Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 03 February 2016

KOLOM – Renaissance Budaya Mataraman


Oleh Parni Hadi*

Budaya Jawa penuh bunga-bunga semerbak, banyak hal yang tersamar (sinamun  ing samudana), antik, artistik dan estetis. Di dalamnya penuh  aroma romantis , mistis dan filosofis.  Ini bukan pandangan saya, sekalipun saya orang Jawa, tapi dari Sultan Hamengku Buwono X, Raja Jawa dan Gubernur DIY.

“Percikan-percikan falsafah hidup Jawa yang menyelinap halus dalam susastra lama yang memuat ajaran (piwulang) dan petuah berharga (pitutur luhur) perlu direaktualisasi menjadi gerakan renaisance budaya untuk menjawab penetrasi budaya global,”, kata Sultan HB X dalam pidato kuncinya pada sarasehan Budaya Mataraman di Madiun, Jawa Timur, 22 November lalu.

Sarasehan yang  diselenggarakan Bakorwil (Badan Koordinasi Wilayah) Madiun dan didukung penuh oleh Paguyuban Pawitandirogo (Pacitan, Ngawi, Magetan, Madiun dan Ponorogo) ini bertujuan untuk membangkitkan kembali budaya Mataraman di Madiun dan sekitarnya.  Tercatat 16 kota/kabupaten di Jawa Timur dulu adalah bagian dari Mataram dan karenanya berbudaya Mataraman. Cuma bahasanya tidak sehalus Surakarta dan Yogyakarta.

Banyak hal dalam filosofi Jawa yang bersumber dari Budaya Mataraman masih memiliki denyut aktualitas. Tak semua falsafah hidup Jawa usang dan jika itu direaktualisasi maknanya akan bermanfaat untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang lebih bermartabat.     

Pengaruh budaya Jawa, suka atau tidak suka, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sangat besar. Maklum, presiden RI dan sebagian besar pemimpin puncak negeri ini sampai sekarang sepenuhnya atau sebagian berdarah orang Jawa. Karena itu, memahami praktek budaya Jawa, kelebihan dan kelemahannya, adalah perlu. Berikut adalah salah satu contohnya.

Menjelang  pemilihan legislatif, pemilihan kepala desa, bupati, gubernur sampai pemilihan presiden, banyak  calon, terutama yang berlatar belakang budaya Jawa, menjalani berbagai ritual yang tidak diajarkan dan bahkan dilarang oleh agama.

Laku yang oleh sebagian orang dianggap aneh dan tidak masuk akal itu antara lain mengunjungi  dukun dan paranormal, mandi kembang,  “kungkum” (merendam diri di tempuran sungai), berziarah ke makam atau tempat yang dianggap keramat, bertapa di tempat sunyi  dan berpantang ini-itu.

“Kecelakaan persepsi”
Tentang fenomena seperti itu, Sultan mengatakan bahwa orang Jawa terkesan lebih mementingkan  laku kebathinan untuk mendapatkan amanah kekuasaan.

“Barangkali hal ini merupakan “kecelakaan persepsi” akibat kesederhanaan berpikir “wong Jowo”dalam merespons pemikiran-pemikiran para empu dan pujangga”, jelas Sultan.

Masyarakat Jawa, termasuk para keturunan raja dan birokrat Keraton Jawa, menurut  Sultan, tidak mampu memetik secara cerdas “ideologi” para raja Jawa, leluhur mereka, yang pro rakyat, tegasnya pro petani.

Sultan memberi contoh “laku utama” yang dilakoni Senopati, pendiri dinasti Mataram, untuk mendapatkan “wahyu keraton (kekuasaan)” seperti disebut dalam buku Wedhatama dan Wulangreh telah disalahfahami lebih sebagai “laku tapa brata” di tempat-tempat sepi atau di pesisir Laut Selatan (Samudera Hindia).

Wedhatama yang berisi ajaran laku utama adalah karya Sri Mangkunegara IV (1853-1881), raja Mangkunegaran, sedangkan Wulangreh yang mengutamakan pengendalian diri adalah karya Sri Pakubuwono IV (1768-1820), raja Surakarta.

Kedua raja yang juga pujangga/sastrawan itu dengan jelas memaparkan  bahwa Senopati juga melakukan perjuangan nyata dan membumi. Itu termuat  dalam Wedhatama dalam anak kalimat  yang berbunyi “amamangun karyenak sesama”, yang artinya selalu berbuat untuk menyenangkan hati orang lain.

Sementara itu, Wulangreh, dengan tegas menyatakan bahwa Senopati menjalani laku menyamar sebagai petani agar tidak ketahuan orang lain. Ia melakoni kehidupan rakyat yang sesungguhnya, menjauhi watak sok kuasa, sombong dan angkuh.

“Siapa pun yang memperoleh wahyu kekuasaan, sikapnya pasti merakyat. Keberpihakan kepada rakyat,  lebih jelasnya lagi pro-petani, sesungguhnnya adalah ideologi raja Jawa sejak dulu, “ kata Sultan.

Banyak prasasti juga menyebutkan keberpihakan raja-raja Jawa terhadap petani. Di antaranya berupa pernyataan raja yang membebaskan  wilayah “perdikan” dari kewajiban membayar upeti (pajak), karena jasa rakyat wilayah tersebut.

Renaisance 
Sultan dalam pidatonya yang berjudul “Renaisans Budaya Mataraman, Konsep Inspiratif Akulturasi Budaya” itu menyerukan budaya Wedhatama-Wulangreh yang mengajarkan “wirya-arta-winasis” (kedudukan, harta dan kepandaian) dan keberpihakan kepada rakyat perlu direkonstruksi ulang dan diperbaharui kemasannya agar mudah dipahami masyarakat awam.

Wedhatama-Wulangreh tidak semata-mata mengajarkan  “tapa-brata” dan berprihatin terus menerus.  Pesan Sri Sultan Hamengku Buwono IX  dalam “Tahta untuk Rakyat” sebetulnya sangat jelas menyatakan, perlunya “laku tapa ngrame” atau berbuat nyata di tengah rakyat untuk membangun kesejahteraan.

Saripati  budaya Mataraman termuat dalam buku (Serat) Centhini, Sastra Gendhing, Wulangreh dan Wedhatama sebagai sumber utama acuan untuk ajaran etika, estetika dan filsafat Jawa, yang penuh kearifan dan keteladanan.

Buku-buku  itu memuat  pedoman dan larangan-larangan, mengacu pada ajaran Panembahan Senopati dan Sultan Agung. Premis dasarnya adalah: dunia ideal adalah dunia harmoni lahir dan bathin.

Seseorang harus memelihara watak “reh” (bersabar) dan “ririh” (berhati-hati) seperti diajarkan Wulangreh. Berbohong , kikir dan sewenang-wenang harus dijauhi. Sementara itu, mengurangi makan-tidur adalah latihan  utama untuk memperoleh kewaspadaan bathin agar tingkah laku  dipertimbangkan masak-masak, dilihat baik-buruknya, dipikir mendalam sebelum mengambil keputusan dan berkeyakinan benar atas keputusan itu.

Ajaran ini penting untuk para pemimpin sekarang.  Jika diamalkan  dengan sungguh-sungguh ajaran ini juga bisa membantu tugas KPK memberantas korupsi. Singkat kata, perlu renaisance (kelahiran kembali) budaya Jawa dalam bahasa dan format yang mudah difahami dan dilakoni.

Sultan Agung sang pelopor

Dalam sejarah Mataram Sultan Agung (1613-1645) tercatat sebagai raja terbesar. Pada masanya Mataram mencapai puncak kejayaannya. Ini bisa dilihat dari luas wilayah, pengakuan dari kerajaan-kerajaaan luar Jawa, pengembangan budaya Jawa, penulisan Babad Tanah Jawi dan pembuatan penanggalan Jawa-Islam.

Ia juga menyerang kumpeni Belanda, VOC, di Batavia dua kali, 1628 dan 1629., walau tidak berhasil. Kecemerlangan Sultan Agung bisa dibaca dalam buku karya sejarawan Belanda De Graaf, “De Regering van Sultan Agung”.

Sultan Agung mengubah sistem penanggalan Syamsiah yang berdasar perputaran matahari pada penanggalan Saka Hindu-Jawa menjadi sistem Komariah, mengikuti perputaran bulan mengelilingi bumi, mengadopsi penanggalan Hijriah yang Islami. Sekalipun demikian, kalender Jawa tidak seluruhnya mengikuti Hijriah. Ada penyesuaian nama bulan dan hari dari bahasa Sansekerta menjadi bahasa mirip Arab. Karena ini semua, Sultan Agung ditengarai sebagai pelopor Renaisance Jawa.

Sultan Agung dalam buku Sastra Gendhing berpesan kepada keturunannya agar secara arif memetik  hikmah ajaran dalam bahasa Kawi. Jika renaisance Eropa menghidupkan kembali peradaban Yunani dan Romawi kuna dalam wujud kebangkitan ilmu berdasar sumber-sumber klasik, Renaisance Jawa menggunakan sumber-sumber klasik serupa dengan diberi vitalitas dan ruh baru.

Renaisance Jawa mencapai puncaknya ketika jaman kepujanggaan masa Sri Paku Buwana IV. Pada waktu itu terjadi “pemberontakan” Jawa terhadap pengaruh asing (Hindu, Buddha, Islam, India, Arab, China dan Belanda) yang tercermin dengan lugas dalam karya-karya susastra. Saat itu terjadi “benturan antar peradaban” (clash of civilization) di Jawa. Dampaknya, bahasa dan tulisan Jawa berkembang pesat karena dipakai sebagai sarana pertahanan budaya Jawa terhadap pengaruh asing.

Akibat lanjutannya adalah lahirnya kembali nilai-nilai budaya dan peradaban Jawa yang digali dari naskah-naskah lama yang berisi ajaran etika dengan menggubah dan merevitalisasi isinya, sedangkan bahasanya disesuaikan dengan perkembangan jaman. Saat itu adalah titik awal Jawa memperoleh “kedaulatan spiritual”. 

Renaisance Eropa ditandai dengan kebangkitan sastra dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan menjadi teknologi, yang kemudian diaplikasikan pada industri  yang pada akhirnya menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Berkaca pada Renaisance Eopa yang digerakkan kelas borjuis menengah, pengusaha dan pedagang, maka Renaisance Jawa perlu digerakkan oleh kelas menengah, kaum minoritas kreatif dari kalangan seniman, budayawan, cendekiawan kampus dan pebinis.
Berdasarkan  uraian Sultan HB X itu, Revolusi mental Presiden Jokowi, jika bisa diasumsikan sebagai revolusi budaya Indonesia, perlu dasar dan penggerak serupa.
[]

*Wartawan/Ketum Pawitandirogo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *