Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 09 September 2015

OPINI – Sahkah Haji dengan Niat Wisata?


Tiap orang yang berangkat haji dapat memelototi pemandangan modern di sekitar Masjidil Haram. Hotel-hotel bintang lima dari berbagai kelompok usaha perhotelan raksasa dunia seperti Hilton, Marriot, Le Meridien, Swissotel, Raffles, dan terakhir dan yang paling kontroversial adalah Makkah Clock Royal Tower Hotel milik grup usaha perhotelan Fairmont seolah menenggelamkan keagungan Kabah. Clock Royal Tower Hotel bahkan menuai banyak protes lantaran ia secara brutal telah merusak keseluruhan tata ruang dan tata kota Makkah yang sedianya memancarkan aura mistik.

Tapi pemandangan di atas baru satu persoalan yang kita rasakan saat berhaji di era modern ini.

Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya ialah munculnya semangat di antara jamaah haji untuk berbelanja dan jalan-jalan. Atau ringkasnya berwisata sebagaimana layaknya orang pergi ke Taman Mini, Carita, Ancol, Tanjung Kodok, dan sejenisnya. Banyak dari mereka yang merasa bahwa kegiatan belanja dan jalan-jalan itu merupakan bagian tak terpisahkan dari ibadah haji, mirip dengan kegiatan wisata pada umumnya. Berhaji tanpa membawa oleh-oleh itu kenistaan yang tak tertanggungkan buat sebagian, hingga seolah-olah ia merupakan salah satu rukun haji yang tak boleh ditinggalkan.

Sekarang ini, bagi sebagian orang, ibadah haji tak lebih dari upacara belanja. Dan memang ada desain untuk memecah perhatian ibadah ke arah konsumerisme. Maka, tak salah bila ratu fashion dan sosialita paling suka pamer pakaian, Paris Hilton, pernah berbangga mengumumkan diri membuka toko di Makkah.

Benarkah perilaku seperti ini? Sahkah ibadah haji dengan niat wisata seperti ini? Bukankah ini telah menjadikan pergi haji tak ubahnya pergi menonton pertandingan bola di Old Trafford, atau menonton Formula One di Monte Carlo, atau bahkan lebih ironis lagi, seperti kata Gus Mus, sama seperti ke Las Vegas?

Terlepas dari perdebatan fiqih yang mungkin timbul dari pertanyaan di atas, tapi haji dengan niat wisata seperti berenang dengan niat panjat tebing. Alih-alih dapat dibenarkan, haji dengan niat seperti itu sesungguhnya bertentangan dengan nilai inti haji itu sendiri. Pada saat Allah menyuruh para nabi berhaji, terutama Nabi Ibrahim, Allah ingin mereka menjadi hamba, menanggalkan egonya dan masuk ke Baitullah dengan hati yang bersih suci seperti saat mereka dilahirkan. Allah ingin menanamkan—atau lebih tepatnya menumbuhkan—di dalam jiwa mereka rasa kepasrahan, ketundukan, kepatuhan, tawajuh, pelepasan hasrat dunia, pengukuhan rasa taat dan kesiapan mengorbankan diri, hingga puncaknya fitrah tauhid kembali hidup di dalam diri pelaku haji. Dia haruslah seorang yang siap mengorbankan apapun di jalan ini, termasuk putra tersayangnya, letupan egonya dan semua hasrat dirinya.

Ibadah haji sesungguhnya harus dimaknai dalam kerangka melepaskan hasrat-hasrat duniawi kita, keluar dari terungku ego kita, menuju ke Baitullah, Rumah Allah. Di situ, di Rumah itu, kita mengalami transformasi yang radikal, sedemikian sehingga kita layak menjadi tamu-Nya. Haji adalah keluar dari rumah ego, rumah hasrat wadag, menuju Rumah Allah yang luas, agar hamba dapat diterima sebagai tamu dan menerima jamuan Ilahi yang tersedia di dalam rumah-Nya.

Transformasi spiritual seorang pelaku haji haruslah tampak, setidaknya, dalam niatnya, cara berpikirnya, dan perhatian hatinya terhadap dimensi spiritual yang selama ini tak tersentuh. Setelah itu baru hasilnya bakal memancar ke sekujur tubuhnya dan perilaku kesehariannya, kelak saat ia selesai menunaikan seluruh manasik haji.

Itulah mengapa salah satu dari aktivitas ibadah haji adalah menyembelih kurban. Sebagaimana Nabi Ibrahim bersedia mengurbankan putranya Ismail di jalan penghambaan, demikian pula tiap pelaku haji harus memiliki kesiapan itu.

Sudahkah haji kita seperti itu?

Sayangnya, haji yang seperti itu agaknya telah lama hilang dari perhatian umat dan digatinkan dengan haji kapitalis dan konsumtif yang diawali dengan niat wisata jasmani, disusul dengan upaya menabung untuk membayar ongkos-ongkos haji, ditambah lagi dengan pemandangan perhotelan dan pusat-pusat belanja yang alih-alih membawa kita pada suatu suasana dan aura spiritual yang suci justru memantapkan watak kapitalis dan konsumeris dalam diri para jamaah haji.

Tentu tiap orang harus bertanggungjawab atas kualitas ibadah hajinya masing-masing. Tetapi apa yang dilakukan rezim kerajaan Arab Saudi dalam 50 tahun terakhir justru berujung dengan mengukuhkan semangat kapitalis dan konsumeris dalam aktivitas haji tersebut. Pemugaran hampir seluruh bangunan sakral di dalam Masjidil Haram dan menggantinya dengan arsitektur modern yang sarat denan nuansa kemegahan dan kemewahan, penghapusan hampir seluruh jejak historis yang memiliki nilai sakral di dalam dan di lingkungan kota Makkah telah menghancurkan aspek spiritual haji. Ditambah lagi dengan sikap para penyelenggara haji yang terus mendesakkan hasrat-hasrat duniawi di dalam diri hujaj.

Akibatnya, haji yang memiliki tujuan-tujuan luhur berupa penyegaran ruh pengorbanan Ibrahim melawan tirani ego, penghambaan mutlak kepada Zat Mutlak, penjelajahan manusia ke alam yang lebih tinggi seperti tak mungkin diraih. Ini ibarat orang yang hendak ke laut untuk berlayar tetapi malah membawa peralatan untuk mendaki. Adakah orang seperti ini layak dianggap serius ingin berlayar di lautan atau dia sebenarnya memang punya tujuan lain?

Dunia Islam secara kolektif memiliki hak atas Makkah dan Madinah sebagai dua kota suci umat. Negara-negara Islam wajib secara serentak menggugat aksi kapitalisasi dan komersialisasi Makkah dan Madinah yang demikian mencolok mata dan merusak substansi ibadah haji tersebut. Tanpa upaya kolektif yang serius untuk membalik keadaan, maka tidak mustahil dalam 10-20 tahun mendatang, Kabah hanya akan menjadi tak ubahnya bongkahan batu yang tak memancarkan makna apa-apa.

Terlepas dari urusan arsitektur, persoalan lain yang juga harus segera diubah dalam pengelolaan haji oleh kerajaan Arab Saudi ialah kebiasaan mereka menghalangi orang untuk meneteskan airmata di mana pun di tempat-tempat sakral di Makkah dan Madinah. Mencegah orang dari perasaan haru, bahkan menangis di depan makam Rasulullah, sama saja dengan upaya membuang Rasulullah dari dalam hati umat. Gaya Wahabi ini harus dilawan, apapun ongkosnya.

Tanpa upaya sungguh-sungguh melawan tren yang berbahaya yang terus berlangsung di Makkah dan Madinah itu, maka sinyalemen Gus Mus (KH Mustofa Bisri) bahwa pergi haji zaman ini mirip dengan pergi ke Las Vegas sama sekali bukan isapan jempol. Puncaknya ini memaksa kita untuk menyimpulkan bahwa ibadah haji yang demikian itu hanya sah secara fiqih tapi batal secara substansi dan batin. Dan apa yang batal secara batin sudah barang tentu tak akan membawa buah ibadah sebagaimana semestinya. Maka balik dari haji, orang bisa justru makin giat melakukan korupsi, manipulasi, dan berbagai kejahatan sosial lain yang berdampak luas terhadap kehidupan umat manusia. Nauzhubillah min dzalik.

MH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *