Satu Islam Untuk Semua

Monday, 09 October 2017

KOLOM – Sesat dan Ledakan (Amhilhum Ruwaida)


islamindonesia.id – KOLOM – Sesat dan Ledakan (Amhilhum Ruwaida)

 

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Ada tiga golongan yang semakin hari akan semakin matang pertentangannya. Yang pertama sangat mengharapkan perubahan setotal-totalnya, karena semakin hari semakin mengalami ketidakbenaran dan ketidakseimbangan keadaan yang komprehensif. Yang lainnya sangat mantap dengan keadaan yang sedang berlangsung. Sangat menikmati hasilnya, sangat membanggakan keterlibatannya dan sangat memuja pemuka-pemuka yang memimpinnya.

Aku termasuk golongan ketiga. Yakni yang tersesat dan terhimpit di antara keduanya. Ini golongan gagal paham. Aku menemukan diriku berada di garis paling depan dari pasukan gagal paham ini. Kalau menoleh ke kanan, aku gagal memahami penolakan yang sangat keras terhadap kemungkinan perubahan. Kalau aku menoleh ke kiri, aku juga gagal memahami arah perubahan yang didambakan.

Aku sendiri, sebagai manusia yang menjalani kehidupan, pasti juga punya hal-hal yang berkaitan dengan kemungkinan perubahan. Tetapi muatan pikiranku tentang perubahan itu tidak terdapat di kanan maupun kiriku. Bahkan saya lihat-lihat kok juga tidak ada di kotak pemikiran manapun dan pada siapapun di seluruh Negeri ini maupun di seluruh dunia. Baik pada orang yang sesama manusia denganku, yang sebangsa maupun yang se-Agama. Ini fakta yang sangat jelas bahwa aku benar-benar berada di dalam kesesatan.

Kalau sekedar gagal paham, sebenarnya tidak terlalu menderita. Karena bisa saja aku cukup hidup di lingkup kecil yang kupahami, kujalani, kunikmati atau kuderita. Yang sering terasa berat adalah aku dicurigai, dimarahi, bahkan dibenci oleh mereka yang aku tak paham. Karena aku tak paham, maka pasti juga aku tidak bisa dipahami, serta tidak boleh mengharapkan siapapun akan tidak gagal paham padaku.

Akhirnya situasi saling tidak paham ini membuatku omong atau nulis tanpa orientasi untuk dipahami. Bahkan ada beberapa kali menuliskan sesuatu hal separuh saja, atau sengaja ungkapan kata atau idiom atau terminologi yang kupilih, tidak kulanjutkan dengan kalimat yang menerangkannya. Kalau ada yang agak keras memprotes, kujawab: “Aku tidak sedang menulis apa-apa. Aku hanya mengulur-ulur waktu, hanya menunggu saat-saat itu tiba. Sebab ada yang sedang bekerja di luar pengetahuan banyak orang…”

Tetapi jawaban itu semakin membuat aku dicurigai dan dimarahi. Mereka tidak berpikir bahwa aku bilang gagal paham itu merupakan cara yang paling bijaksana yang bisa kupilih. Kalau aku meletakkan diri di wilayah “paham”, maka aku akan melawan, memberontak, menghimpun, memobilisasikan, membikin ledakan, melakukan sesuatu yang semua orang tidak pernah membayangkan bahwa itu bisa lakukan.

Aku bilang tidak paham berdasarkan beberapa pengalamanku di dua era sebelumnya di mana aku tertipu oleh suatu arus nasional. Sekarang keadaannya semakin membuatku tidak lagi bisa menemukan cara untuk menyelenggarakan perubahan, kecuali hanya akan lebih menyengsarakan banyak orang. Cara halus rasanya tak akan sampai. Cara keras akan pasti menghasilkan benturan-benturan besar, tanpa satu pihakpun memiliki kesiapan untuk menjalani perubahan yang sejati.

Posisiku seperti seorang istri yang nikah dengan suaminya dengan tata cara suatu Agama, tetapi setelah berumah tangga suaminya kembali ke Agama sebelumnya. Ia dimarahi oleh banyak teman-temannya. Bahkan beberapa Ustadz menasehatinya agar ia tidak meneruskan “berzina” dan segera kembali ke jalan kebenaran.

Si istri itu marah kepada orang yang memarahinya: “Saya ini sudah tertipu kok malah kamu marahi. Saya ini sudah disesatkan suami saya kok malah kamu sesat-sesatkan. Enak saja menyuruh-nyuruh bercerai. Memangnya saya bukan manusia, sehingga tidak punya hati kepada anak-anak saya. Bukannya saya tidak paham syari’at. Tetapi apakah hidup ini bagian dari syari’at, ataukah syari’at bagian dari hidup? Syari’at itu dihadirkan untuk menghancurkan manusia hidup, ataukah membimbing prosesnya?”

Akan tetapi karena yang kualami ini bukan skala rumah tangga, melainkan komplikasi dalam skala yang jauh lebih luas, maka aku tidak berani membantah ke kanan maupun ke kiri. Aku diam-diam menantikan waktu saja, sambil tidak pernah mau mengemukakan secara eksplisit apa yang sesungguhnya aku maksudkan. Yang kumaksudkan justru terletak pada kalimat-kalimat yang tak kuucapkan.

Dua proposal Nabi Musa ditolak oleh Tuhan, dan sejumlah proposalku ditolak oleh hidupku sendiri. Akhirnya permintaannya digeser. Nabi Musa memohon agar Allah menampakkan wajah-Nya. Kali ini Allah memenuhinya, tetapi Musa pingsan sebelum ia benar-benar menghadap ke arah yang Tuhan menunjukkan wajah-Nya di seberang gunung itu.

Sampai-sampai aku niati 6,5 jam menaiki tiga lapisan gunung itu untuk sekadar merasakan duduk di batu tempat Baginda Musa duduk berdialog dengan Tuhan di seberang anak gunung yang teksturnya bagaikan cairan raksasa karena ledakan tatkala Allah menampakkan wajah-Nya kepada Musa. Kepada Baginda Musa aku nyeletuk: “Lanopo Sampeyan blakra’an tutuk mriki niki”. Dan kepada Tuhan aku memohon: “Wahai Yang Maha Mewariskan, berapa lama lagi Kau perkenankan ledakan itu?”. Kubayangkan Ia menjawab: “Amhilhum ruwaida”.

 

Yogya, 9 Oktober 2017

 

YS/IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *