Satu Islam Untuk Semua

Friday, 24 June 2016

KOLOM – Terburu-buru


Islamindonesia.id–Terburu-buru

Oleh Endang Kurnia*

Di saat menggunakan kendaraan di jalan raya, saya sering berimajinasi bahwa setiap orang sedang terburu-buru. Semuanya terburu-buru karena hal-hal mendesak, satu dua hal yang teramat genting. Sebab itulah kendaraan yang sebenarnya sudah berhasil memangkas waktu (ketimbang dengan berjalan kaki) menjadi masih terasa lamban.  Sementara semua orang teramat perlu buru-buru, untuk hal-hal yang mungkin saja sesuai dengan imajinasi saya.

Saya berimajinasi pengendara motor yang baru saja memotong kendaraan saya sedang terburu-buru karena istrinya akan melahirkan. Lalu saya membayangkan pengendara mobil di belakang, yang terlalu sering memencet klakson, lupa mematikan kompor saat merebus air. Lalu pengendara mobil yang suka menyerempet kiri kanan adalah dokter yang terlambat untuk sebuah operasi penting. Jika tidak pasien bisa mati. Pengendara motor lainnya yang sibuk salip sana sini sedang buru-buru mencari ayahnya yang pikun dan menghilang dari tadi pagi.

Begitulah  saya sering berimajinasi tentang pengendara lain. Sungguh cara ini bukan saya niatkan untuk melatih imajinasi. Bukan juga untuk hiburan diri. Tapi lebih tepatnya untuk memperisai diri dari emosi. Dari rasa stres akibat terburu-buru secara serampangan oleh para pengendara di jalan raya. Cara ini membuat saya lebih bisa untuk bertenggang rasa. Untuk tak marah.

Tapi kadang imajinasi itu tak begitu efektif pula. Sebabnya imajinasi saya masih terbatas. Sementara jumlah pengendara yang selalu bergegas itu sekian banyaknya. Entah saya yang tak pandai berimajinasi, entah  jumlah pengendara yang bergegas itu terus beranak pinak.

Alhasil saya kehabisan imajinasi. Lalu marah. Saya, pun juga banyak orang lain akhirnya  merasa stres dengan gegas yang menggila itu. Saya sadari mau tak mau harus menerima kenyataan bahwa tak semua pengendara yang bergegas itu benar-benar perlu untuk bergegas. Tak semua mereka sedang diburu atau berburu hal yang genting. Mereka hanya ingin bergegas itu saja. Tanpa alasan. Tanpa hal penting.

Namun, saya tak bisa berdamai dengan kenyataan itu.  Saya tetap merasa tak habis pikir bagaimana bisa semua orang harus bergegas padahal tak ada yang perlu untuk diburu atau memburu. Seolah jalan raya adalah soal takluk dan menaklukan. Siapa cepat dia yang menang. Siapa yang berhasil menyalip dia yang terbaik. Siapa yang berhasil membuat orang lain menyingkir, dia tiada tanding. Ah, mungkin jalan raya sudah ibarat hutan belantara. Tanpa tedeng aling-aling. Tanpa toleransi, hanya soal takluk menaklukan. Hanya soal ego dan tak ada harkat orang lain.
Gegas yang menggarang itu membuat saya menyadari manusia seolah tak pernah puas dengan jarak yang sudah berhasil diperpendek oleh jalan raya dan kendaraan.  Seolah manusia tak pernah puas pula dengan kemudahan yang telah menghemat energi, telah meringkas waktu. Seolah memang manusia selalu mencari hal-hal baru untuk ditaklukkan.

Tanpa kita sadari, dalam dunia takluk menaklukkan, dalam dunia gegas kita sendirilah yang juga menjadi korban. Kitalah yang membuat diri kita sendiri selalu merasa terburu dan diburu sesuatu yang entah apa. Membuat diri kita merasa tak damai.

Terkadang kita memang lupa, bahwa tak selalu tujuan adalah yang paling berharga. Terkadang perjalananlah yang lebih berharga. Terkadang kita memang lupa, bahwa banyak hal yang kita lewati karena terlalu gegas ingin mencapai tujuan.
Mungkin bagi para pendaki kadang lebih nikmat memandangai pemandangan alam selama perjalanan menuju puncak gunung. Bagi para pengembara bahkan tak perlu ada tujuan, biarkan perjalanan itu dinikmati. Apalagi tanpa terburu waktu yang bahkan tak perlu.[]

 

*Penulis buku “Catatan Rindu pada Sang Rasul” dan novel “Curahan Hati Iblis”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *