Satu Islam Untuk Semua

Monday, 18 October 2021

Kolom Wim Tohari Daniealdi: Refleksi Maulid Nabi


islamindonesia.id – Kolom Wim Tohari Daniealdi: Refleksi Maulid Nabi

Refleksi Maulid Nabi

Oleh Wim Tohari Daniealdi Staff | Pengajar di FISIP UNIKOM, Bandung

Tak bisa dipungkiri, bahwa Rasulullah saw adalah pemimpin terbesar sepanjang masa. Klaim ini sudah disampaikan oleh banyak pemikir, sejarawan, dan sarjana di sepanjang sejarah. Hanya saja, tidak banyak kalangan – khususnya pada saat ini – yang membahas secara mendalam kapasitas politik beliau. Bahkan visi pembangunan sistem politik yang beliau lakukan pun, tidak banyak dikaji secara lebih mendalam dan ilmiah.

Tak ayal, political compass yang beliau pegang tampak asing pada saat ini. Apalagi ketika dimasukan ke ranah aplikasi, nilai-nilai yang beliau ajarkan terasa terlalu ideal, tinggi dan mulia, bagi mereka yang mengimani politik sebagai ajang perebutan kekuasaan.

Sedemikian berjaraknya kita, ketika cita-cita politik beliau diperbincangkan, hal itu terkesan kontradiktif secara konseptual. Cita-cita dan perjuangan politik Rasulullah pun kita masukkan dalam diskursus yang berbeda dengan real politik. Sehingga tak ayal, ranah politik pun kehilangan gugus makna, dan jadilah ia sebagai ajang brutalitas memperebutkan kekuasaan yang nir-etika.

Hakikat politik

Sebenarnya, bila kita menyelami lebih jauh, tipe kepemimpinan Rasulullah saw adalah sumber inspirasi para pemikir puncak dalam melahirkan konsep-konsep politik. Dalam sejumlah konsep tersebut kita akan menemukan, bahwa hakikat politik yang sebenarnya bukan kekuasaan, tapi merupakan cara untuk membuat warga negaranya berbahagia.

Salah satu pemikir Islam yang cukup berpengaruh di dunia saat ini adalah Abu Nashr Muhammad bin Tarkhan bin Al-Uzalagh Al-Farabi, atau yang dikenal dengan Al-Farabi. Oleh para pemikir modern dia dijuluki sebagai “guru kedua” setelah Aristoteles.

Dalam karyanya yang berjudul Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota Utama), Al-Farabi mengungkapkan, “Manusia, temasuk dalam spesies-spesies yang tidak dapat menyelesaikan urusan-urusan penting mereka, ataupun mencapai keadaan terbaik mereka, kecuali melalui asosiasi (perkumpulan) banyak kelompok dalam suatu tempat tinggal yang sama.”

Lebih lanjut menurut Al-Farabi, “Demi mempertahankan (keberadaannya)-nya dan mencapai kesempurnaan-kesempurnaan tertingginya, setiap manusia secara alami membutuhkan banyak hal yang tak semuanya dapat dia penuhi sendiri. Dia sungguh membutuhkan orang-orang yang masing-masing memasoknya dengan kebutuhan tertentunya. Setiap orang mendapati dirinya dalam hubungan yang sama dengan orang lain dengan cara seperti ini. Oleh karenanya, manusia tidak dapat meraih kesempurnaan itu, yang untuk itu sifat bawaannya telah diberikan kepadanya, kecuali (melalui asosiasi) banyak (kelompok) orang, yang bekerjasama, berkumpul bersama, masing-masing memasok orang-orang lainnya dengan beberapa kebutuhan tertentu. Sehingga, sebagai hasil sumbangan seluruh komunitas, segala sesuatu yang dibutuhkan semua orang untuk mempertahankan diri dan mencapai kesempurnaan (dapat) dikumpulkan (dan didistribusikan).”

Dalam kerangka itu, “Kota Utama” (Al-Madinah Al-Fadhilah) menurut Al-Farabi, adalah “kota – yang melalui perkumpulan yang ada di dalamnya – bertujuan untuk bekerjasama dalam mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya.”

Adapun pemimpin di dalam Kota Utama tersebut adalah sosok yang “…benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan…, dia mampu memahami dengan baik segala yang harus dilakukannya. Dia mampu membimbing dengan baik sehingga orang melakukan apa yang diperintahkannya. Dia mampu memanfaatkan orang-orang yang memiliki kemampuan, dia mampu menentukan, mendefinisikan, dan mengarahkan tindakan-tindakan ini ke arah kebahagiaan. Hal ini hanya terdapat pada orang yang memiliki kecenderungan alami yang besar lagi unggul, bila jiwanya bersatu dengan akal aktif. … Orang seperti ini adalah pangeran sejati menurut para leluhur; dialah orang yang tentangnya dikatakan bahwa dia menerima wahyu. … Pemerintahan orang seperti ini merupakan pemerintahan tertinggi; pemerintahan yang lainnya berkedudukan di bawahnya, dan berasal darinya.”

Perspektif Sufistik

Terkait kualitas sosok ideal pemimpin yang disebut Al-Farabi, ia tidak lain adalah Nabi Muhammad saw. Yang saat ini sudah tidak mungkin bisa kita temukan. Tapi setidaknya kita bisa menilai, bahwa kualitas-kualitas pemimpin ideal yang disebutkan Al-Farabi mencakup dua aspek; kualitas intelektual dan kualitas spiritual.

Meski tidak mungkin mencapai titik ideal, tapi kedua kualitas tersebut sebenarnya manusiawi dan bisa didekati dengan sejumlah cara. Kualitas intelektual, bisa dicapai dengan syarat umum seperti pendidikan dan ketekunan belajar. Sedang kualitas spiritual adalah dengan latihan jiwa (riyada) yang dilakukan secara intens. Dan salah satu teknik latihan jiwa yang paling efektif, adalah kesediaan berkorban, atau merelakan sebagian kebahagiaan yang dimilikinya demi terwujudnya kebahagian masyarakat.

Bila ditinjau dari perspektif spiritualitas (baca:sufistik), kerelaan berkorban ini, sesungguhnya syarat dasar dalam membentuk sifat murah hati dan kedermawanan.

Dalam Ar-Risalah, Al-Qusyairi mengatakan bahwa para sufi tidak membeda-bedakan antara kedermawanan (sakha’) dan kemurahan hati (jud), sebab esensi keduanya adalah sama, yaitu kerelaan mengorbankan sesuatu, tanpa diiringi rasa kehilangan atau pun kesusahan. Dan karena menyangkut kerelaan berkorban, maka kedua tindakan ini menjadi latihan spiritual yang penting bagi para murid (peminat jalan spiritual).

Musa Kazhim, dalam salah satu artikelnya di ganaislamika.com menjelaskan lebih jauh, bahwa kerelaan berkorban akan melatih diri untuk melepaskan unsur-unsur lempung dari jiwa, sehingga jiwa dapat dengan leluasa melenggang menapaki tahap-tahap transendensi dan kesempurnaan spiritual. Nabi saw bersabda:

Orang yang murah hati dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka. Orang murah hati yang bodoh lebih dicintai oleh Allah daripada ahli ibadah yang kikir.”

Dalam perspektif sufi, “kedekatan” ini bermakna metafisikal. Orang yang rela mengorbankan materi demi sesuatu yang non-material telah mulai mengaktualkan potensi rohani di dalam jiwanya. Dan karena roh adalah hakikat manusia yang bersifat ilahi (Lihat: QS Al-Hijr: 29 atau Shad: 72), maka orang seperti ini pastilah “dekat” dengan keilahian, “dekat” dengan kemanusiaan dan kesurgawian.

Semangat Berkurban

Dengan demikian, bila kita kembali pada perspektif politik, bisa dikatakan bahwa semangat berkurban pada hakikatnya merupakan jenis pelatihan khusus bagi para calon pemimpin. Sebab hanya dengan begitu mereka mampu mengatur sistem, agar semua orang bisa mendapatkan kebahagiaan sejatinya. Orang-orang yang lebih mementingkan diri, keluarga, kelompok ataupun golongannya, jelas tidak mampu melakukannya.

Tapi bila kita perluas skema pemaknaannya, pada hakikatnya setiap kita adalah pemimpin (khalifah). Sehingga semangat berkurban menjadi kompatibel diterapkan bagi semua manusia, yang oleh Aristitoteles disebut sebagai makluk politik (zoon politicon).

Terkait dengan konteks politik Indonesia sekarang, agaknya semangat berkurban ini menjadi penting kita implementasikan bersama. Sebagaimana kita saksikan, dalam beberapa tahun terakhir, dunia politik kita pengap oleh tarik menarik kepentingan antar kelompok. Satu sama lain anak bangsa saling menghujat, menghina, bahkan tidak segan menyebarkan hoaks demi memuaskan diri dan golongannya sendiri.

Bila dibiarkan, sangat mungkin kondisi tersebut membawa situasi bangsa ini makin tak terkendali. Dan pada akhirnya, tak satupun dari kita bisa mengecap kebahagiaan sejatinya. Karena sebagaimana dikatakan Al-Farabi, “manusia sungguh membutuhkan orang-orang yang masing-masing memasoknya dengan kebutuhan tertentunya (untuk mencapai kebahagiaan sejatinya).

Oleh sebab itu, di Maulid Nabi Muhammad Saw, yang kebetulan hampir bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, tidak ada salahnya kita mengorbankan sedikit ego kita, demi kepentingan yang lebih besar yaitu bangsa dan negara. Sebab bila kita melihat secara jujur, saudara-saudara kita yang berbeda pandangan politiknya dengan kita, sebenarnya orang-orang yang juga mencintai bangsa ini, tapi dengan cara yang berbeda saja. Wallahualam bi sawab []

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Dok. Pribadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *