rasa segan bercampur ngeri dari kaum minoritas di kota saya? Terlebih pasca reformasi kemarin, ketika isu kristenisasi bertiup kencang bak badai di tengah samudera, gereja itu pernah nyaris dikepung dan dihancurkan.
Saya ingat suatu kisah yang menjadikan saya memiliki hubungan emosional dengan gereja itu. Sejak bocah saya sudah mengenal namanya sebagai Santo Petrus. Belakangan ketika saya rajin membaca buku-buku filsafat dan sejarah agama-agama, saya baru tahu itu adalah nama salah seorang suci bagi kaum Katholik.
Tapi apa perduli kami saat itu? Kesucian itu hanya milik mereka bukan milik kami. Alih-alih terasa kudus, bagi kami nama tersebut begitu asing, misterius, menakutkan sekaligus menijijikan. Para orang tua kami (saya yakin tidak semua) melewati bangunan itu dalam wajah sinis. Setengah berbisik, mereka akan mengatakan kepada anak-anaknya bahwa: “Itu tempat orang kafir menyembah tuhan-tuhannya.”Bisa jadi karena kalimat-kalimat sejenis itu, kami pada akhirnya tidak memiliki sedikitpun rasa ingin mengenal mereka.
Alih-alih mendekati dan menawarkan persahabatan, suatu hari salah seorang dari kami bahkan secara kurang ajar dan nekad membubuhkan pilox hitam, mengganti huruf s dibelakang kata Petrus dengan huruf k. Kami tergelak karena hampir seminggu gereja itu menjadi bahan tertawaan orang-orang.Sebuah perasaan puas, geli bercampur bangga karena sudah berhasil “berjihad“ mempermalukan musuh agama kami.
Kini saya melewati gereja itu kembali dan entah kenapa saya ingin meminggirkan kendaraan saya di depan gerbangnya.Sekitar 5 menit memandang gereja itu, membangunkan kenangan atas kebodohan lama itu. Dan tiba-tiba, di tengah kelam malam dan rasa menyesal di benak saya melintas beberapa wajah. Ya wajah manusia-manusia baik yang tak mungkin saya lupa dan dengan mengenangnya cukup membuat tenggorokan saya tercekat dan mata terasa panas.
Saya ingat Fredick, seorang kawan yang mempertaruhkan nyawanya membela saya saat Pasukan Anti Huru Hara menggebuki kami secara beringas dalam sebuah demonstrasi di depan Taman Ismail Marzuki 12 tahun silam. Saya juga terkenang kepada Antonio, tukang foto copy asal Flores yang selalu sabar membiarkan saya berhutang kepadanya. Lalu Lukas, sobat saya di himpunan mahasiswa pecinta alam yang hingga kini harus cacat karena terjatuh dari sebuah tower saat menyelematkan seorang bocah Aceh dalam peristiwa tsunami 2004. Romo Mangun, seorang tua yang tulisan dan idealismenya membuat saya kagum. Dan mereka dalam kenyataannya adalah Katholik, yang beribadah dan menyembah Tuhan di gedung-gedung seperti Santo Petrus.
Hampir setengah jam berlalu. Saya masih termenung di depan Santo Petrus. Udara mulai dingin dan hujan gerimis terasa seperti ribuan jarum lunak menghujam tubuh saya. Saya memandang spanduk itu. Semoga tulus, doa saya. Dan memandang bangunan itu saya merasa kebencian dan ketakutan itu telah lama pergi dari hati saya. Tapi mengapa tak satu pun spanduk ucapan selamat, yang berukuran kecil sekalipun, terpampang di masjid agung kami,jika natal datang setiap tahun?
Ya, ketika pulang ke kota kecil kelahiran saya, entah untuk ke berapa ribu kali, saya melewati gereja itu kembali. Meskipun malam terasa kudus, kumandang takbir begitu syahdu, di pintu gerbang Santo Petrus, itu hanya menambah rasa sedih saja. Saya sangat sadar bahwa selama agama masih diperbudak berbagai kepentingan politik maka kemungkinan darah tumpah seperti di Poso dan Ambon adalah bukan sekadar ilusi. Padahal seperti kata Umar ibn Khattab: sejak dari rahim sang ibu, manusia memiliki kemerdekaan untuk memilih apapun, termasuk meyakini agamanya.Tapi mengapa kita tidak pernah bisa saling mencintai dan mempercayai?
Cianjur, September 2009
Sumber: Islam Indonesia
Leave a Reply