Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 10 July 2016

OPINI–Hidup ini adalah Latihan


Islamindonesia.id–Hidup ini adalah Latihan

Salah satu persoalan yang senantiasa menghantui pikiran dan perasaan manusia adalah tujuan penciptaan alam semesta, termasuk di dalamnya tujuan penciptaan manusia. Konon, persoalan ini pula yang mula-mula melahirkan filsafat dan cara berpikir filosofis dalam pentas sejarah manusia. Terhadap persoalan ini, berbagai aliran mengajukan jawaban yang berbeda-beda, selaras dengan dasar pijakannya masing-masing.

Kaum materialis, dengan berbagai kembangannya, merumuskan tujuan penciptaan alam dalam batasan ruang dan waktu. Bagi mereka, sebagaimana alam semesta ini terbatas pada apa yang terindra dan terukur, demikian pula dengan tujuan penciptaannya. Kebahagiaan, kesejahteraan, kekayaan, dan keberhasilan, semuanya terkait dengan konteks “now-and-here”, di dunia wadag ini. Hal-hal di luar itu dianggap nonsens, tidak bermakna.

Hal paling utama yang dihadapi kalangan materialis ialah persoalan kesementaraan yang bersumber dari kemusnahan fisik semua benda. Apakah arti penciptaan fisik ketika semuanya mengalami kehancuran dan kesirnaan? Apakah nilai eksistensial dari benda yang sementara? Apakah perbedaan dari sesuatu-yang-sementara vis-à-vis sesuatu-yang-tiada? Menghadapi berbagai pertanyaan itu, seorang materialis akan merasakan keresahan eksistensial yang menghunjam. Dan pada gilirannya dia akan tergiring untuk memilih jalan hidup yang anarkis dan nihilis.

Kebalikannya, kalangan bertuhan meyakini adanya tujuan umum yang terkait dengan penciptaan segala sesuatu dan tujuan khusus yang terkait dengan tiap-tiap ciptaan. Tujuan umum penciptaan ialah mendapatkan faydh (pancaran sinar) Ilahi, sedangkan tujuan khususnya ialah penyempurnaan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik penyempurnaan ini terjadi secara paksa atau berdasarkan kebebasan memilih suatu subjek. Dalam surah Al-Imran ayat 191, mereka bergumam: “Segala puji bagi-Mu, wahai Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia.

Menurut pandangan kaum bertuhan, alam raya diciptakan oleh dan didasarkan pada Al-Haqq. Secara bahasa, al-haqq berarti tsabat (kekukuhan dan keteguhan). Secara istilah, pengertian al-haqq tetap mengungkapkan hakikat kekukuhan dan keteguhan. Berikut beberapa pengertian al-haqq dalam bahasa Arab: 1. dalam kaitan dengan Allah Swt. Al-Haqq berarti Wujud yang Niscaya-ada; 2. dalam kaitan dengan kepercayaan, al-haqq berarti kepercayaan yang lurus dan benar, lawan dari kepercayaan yang batil dan menyimpang; 3. dalam kaitan dengan pembicaraan, al-haqq berarti perkataan jujur yang sesuai dengan kenyataan; 4. dalam kaitan dengan tindakan, al-haqq berarti tindakan yang bernilai dan bertujuan bijaksana; dan 5. adakalanya al-haqq digunakan dalam arti hak konvensional, seperti dalam konteks hak milik, hak guna, hak pakai, hak suami dan istri, hak rakyat atas penguasa dan sebagainya. Semua hak ini hanya terjadi dalam ruang sosial manusia.
Allah berfirman: “Dialah (Allah) yang telah menciptakan lelangit dan bumi dengan Al-Haqq.” (QS Al-An’am: 73)

Lawan dari kata al-haqq dalam pengertian keempat ialah ‘abats (sia-sia, nihil). Sehubungan dengan penciptaan manusia, Allah berfirman, “Apakah kalian menyangka bahwa Kami menciptakan kalian secara sia-sia dan bahwa kalian tidak akan kembali kepada Kami.” (QS Al-Mu`minun: 115). Dalam ayat ini, Allah menggugah pikiran manusia agar merenungkan penciptaan dirinya: benarkan semua ini hanya ‘abats, tidak punya maksud tertentu? Apakah kalian menyangka bahwa kehidupan serba terbatas ini akan berakhir di sini, dan tidak akan “diuraikan” di sisi Allah? Apakah kalian menyangka bahwa penciptaan alam ini hanyalah secara lahiriah dan fisik semata, tanpa memiliki aspek tersembunyi dan misterius di dalamnya?

Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan sesungguhnya tidak Kami ciptakan lelangit dan bumi dan segala apa yang ada di antaranya dengan main-main * Tidaklah kami menjadikannya kecuali dengan Al-Haqq.” (QS Ad-Dukhan: 38-39). Namun demikian, ketika berbicara mengenai kehidupan dunia, Allah berfirman, “Sesungguhnya kehidupan dunia adalah main-main dan senda gurau.” (QS Muhammad: 36) dan “Sesungguhnya kehidupan dunia ini tidak lain kecuali senda gurau dan main-main.” (QS Al-‘Ankabut: 64).

Pertanyaannya ialah mengapa Allah memerikan kehidupan dunia sebagai permainan dan senda gurau? Menurut para sufi, tujuan penciptaan alam semesta ini mustahil hanya terbatas pada kehidupan dunia ini. Bahkan, mengikuti logika Al-Quran, kehidupan dunia ini hanyalah permainan untuk kehidupan akhirat.

Ambillah contoh permainan catur. Bila dilihat pada dirinya sendiri, kekalahan dan kemenangan yang terjadi dalam permainan catur tidaklah mengandung arti apa-apa. Raja, ratu, dan prajurit-prajurit yang gugur di dalamnya juga tidak berdampak apa-apa dalam kehidupan seseorang. Namun demikian, bila permainan ini kita lihat sebagai sebuah latihan keterampilan dan simulasi untuk strategi perang yang sebenarnya, walaupun ia adalah suatu permainan, tetapi mengingat penting dan gentingnya tujuan yang ada di balik permainan tersebut, kita tidak bisa menganggapnya sebagai sekadar permainan. Dengan kata lain, Al-Quran ingin mengatakan kepada orang yang melihat bahwa kehidupan dunia bukanlah tujuan, dan bila dibandingkan dengan kehidupan akhir maka ia hanyalah suatu permainan. Sebaliknya, bagi yang melihat kehidupan fisikal yang serba terbatas ini memiliki tujuan yang lebih besar—meskipun tetaplah suatu simulasi dan permainan bila dibanding dengan kehidupan sesungguhnya—kehidupan ini dijalankan dengan sungguh-sungguh dan sikap hati-hati.

Demikianlah, gambaran umum tujuan penciptaan di atas dijabarkan Sayidina Ali dalam rangkaian munajat yang diriwayatkan oleh Kumail bin Ziyad An-Nakha’i berikut ini: “Ya Rabbi, Ya Rabbi, Ya Rabbi…Kuatkah anggota-anggota tubuhku untuk berbakti kepada-Mu, teguhkan tulang-belulangku untuk melaksanakan azamku, karuniakan kepadaku kesungguhan dalam bertakwa dan kelanggengan dalam melayani-Mu, sehingga aku dapat bergegas menuju-Mu bersama orang-orang yang telah mendahuluiku, berlari kepada-Mu bersama mereka yang berada di depan, merindukan kedekatan dengan-Mu bersama para perindu-Mu, menghampiri-Mu dengan penghampiran orang-orang yang tulus-ikhlas kepada-Mu, takut kepada-Mu laksana takutnya orang-orang yang mencapai derajat keyakinan terhadap-Mu…(Ya Allah) jadikan aku hamba yang paling baik nasibnya di sisi-Mu, yang paling dekat kedudukannya di keharibaan-Mu dan yang paling istimewa tempatnya di dekat-Mu.”

 

AJ/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *