Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 10 June 2018

Renungan Pagi – Kolom Abdillah Toha: Arabisme


islamindonesia.id – Kolom Abdillah Toha: Arabisme

ARABISME
Oleh Abdillah Toha

“Reaksi balik negatif (backlash) terhadap kearab-araban Islam di Indonesia makin meningkat ketika banyak dari suku Arab yang menyeburkan diri ke dalam dakwah dan mencampur aduk dakwahnya dengan kegiatan politik.”

Siapa sebenarnya bangsa atau etnis Arab itu? Tidak mudah mendefinisikannya. Sejarawan dan antropolog banyak yang berbeda pendapat tentang asal muasal orang Arab. Akhirnya untuk mudahnya dikatakan bahwa orang Arab adalah orang yang berbahasa Arab. Atau etnis yang merupakan penduduk utama Jazirah Arab dan sekitarnya.

Renungan ini tidak akan membahas seluk beluk sejarah dan etimologi bangsa Arab tapi lebih kepada hubungan antara  bangsa dan budaya Arab  dengan Islam sebagai agama. Diskusi ini menjadi menarik di Indonesia setelah belakangan keturunan Arab menonjol dan memainkan peranan penting dalam dakwah dan polemik keislaman di negeri ini. Lebih jauh lagi ketika Islam kemudian terseret kedalam perpolitikan lokal dan nasional.

Dampaknya, di satu sisi banyak Muslim yang memuja dan mengelu-elukan ulama, dai, dan para ustad keturunan Arab, khususnya para habaib, di sisi lain di negeri yang majemuk dan multikultural ini tidak sedikit yang sinis dan kritis terhadap terlalu menonjol dan berpengaruhnya peran keturunan Arab dalam ikut menciptakan polarisasi umat Islam dan bangsa.

Bahkan tokoh berpengaruh seperti mantan ketua umum Muhammadiyah Syafi’i Maarif berkali-kali memberi peringatan atas bahaya apa yang disebutnya sebagai Arabisme dalam berislam di negeri ini. Tidak terlalu jelas apa yang dimaksud dengan Arabisme oleh pencetusnya. Terma yang berkonotasi negatif itu pemahaman saya dimaksudkan sebagai gaya dan budaya Arab dalam berislam. Ketua PBNU juga sempat menyampaikan kekesalannya karena merasa tokoh habib dari Hadramaut diangkat di tempat yang lebih terhormat daripada kiai di negeri ini.

Tak terbantahkan bahwa Islam berhubungan erat dan tak terpisahkan dengan Arab. Islam dilahirkan di tanah Arab, wahyu turun dalam bahasa Arab, nabi terakhir Islam adalah orang Arab, bahkan salah satu pilar utama agama Islam yakni Shalat hanya sah bila dilakukan dalam bahasa Arab. Yang jadi pertanyaan, salah satu dasar agama Islam yang fundamental yakni Sunah Nabi itu apakah seluruhnya bagian dari agama Islam atau bercampur dengan budaya Arab?

Definisi fuqaha mengatakan bahwa Sunah Nabi itu adalah perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan penetapan (taqrir) dari Nabi Muhammad SAW. Bagian dari Sunah Nabi yang disebut af’al atau perbuatan itu bisa juga diartikan sebagai tradisi Nabi, bila itu bagian dari rutinitas yang dilakukan sehari-hari oleh Nabi. Sebagai contoh sederhana, kebiasaan Nabi berpakaian, jenis makanan yang dimakan dan cara makan, upacara perkawinan, cara bepergian, dan lain sebagainya.

Pertanyaan lanjutannya, bila Sunah yang af’al itu sebagiannya bisa disebut sebagai tradisi Nabi, apakah bisa kita mengatakan bahwa bagian itu bukan merupakan wahyu Allah tetapi  tradisi Arab atau setempat? Fazlurrahman bahkan mengatakan disamping tradisi atau Sunah Arab ada juga Sunah Makkah dan ada Sunah atau tradisi Madinah.

Sebagai contoh lagi, apakah pakaian yang dikenakan Nabi seperti gamis panjang, serban, janggut, rambut panjang sampai ke leher dan sebagainya itu tradisi setempat atau diwahyukan? Andai wahyu diturunkan di tanah Jawa, bukankah nabinya akan mengenakan blangkon, beskap, kain, dan sejenisnya? Sebagian sejarawan muslim bahkan mengatakan bahwa tawaf di Kabah dan mandi besar (junub) sudah dipraktikkan sebelum datangnya Islam kemudian dilanjutkan oleh Rasulullah dengan diisi dengan tauhid dan iman Islam.

Diantara yang menjadi kritik Arabisme itu adanya penekanan oleh ulama kontemporer pada Sunah nabi yang sejatinya barangkali merupakan tradisi Arab. Para pendahulu kita yang membawa Islam ke negeri ini dahulu langsung menyesuaikan diri ke dalam kearifan lokal dan adat setempat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Identitas yang dibawanya bukan dalam bentuk pakaian atau hal-hal artifisial lainnya tetapi identitas perilaku berakhlak baik dan beramal saleh. Terbukti yang demikian itu lebih mudah diterima dan lebih berhasil dan sukses mengislamkan hampir seluruh Nusantara.

Kritik Arabisme juga dipicu oleh kekuatiran sebagian pihak bahwa kita sedang meneladani cara-cara yang berakhir kepada kekacauan beberapa dekade ini di Timur Tengah. Khususnya ketika Saudi Arabia dengan Wahabismenya aktif menyebarkan paham yang mendiskreditkan Islam tradisional di negeri ini. Sebagai reaksinya sekarang timbul gerakan yang ingin mengembalikan Islam Indonesia dengan nama Islam Nusantara dan apa yang disebut sebagai Islam wasathiyah.

Reaksi balik negatif (backlash) terhadap kearab-araban Islam di Indonesia makin meningkat ketika banyak dari suku Arab yang menyeburkan diri ke dalam dakwah dan mencampur aduk dakwahnya dengan kegiatan politik. Tidak bisa disangkal bahwa orang-orang ini punya pendukung yang cukup besar, namun demikian akibat yang terjadi adalah menciptakan polarisasi bangsa karena dalam jumlah yang sama atau mungkin lebih besar banyak warga negara yang tidak menyukai ulama membawa-bawa agama ke dalam kancah politik.

Fenomena yang belum berumur dua dekade ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh dai-dai dan politisi keturunan Arab di masa lalu. Sebelum ini dai keturunan Arab tidak pernah membawa politik ke dalam dakwahnya dan politisi keturunan yang masyhur juga tidak mengenakan jubah dalam kegiatan politiknya.

Kritik, tuduhan, dan kesan Arabisme ini tidak menguntungkan Islam karena bagaimanapun juga, untuk memahami agama Islam dengan benar harus menguasai bahasa al-Quran yang tidak lain adalah bahasa Arab dan memahami budaya Arab paling tidak budaya pada masa kenabian.

Kita tidak tahu apakah fenomena yang menyebabkan timbulnya kritik Arabisme ini akan berlanjut atau akan tumbuh kesadaran untuk mengoreksi diri dan kembali kepada cara-cara dakwah yang lebih bisa diterima di era modern yang serba berubah ini. Wallah a’lam

PH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *