Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 07 June 2015

OPINI – Berguru pada Nabi Zakaria


Nabi Zakaria ‘alaihis salam gelisah di tahun-tahun terakhir hidupnya. Ia mulai merasakan tulang-tulangnya melemah dan rapuh. Rambutnya yang putih mengkilat laksana perak itu seperti memberinya isyarat bahwa waktu kembalinya telah semakin dekat. 

Setiap kali ia mengamati orang-orang didekatnya, istrinya yang sangat dicintainya, keluarga dan kerabatnya yang sangat dikasihinya, pikiran dan hatinya terusik, cemas.Tulangnya yang rapuh dan rambutnya yang putih itu, seakan berbisik… ”Wahai Zakaria, mereka yang kau cintai dan sayangi itu, semua akan kau tinggalkan, seperti halnya kau juga akan meninggalkan dunia ini tidak lama lagi. Betapapun besar cinta kasih sayangmu, betapa besar keinginanmu untuk tetap bersama mereka, tidak akan menghalangi apa yang telah menjadi ketetapan Allah swt, semuanya akan kau tinggalkan”.

Bisikan itu melipat-gandakan kecemasannya. Dalam perenungannya, bertubi-tubi pertanyaan muncul mengerubutinya. Kekasih dan kecintaannya senantiasa membayang dipelupuk matanya yang basah berkunang-kunang. Pikirnya: ”Adakah mereka tahu jalan kemana ?! Jalan terjal berliku yang seringkali gelap. Adakah pelita yang akan menerangi jalan mereka ? Adakah seorang pembimbing yang kelak menuntun mereka?! 

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menyudutkannya. Kekhawatirannya memuncak, saat disadarinya bahwa dirinya, meski juga seorang Nabi, ternyata berada dalam ketiada-berdayaan yang sempurna. Dalam keadaan terpojok itu, cintanya bangkit. Dan memang, hanya cinta satu-satunya yang ia miliki.

Ia mendatangi Cinta sejatinya, mengiba, meratap, memelas dengan suaranya yang syahdu, parau, penuh harap terbata-bata. Katanya: ”Tuhanku, sungguh aku telah tua renta, tulang-tulangku rapuh sudah, rambut di kepalaku ini telah berkilat putih ketuaan, tiada pula aku enggan bermohon padaMu Wahai Tuhanku (karena hanya Engkaulah tempatku memohon)” (QS Maryam: 4). 

Lanjutnya lagi: ”Tuhanku, sungguh aku cemaskan bagaimana keadaan orang-orang yang kucintai sepeninggalku, istriku mandul, aku telah mencapai usia tua renta, anugrahilah aku keturunan dariMu sebagai wali pelindung mereka, selaku penerusku (membimbing mereka)” (QS Maryam: 5).

Sesuai kehendak Allah swt, Zakaria  selama tiga hari tiga malam tidak berkata-kata sepatah katapun. Ia menghabiskan waktunya bertasbih kepada Allah swt. menyertai harapan dan do’anya. 

Kemudian Zakaria keluar dari mihrabnya, menemui kaumnya dengan memberi isyarat meminta mereka semua agar ikut senantiasa bertasbih memuji memuja Allah pada pagi dan malam hari”. (QS Maryam: 10-11).

Tidak lama kemudian, turunlah wahyu Allah: ”Duhai Zakaria, kami sampaikan padamu berita gembira, bahwa kamu akan memperoleh seorang putera yang aku beri nama Yahya, sebuah nama yang belum pernah ada sebelumnya”. (QS Maryam: 7) 

“Wahai Yahya berpegang teguh kukuhlah pada Kitab Allah dan Aku berikan padanya kebijakan hikmah sejak kanak-kanak” (QS Maryam: 12).

Nabi Zakaria sepertinya tidak mampu menangkap keMaha-Besaran kekuasaan Allah yang mustahil bagi dirinya. Tanpa disadarinya, karena mendapatkan sesuatu yang tidak terbayangkan sebelumnya, dia merasakan kebahagiaan yang sangat dan spontan berucap: ”Ya Rabbi, bagaimana mungkin aku dapat memperoleh putera, sementara istriku mandul dan usiaku yang sudah tua renta ini !?” (QS Maryam: 8). 

Allah swt, meyakinkan dan dengan memantapkan janjinya dengan firman: ”Demikianlah wahai Zakaria, bila Aku menghendaki, pasti akan terjadi. Itu adalah perkara yang mudah bagiku. Bukankah Aku telah menciptakan engkau sedang sebelumnya kamu tidak ada, bukan apa-apa !?” (QS Maryam: 9).

Kegelisahan, kecemasan, kekhawatiran yang bertahun-tahun menyelimuti Zakaria, berubah menjadi kebahagiaan dan ketentraman. Kini, Ia sanggup berdiri tegap, tanpa keraguan sedikitpun, melangkah gagah melanjutkan perjalananannya sendiri. Benar-benar sendiri ! Tidak ada lagi yang mengusik hati dan pikirannya. Ia tinggalkan semua kecintaannya yang di bumi dan pulang dengan penuh gairah untuk menemui kecintaannya yang di langit.

Begitulah Zakaria ‘alaihis salam. Ia tidak gelisah karena ajalnya yang sudah dekat. Ia tidak mengiba memohon agar dikuatkan tulang-tulangnya yang rapuh. Ia tidak meminta agar bisa mendampingi orang-orang yang dicintainya lebih lama. Bahkan sedikitpun tidak tersurat, juga tersirat kehendaknya memohon penangguhan kepulangannya. Bukan karena ia kurang mencintai istrinya, kerabat dan kaumnya. Kecintaannya pada semua itu telah dinyatakannya secara jelas. Namun kecintaan pada kekasihnya yang Esa telah mengajarkannya, bagaimana menempatkan cinta-cintanya kepada selainNya. 

Bagi para pencinta sejati, masa penantian yang lama (hidup) dirasakan lebih sebagai derita kerinduan yang berat…bahkan lebih dirasakan sebagai kematian daripada sebagai kehidupan. Kematian bagi seorang pencinta dan perindu sejati, justru diimaninya sebagai kehidupan yang lebih nyata..tempat pertemuan para kekasih yang telah lama mengikat janji untuk bertemu.

Alangkah indahnya kematian seperti itu. Kematian dimana ada cinta di dalamnya. Begitulah cinta berperan dalam kehidupan dan kematian seperti yang dikehendaki al’aql as salim…cinta itupun patuh pada al-‘aql menuju kepada Allah swt.

Zakaria, Ibrahim, Isma’il telah memperagakan cintanya dan Allah swt mengabadikannya untuk diteladani bagi manusia yang beriman. Do’a cinta mereka telah didengar dan dikabulkan Allah swt. Ratusan bahkan ribuan tahun sepeninggalnya, tidak sedikit manusia yang mengikuti jejaknya. Sebagian mereka dikenal dan dicatat sejarah dan lebih banyak lagi yang diam-diam sendiri menikmati kebahagiaan perjalanan cintanya. Mereka adalah murid, pengikut setia, pencinta sejati, pewaris Rasulullah Muhammad.

Haydar Yahya/Pendiri Gerakan Cinta Rasul

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *