Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 21 November 2015

OPINI – Begawan, Mencari Jalan Kembali ke Tuhan


Oleh Parni Hadi

Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, ahli ekonomi dan mantan Menristek, digelari begawan ekonomi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), begawan adalah gelar pendeta atau pertapa. Orang yang berbahagia (mulia dan suci).

Sang Begawan ekonomi pada tahun 1980-an membuat pernyataan yang mengejutkan: kebocoran Anggaran Belanja Negara mencapai 30 persen. Maksudnya, telah terjadi korupsi anggaran sebesar 30 persen. Banyak orang mengakui, sinyalemen itu sebagai suatu kebenaran. Dan, itu sampai sekarang terus berlanjut. Bahkan, mungkin dengan prosentase yang lebih besar lagi. Buktinya, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sampai kini tidak pernah kekurangan pekerjaaan.

Prof. Sumitro (1917-2001) adalah ekonom kondang kaliber internasional. Ia mantan menteri di kabinet Presiden Soeharto. Bukan hanya itu, ia juga besan Pak Harto, karena puteranya Probowo Subianto menikahi Titiek Soeharto, putri sang Presiden. Jadi, sekalipun pernyataaan itu “nylekit” (menyakitkan), beliau tidak di “apa-apa”kan (ditangkap). Mungkin juga, ia dianggap sudah tua.

Begawan adalah orang suci dan berhati mulia. Orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ia tidak lagi memikirkan hal-hal duniawi. Dalam ungkapkan Jawa itu disebut sudah “mungkur ing kadonyan” (membelakangi urusan dunia). Yang dicari adalah “kasampurnaning urip”, kesempurnaan hidup. Yang dicari adalah bekal untuk mati atau “golek sanguning pati”. Mencari bekal agar mencapai khusnul khotimah atau akhir yang baik.

Akhir yang baik dari hidup dalam agama Islam adalah kembali ke asal-muasal, yakni Tuhan, sesuai firman Allah: “Inna lilahi wa inna ilaihi rojiun”. Ungkapan spiritualitas Jawa menyebutnya “mulih marang mulo-mulaniro dumadi” (pulang ke awal semula). Oleh karena itu, ada ilmu “sangkan paraning dumadi” (asal dari dan ke mana manusia ini dijadikan Tuhan). Sekitar sepuluh tahun sebelum turun tahta, Presiden Soeharto sering berbicara tentang ilmu itu.

Sebagai orang Jawa, Haji Mohammad Soeharto, memilih ungkapan “lengser keprabon, madeg pandhito” daripada mundur atau turun tahta. Artinya, mundur dari menjadi raja, untuk menjadi pendeta. Asal kata keprabon adalah prabu, yang artinya raja.

Tentu Pak Harto berharap dapat lengser secara damai, anggun, penuh kemuliaan karena timbul dari kemauannya sendiri untuk menjadi orang suci. Bukan dipaksa (oleh Gerakan Reformasi 1998). Mungkin, acuan beliau adalah Begawan Abiyasa, raja Astina, yang dengan sukarela mundur, menyerahkan tahta kepada puteranya. Tapi, karena Destarastra, putera tertuanya, tuna netra, maka tahta diberikan kepada adiknya, Pandu (Pandu Dewanata).

Destarastra punya anak seratus, yang disebut Kurawa. Pandu mempunyai anak lima, laki-laki semua, yang disebut Pandawa. Pandu wafat waktu Pandawa masih kecil-kecil. Karena itu, kekuasaan untuk sementara dititipkan kepada Destarastra. Karena hasutan Sengkuni, patih Astina, yang terkenal sangat licik, Kurawa dengan segala cara berusaha menghabisi Pandawa agar tahta Astina tetap di tangan keturunan Destarastra. Sengkuni adalah adik dari Gandari, istri Destarastra, yang melahirkan Kurawa.

Abiyasa sesuai kehendaknya meninggalkan keraton, naik ke puncak gunung untuk menjadi pertapa. Ia bergelar Begawan atau Resi Abiyasa (Wiyoso atau Viyasa). Pertapaannya disebut Wukir Retawu atau Sapto Argo (tujuh gunung). Para murid sang begawan disebut “cantrik” (santri).

Ketika sudah dewasa Pandawa menuntut tahta kerajaan Astina, warisan ayah mereka. Kurawa menolak tuntutan itu. Maka, pecahlah perang besar antara saudara satu kakek, yang disebut Bharatayuda.

 

Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *