Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 29 August 2018

Renungan Pagi – Abdillah Toha: ULAMA dan PENGUASA


islamindonesia.id – Kolom Abdillah Toha: ULAMA dan PENGUASA

 

Dalam sejarah dunia, hubungan antara ulama dan penguasa telah berjalan ratusan tahun. Tidak terbatas hanya pada agama Islam, tetapi dalam agama-agama lain juga sejarah menunjukkan ada hubungan erat antara pimpinan agama dan penguasanya.

Hubungan ini kadang-kadang dalam bentuk pembagian kekuasaan tetapi tidak jarang pula hubungan persaingan dan perebutan pengaruh. Dalam sejarah kekhalifahan Islam tidak jarang kita dapati peristiwa digantungnya ulama oleh penguasa atau ulama istana yang bekerja sama mendukung langgengnya kekuasaan pemerintah.

Ada banyak sekali Hadis yang mewanti-wanti bahkan setengah mengutuk ulama yang mendekati ke penguasa. Dalam hadis-hadis itu ulama yang mendekati penguasa dianggap telah berkhianat terhadap agama dan dikatakan sangat dibenci Tuhan. Beberapa imam dan ulama terdahulu seperti imam Hanafi dan Malik, diriwayatkan hanya bersedia menerima penguasa di tempat tinggalnya tetapi tidak pernah mau datang dan mendekati pintu istana.

Sebaliknya apakah ulama diharuskan selalu kritis dan berhadap-hadapan dengan penguasa? Sejauh yang kita ketahui tidak ada perintah agama yang demikian. Ulama adalah juga warga negara yang berhak menolak pemerintah yang dianggap zalim dan berhak pula mendukung yang adil.

Namun ada juga hadis yang memerintahkan kita untuk tidak membenci siapapun termasuk tidak membenci dan menjauhi penguasa yang zalim. Penguasa yang zalim atau salah jalan agar didekati dan dinasihati sehingga diharapkan dapat berubah menjadi penguasa yang adil. Jadi bagaimana seharusnya sikap seorang ulama yang benar terhadap penguasa? Lebih jauh lagi, bolehkah ulama menjadi penguasa?

Saya berkeyakinan bahwa hadis-hadis yang memberi peringatan keras kepada ulama agar tidak mendekat kepada penguasa itu ditujukan kepada ulama yang bermaksud untuk menjual diri dan agamanya. Ulama yang mencari kedudukan atau mengejar harta dengan cara memberi legitimasi kepada penguasa, tidak peduli kebijakannya merugikan rakyat atau tidak. Atau ulama yang mau menyelamatkan dirinya di bawah tekanan penguasa zalim, tidak peduli rakyatnya menderita.

Sebaliknya bila motif menguntungkan diri dan kelompoknya itu tidak ada dan dirasa masih ada celah yang baik untuk memperbaiki kiprah penguasa, saya berkeyakinan tidak ada salahnya bagi ulama untuk mendekat ke penguasa dengan tujuan memberikan nasehat ke jalan yang lebih baik. Tentu saja syarat bagi ulama yang demikian adalah ulama berkarakter yang mempunyai kepribadian yang kuat, yang tidak mudah digoyang dan dibelokkan untuk tujuan-tujuan yang tidak semestinya.

Allah tentu mengetahui apakah ulama yang demikian berniat baik atau tidak, akan tetapi masyarakat umum belum tentu paham. Bisa terjadi penilaian yang salah yang akan merugikan semua pihak. Karenanya untuk menghindari salah paham dan fitnah, ulama yang mendekat ke penguasa sebaiknya melakukannya secara terbuka dan melaporkan hasil interaksinya dengan penguasa juga secara terbuka dan berkala kepada publik.

Pertanyaan yang lebih mengganjal adalah bagaimana seharusnya ulama bersikap dalam sebuah krisis besar masyarakat, atau ketika umat seagama bermusuhan satu sama lain bahkan melibatkan perang? Bolehkah seorang ulama mengambil sikap netral dan diam atau haruskah dia mengambil posisi berpihak kepada yang diyakininya ada dalam pihak yang benar? Jawab yang sering kita dengar umumnya adalah bergantung kepada apakah campur tangan ulama itu akan menyelesaikan atau justru memperuncing permasalahan. Tentu saja jawaban ini tidak memuaskan karena bila ulama diam, bisa jadi umat akan kehilangan pegangan dan makin bingung atau justru terperosok menjadi berada pada pihak yang tidak benar.

Sebaliknya bila ulama berada pada posisi berpihak, maka bisa jadi ulama lain ada di pihak yang berlawanan sehingga masalahnya tidak terselesaikan dan bahkan menjadi makin rumit. Inilah dilema yang kita hadapi di negeri-negeri dan dunia Islam umumnya saat ini. Penyebab utamanya adalah tidak adanya kesatuan pimpinan ulama dunia yang berwibawa dan didengar oleh semua pihak. Apalagi ketika umat Islam dan ulamanya terbagi-bagi dalam berbagai faksi, mazhab, dan aliran yang sering berbenturan satu sama lain. Sampai kapan hal ini akan terus berlangsung, hanya Allah yang tahu. Atau sampai suatu saat di mana agama tidak lagi menjadi faktor utama penentu perjalanan hidup masyarakat dan negeri sehingga ulama tidak diperlukan lagi.

Terakhir, bolehkah ulama menjadi penguasa? Jawabnya tentu saja boleh. Setiap warga negara dari profesi apapun, apakah dia dokter, artis, pengusaha atau siapa saja mempunyai hak yang sama, khususnya dalam sistem demokrasi, untuk memilih dan dipilih, untuk menjadi warga biasa atau pemimpin dan seterusnya. Juga tentu saja ulama atau siapa pun harus cakap dan memenuhi syarat kemampuan untuk menjadi pemimpin sebuah negeri. Khusus bagi ulama, terutama di negara yang majemuk dan berkonstitusi, ulama yang menjadi penguasa harus bersedia menanggalkan atribut ulamanya dan berlaku adil kepada setiap warga negara, tidak pandang asal usul, suku atau agamanya.

Demikian sekelumit renungan bukan ulama tentang ulama.

Wallah a’lam

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *