Satu Islam Untuk Semua

Monday, 23 November 2015

OPINI – Ilusi Bela Negara


Oleh Hertasning Ichlas*

 

Seruan membela negara di tengah rakyat yang sering kehilangan esensi negara.

Program Kementerian Pertahanan di bawah Menteri Ryamizard Ryacudu tentang bela negara pada dasarnya mengajak kepada sesuatu yang penting. Bulan-bulan ini, setelah takluk dikepung asap, mengerasnya intoleransi dan sektarianisme, serta situasi naiknya harga-harga, warga Indonesia sungguh merasakan negara yang tegas dan hadir mendesakkan tugas bela negara kepada rakyatnya.

Bela negara menjadi salah satu agenda mahapenting di tengah terkulainya rakyat oleh ketidakhadiran negara. Tak ada perdebatan, membela negara adalah tugas mulia bukan saja untuk pejabat negara tapi bagi semua warga negara, tak hanya 100 juta rakyat Indonesia.

Namun, maksud baik bisa terasa asing dan kehilangan moral ketika apa yang disebut dengan “membela” masih dipahami sedemikian cetek hanya seputar persiapan perang semesta secara fisik melawan musuh yang datang dari luar sana. Sementara itu, apa yang disebut “negara” begitu naif masih melihat relasi negara-warga negara dengan kaca mata bapakisme (paternalistik).

Bapak yang terlihat selalu benar dan patriotik. Bapak yang selalu lebih nasionalistik dan cinta bangsa. Bapak yang inheren di dalam dirinya membawa kepentingan rakyat. Bapak yang tak pernah mengkhianati Pancasila dan konstitusi. Tugas bapak membela kedaulatan dan memajukan kepentingan rakyat banyak. Karenanya apa yang bapak lakukan pada dasarnya memancarkan kepentingan negara dan bangsa.

Warga sipil dalam kaca mata negara bapakisme terlihat selalu kekurangan dalam banyak hal. Kekurangan kandungan kepentingan bangsa. Lemah dalam nasionalisme. Malas dalam merawat NKRI. Selain unsur ‘bapak’ yang ada di dalam tubuh negara, unsur lain selalu akan diragukan penghayatannya pada Pancasila dan konstitusi.

Karenanya, warga sipil, terutama di daerah terpencil dan perbatasan yang miskin dan terbelakang harus terus-menerus dicek kadar nasionalismenya dan dibina kesungguhannya untuk membela negara. Negara, setelah kalah berkali-kali oleh cengkraman kapital dan oligarki, akhirnya terobsesi untuk membuat warganya menjadi lebih patriotik menghadapi musuh-musuh yang abstrak.

Di dalam dunia nyata, operasi makna tentang negaraisasi yang bersifat bapakisme ini sungguh problematis dan penuh kontradiksi. Kita akan sering melihat negara yang compang-camping dan penuh ironi. Apa yang disebut bela negara sering direduksi hanya tentang selera nasionalisme impulsif seorang presiden, orang-orang di kabinet atau petinggi TNI-Polri.

Peristiwa yang bisa melukiskan itu misalnya gegap gempita pengerahan lebih dari 10.000 personil aparat polisi dan TNI saat mengawal Piala Presiden berikut status siaga satu yang dibuatnya, lengkap dengan kehadiran panglima TNI dan Kapolri yang turut mendampingi presiden. Sementara itu, di tengah kepungan asap, 7000 personil dibawa mengurus asap di Sumatera. Inikah contoh konsep urgensi bela negara dalam praktik?

Contoh lain, kasus pelaporan ketua parlemen  oleh Menteri ESDM Sudirman Said. Kasus itu menjelaskan bagaimana aksi korporasi PT Freeport Indonesia sejak lama selalu keliling melakukan safari politik ke elit penguasa mencari beking demi mengamankan kepentingan perpanjangan kontrak Freeport.

Rekaman percakapan CEO Freeport dengan Ketua Parlemen Setya Novanto dan seorang pengusaha migas bernama Riza Chalid, menjelaskan kepada kita, bagaimana cara pejabat negara kita membela negara ini alam konteks kepentingan negara dalam urusan Freeport.  Pembelaan itu ternyata sungguh sangat murah dan pekat muatan rente.

Konsepsi bela negara pula mereduksi makna bela negara sebagai kegiatan untuk warga sipil dengan kiat-kiat pendekatan militeristik. Lagi-lagi di mata militer sipil selalu dipandang kekurangan kadar nasionalisme, kekurangan makna kepentingan bangsa dan kedaulatan.

Padahal dalam konsep bela negara, lebih penting mendesak dan mendidik bahkan menuntut kaum elit seperti pejabat publik, politisi, jenderal, profesor dan doktor untuk menjaga kedaulatan negara ketimbang melatih 100 juta rakyat. Banyak ancaman kedaulatan negara justru muncul bukan dari serangan militer asing, tapi dari penyelenggaraan kebijakan publik oleh pejabat negara yang gelap mata dan penuh motif rente dalam bidang ekonomi, sumber daya alam maupun sosial.

Konflik-konflik pembangunan yang berakar pada sumber daya alam, lingkungan, agraria hingga identitas seringkali terjadi bukan berhadapan dengan serangan musuh asing, tapi oleh predator dan pemburu rente di tubuh negara sendiri yang terus-menerus mengorbankan rakyatnya untuk berhadap-hadapan dengan buasnya pasar bebas yang mewujud dalam aksi korporasi dan pembangunanisme.

Negara dengan seragamnya, dengan senjatanya dan dengan kuasa kebijakannya, justru hadir dalam pembebasan paksa lahan dan penggusuran rakyatnya. Negara gagah tampil dalam membela pembebasan lahan sawit ratusan hingga jutaan hektar, membela para pemilik kuasa pertambangan, atau menjadi centeng untuk jenis-jenis pengerukan sumber daya alam dan liberalisasi hajat hidup orang banyak dengan bungkus bernama pembangunan.

Inisiatif bagus tentang konsep bela negara akan mengalami demoralisasi ketika rakyat lebih sering melihat negara dalam politik sehari-hari justru menjadi faktor masalah yang hadir dalam ruang hidup rakyat di darat, laut dan udara. Misalnya di perbatasan dan daerah terpencil, model negara bapakisme dan gaya militeristik akan selalu melihat makna bela negara cenderung seremonial, legalistik dan kartografis.

Selama ini kita bisa melihat bagaimana negara tentang memahami perbatasannya sendiri dan mengalami apa yang disebut antropolog perbatasan, Dave Lumenta, sebuah kontradiksi inheren dari dua realitas yang sulit dipertemukan: realitas kartografis yang kaku di satu sisi dan realitas ekologi-sosial-budaya yang dinamis di sisi yang lain.

Pendekatan negara di perbatasan selama ini lebih sering hanya sebatas ingin mengawasi peta wilayah Indonesia hasil warisan kolonial. Pendekatan ini lagi-lagi bersifat bapakisme. Ketika pemerintah nasional hanya memandang masalah pertahanan dan kedaulatan di perbatasan sebatas kepentingan penjagaan wilayah yang legalistik.

Kelemahan pengetahuan berbasis realitas kartografis dan legalistik, menurut Dave Lumenta yang meneliti masyarakat perbatasan di Kalimantan Timur dan Barat, karena pendekatan itu hanya melihat bahwa alam dan kondisi sosial direduksi sebagai ruang statis dan seolah tak bernyawa.

Dave Lumenta menilai titik-titik permukiman kampung pada peta tidak dapat berbicara tentang mobilitas, ulayat, maupun orientasi ruang masyarakat setempat. Batas-batas administratif tak dapat menangkap batas-batas budaya.

Peta perbatasan akhirnya itu dengan mudah melahirkan ilusi tentang koherensi dan keseragaman yang seolah-olah mudah ditata, direkayasa, dan dikuasai. Peta jugalah yang memperkuat delusi dan rasa percaya diri bahwa negara memiliki kedigdayaan dan koherensi ruang.

Model pembangunan perbatasan akhirnya cenderung sangat militeristik daripada pendekatan sosial kesejahteraan. Sebatas membangun pintu perbatasan, menaruh tentara lalu mengawasi dan mengecek kadar nasionalisme warga perbatasan yang umumnya miskin dan terbelakang. Tugas-tugas tersebut penting, tapi bukan yang terpenting.

Hingga hari ini warga dan wilayah perbatasan Indonesia, malangnya, masih tetap miskin dan terbelakang dengan pendekatan militeristik dan legalistik seperti itu. Pengendalian perbatasan dengan model bela negara yang formalistik jika terus dipakai akan selalu dipandang sinis oleh rakyat karena tak pernah menyentuh masalah mendasar warga perbatasan yaitu isu kesejahteraan.

Pertahanan sebenarnya yang dibutuhkan warga perbatasan adalah kemandirian pangan, energi, perbaikan kesehatan dan pendidikan. Kerja-kerja bela negara seperti ini membutuhkan strategi konseptual bukan seremonial. Mengubah daerah perbatasan menjadi daerah yang kuat dan maju. Ketika warga kuat dan maju, warga dengan sendirinya menjadi benteng budaya, ekonomi dan politik dari negara.

Bela negara tidak akan pernah mendapat ketulusan dari rakyat banyak jika negara justru lebih sering memperlakukan rakyatnya sebagai konsumen ketimbang warga negara. Dan pada ujungnya nasionalisme bukanlah ideologi negara yang harus ditaati dalam salah dan ketersesatannya. Nasionalisme adalah kesadaran dan sikap kritis warga negara terhadap peran dan operasi negara terutama saat gagal memihak dan membela hak-hak warganya.

Pada akhirnya, kutipan terkenal Samuel Johnson dan Oscar Wilde perlu disegarkan kembali: “patriotism is the last refuge of a scoundrel” dan “patriotism is the virtue of the vicious.” Ketika menurut mereka, patriotisme rakyat dan bela negara adalah jualan terakhir dari para politisi dan bangsawan yang lakunya justru sangat jauh dari patriotisme. (Islam Indonesia)

* Wartawan

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *