Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 18 January 2014

Mentalitas Kuli dan Inferioritas Sebuah Bangsa


foto:indonesiaartnews.or.id

Ketika perlakuan terhadap modernisme menyimpang menjadi suatu pemujaan

 

Saya sering mendapatkan buku-buku bagus dan berbobot terbitan Mizan, Serambi, Gramedia dan Kanisius justru saat buku-buku tersebut sedang diobral. Yang seringkali membuat hati miris adalah: buku-buku tersebut hanya ‘mengalami’ cetakan pertama saja serta tidak ada cetakan kedua dan seterusnya. Bayangkan, menjual buku bermutu sebanyak 3000 eksemplar ke seluruh Indonesia, yang penduduknya hampir berjumlah 300 juta jiwa, dan jumlah mahasiswanya jutaan, tetap saja buku-buku bermutu itu tidak dilirik, hingga harus diobral. Apologinya selalu begini: “Habisnya, harga buku mahal, tapi kalau gadget dan smartphone sih tidak pernah ada kata mahal, begitu juga pulsa dan koneksi internet, ratusan ribu pun pasti gue jabanin…”

Namun tahukah Anda, bahwa buku seharga 100 ribu itu sudah buku yang tebal dan luks namun bisa bertahan lama dan bisa dibaca terus bertahun-tahun, sementara pulsa dan koneksi internet, 300 ribu habis tak bersisa dalam sebulan jadi obrolan tak berarti, caci maki tak berguna serta curhat omong kosong di media sosial…?

Kita selalu berkeluh kesah soal Indonesia yang terbelakang, Indonesia yang tak menjadi pusat pengetahuan, Indonesia yang amburadul, dan Indonesia yang begini begitu. Namun, mari sejenak kita bercermin pada diri sendiri: ‘Bukankah kita—termasuk saya sendiri—adalah kontributor langsung atas ambruk dan gombalnya Indonesia ini dengan gaya hidup dan cara konsumsi kita?’ Termasuk dalam cara kita mengomsumsi pengetahuan.

Di satu sisi, kita melihat orang-orang berlomba mencari sekolah terbaik, jurusan favorit, persetan dengan bakat pribadi yang penting sekolah dan jurusan favorit demi selembar ijazah lalu jadi kuli berdasi. Pendidikan hingga tahap perguruan tinggi pun hanya berfungsi untuk melanggengkan mentalitas kuli, dan bukannya mencetak para pemilik pengetahuan. ‘Anak-anak pintar’ lahir dari bimbingan belajar yang hanya mengajari bagaimana cara cepat menyelesaikan soal, dan bukan cara ‘bagaimana memahami ilmu secara mendasar’. Para dosen tua dengan liciknya mencuri karya mahasiswa untuk diakui sebagai karya miliknya, dan para dosen muda sibuk bertanya ‘berapa bayaran saya kalau mengajar mata kuliah anu?’, lagaknya sudah seperti ilmuwan besar yang punya banyak ilmu, padahal andalannya hanya secuil ilmu yang itu-itu saja saban tahun dan diajarkan pada semua mahasiswa di setiap tahun ajaran baru. Pendidikan hanya untuk melanggengkan mentalitas kuli, bukan untuk menumbuhkan kecintaan pada ilmu dan pengetahuan.

Di sisi lain, kita melihat orang-orang yang—secara sadar atau tidak sadar—bermental inferior terhadap Barat, gandrung pada ilmu, senang belajar secara mendalam namun hanya menjadi pelayan wacana Barat yang dengan sembrononya lalu menerapkan semua wacana itu untuk mengoreksi agama—misalnya mulai dari antusiasme lebay bahwa agama itu harus rasional seperti filsafat dan sains (tanpa sadar bahwa dengan demikian agama justru malah dikerdilkan), jilbab dianggap opresi terhadap perempuan, poligami itu pelacuran atau perselingkuhan dan lain sebagainya. Dalam salah satu makalahnya, St. Sunardi, misalnya, pernah berkomentar tentang wacana Islam Liberal, yang menurutnya adalah aliran pemikiran yang tujuannya adalah untuk melayani wacana rasional modern dan bukan untuk agama itu sendiri. Ini sebuah kritik yang tajam dan jitu.

Maka, tepatlah kiranya paparan dari Jane Idelman Smith dan Yvonne Yazbeck Haddad bahwa “Semua penulis modern, dengan satu atau lain cara, mengambil ide-ide Barat untuk mengungkapkan Islam, dan semuanya merespons dalam bentuk tertentu terhadap apa yang mereka lihat sebagai penegasan utama pada rasionalisme yang menjadi ciri kuat mayoritas pemikiran Barat. Tetapi respons yang muncul cukup beragam. Kenyataannya, mayoritas penulis muslim kontemporer memilih untuk sama sekali tidak membahas kehidupan akhirat. Mereka cukup puas dengan hanya menegaskan realitas hari pengadilan dan akuntabilitas manusia tanpa menyajikan perincian atau bahasan yang lebih mendetail. Ada beberapa alasan kenapa fenomena ini mengemuka. Salah satunya adalah semacam rasa malu atas uraian riwayat terperinci mengenai kehidupan di alam kubur dan tempat pemberian ganjaran, yang dipersoalkan oleh para rasionalis modern.” Maka, jangan heran kalau banyak kajian keislaman belakangan ini hanya bergerak di ranah kesalehan sosial seperti toleransi, pluralisme dan dialog antar umat beragama, namun hukum-hukum agama seperti yang dituliskan di atas, di hajar satu per satu demi melayani dan agar selaras dengan wacana (Barat) modern.

Hasilnya? Adalah seperti yang dipaparkan oleh William Chittick:

“Mengingat bahwa proses sekolah modern berakar pada topik-topik dan modus-modus pemikiran yang tidak selaras dan tidak sejalan dengan pembelajaran Islam tradisional, maka sangat sulit kiranya bagi Muslim yang berpikir dan mengamalkan Islam untuk menyelaraskan ranah pemikiran dan teori dengan ranah keimanan dan amal perbuatan. Siapa pun tak dapat belajar selama bertahun-tahun dan kemudian tidak tersentuh oleh apa pun yang telah dia pelajari. Orang tak bisa terhindar dari kebiasaan-kebiasaan mental yang ditimbulkan dari materi yang dipelajarinya sepanjang hidup. Kemungkinan besar, cukup besar tetapi tidak sepenuhnya, para emikir modern dengan keyakinan agama tak bisa menghindar dari memiliki benak yang terkompartemenkan. Satu kompartemen pikiran akan mencakup ranah profesional dan rasional, sedangkan kompartemen yang lain menampung ranah ketakwaan dan amal pribadi. Secara lebih umum, hal ini terjadi pada kebanyakan orang yang dibesarkan dalam suasana tradisional dan kemudian dididik dalam gaya modern. Pemikir Iran, Daryoush Shayegan, yang secara fasih menulis sebagai filsuf dan kritikus sosial yang sedang berjuang melawan fenomena ini, menyebutnya sebagai ‘skizofrenia cultural’.

Kaum beriman yang cenderung bijaksana yang terperangkap dalam skizofrenia kultural tadi mungkin mencoba merasionalisasikan hubungan antara praktik keagamaan mereka dan pelatihan profesional mereka, tetapi mereka akan melakukannya dalam kerangka pandangan-dunia yang ditentukan oleh aspek rasional dari pikiran mereka. Pandangan Islam tradisional, yang dibangun oleh Al-Quran dan diwariskan oleh berbagai generasi Muslim, akan tertutup bagi mereka, dan karenanya mereka akan menarik kategori-kategori dan pola-pola berpikir mereka dari Zeitgeist yang selalu berubah yang muncul dalam beragam trend budaya kontemporer dan dipopulerkan melalui televisi dan bentuk-bentuk lain indoktrinasi massal.”

Semoga Allah melindungi saya dan Anda—yang mulai menyadari betapa kritisnya masalah ini—dari hal yang sedemikian. Amin Ya Rabb Al-Alamin.

 

*) Alfathri Adlin adalah Direktur  Pustaka Matahari. Selain aktif di Masjid Salman ITB, ia kini tengah bolak-balik Bandung-Jakarta  untuk menyelesaikan pendidikannya di STF Driyarkara. Puluhan tulisannya bertebaran di berbagai media nasional dan jurnal ilmiah, terutama yang terkait dengan tasawuf  dan spiritualitas.

 

Sumber :Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *