Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 25 March 2021

Kolom: Nisfu Syaban dalam Pandangan Kosmologis dan Teologis


islamindonesia.id – Kolom: Nisfu Syaban dalam Pandangan Kosmologis dan Teologis

Nisfu Syaban dalam Pandangan Kosmologis dan Teologis

Oleh Ali A Olomi | Profesor Sejarah Timur Tengah dan Islam di Pennsylvania State University

Dalam beberapa hari ke depan umat Islam di seluruh dunia akan memperingati Shab e Barat atau Lailatul Nisfu Syaban, hari spiritual yang jatuh di tengah bulan lunar Syaban, 15 hari sebelum Ramadan. Ini dianggap sebagai harinya doa dan takdir.

Banyak Muslim yang meyakini bahwa nasib dan takdir umat manusia ditentukan pada Shab e Barat dan hari-hari itu ditandai dengan doa dan pertobatan. Malam itu digambarkan sebagai terjadinya aktivitas besar di antara para malaikat dan keistimewaan-keistimewaan dalam catatan kosmologis.

Para penulis seperti Zamakhshari dan Suyuti mengklaim ketetapan yang tertulis di Lauhulmahfuz, yaitu catatan abadi diturunkan kepada para malaikat yang mengurus nasib dan takdir manusia. Sebuah ketetapan perbuatan semua orang yang diturunkan kepada Ismail, malaikat surga pertama.

Kemudian ketetapan yang telah dibagi-bagi itu diturunkan kepada Mikail dan Karubiyyun (gelar bagi malaikat Ismail, yang artinya adalah pengatur rezeki-red)-nya yang menangani masalah rezeki dan air.

Ketetapan lain yang berhubungan dengan semua masalah fenomena alam diturunkan kepada Jibril, malaikat penyampai wahyu. Dan akhirnya, ketetapan masa hidup setiap orang diturunkan kepada Izrail (malaikat maut).

Telah dikatakan bahwa catatan tersebut dibawa oleh Mikail yang mendapatkan malaikat maut yang sedang duduk di bawah pohon besar dengan daun yang tak terhitung jumlahnya yang di atasnya tertulis nama semua orang.

Izrail telah melatih banyak mata mereka yang tidak berkedip kepada pohon itu sambil mengamati daun-daun yang berguguran, yang menunjukkan waktu kematian bagi manusia.

Namun pada saat Shab e Barat, para malaikat juga akan melihat pohon itu menumbuhkan daun-daun baru dan kehidupan terlahir kembali.

Kisah ini ditemukan dalam teks-teks tentang kosmologis, dan berasal dari riwayat dari Abu Yala; Muhammad saw bersabda, “Allah memerintahkan para malaikat untuk menulis dari Lauhulmahfuz semua jiwa yang akan mati di tahun mendatang. Aku ingin kematianku tercatat saat aku berpuasa.”

Yang paling penting, beberapa riwayat menunjukkan bahwa pada malam tersebut Allah mendengar doa-doa permohonan ampun, dengan beberapa (riwayat tersebut) yang mengklaim bahwa Ruh-Nya turun dekat ke bumi.

Ibnu Maja menulis, “Nabi saw berkata bahwa Allah telah menjelma pada malam tanggal 15 Syaban dan memaafkan semua ciptaan-Nya….”

Meskipun banyak riwayat-riwayat itu yang dianggap daif atau lemah, namun karena jumlah riwayat yang tercatat, menyebabkan sebagian besar ahli hukum abad pertengahan menerima peringatan Shab e Barat.

Riwayat lain yang lebih kuat, seperti dari Nasai, mencatat bahwa Muhammad saw bersabda, “Ini adalah bulan di mana amal dibesarkan di hadapan Allah. Aku menyukai bahwa perbuatanku dibesarkan saat aku berpuasa.”

Sebagai hasil dari perpaduan riwayat-riwayat ini (baik yang kuat maupun yang lemah), jumlah riwayat yang banyak, dan kesamaan amalan dari ulama-ulama seperti Imam Syafii, akan menganjurkan salat dan berpuasa, seluruh dunia Muslim akan salat, berpuasa, dan meminta pengampunan saat takdir mereka sedang dicatat.

Perlu juga ditekankan bahwa para teolog lainnya akan memperdebatkan klaim tentang Shab e Barat, bahwa sebenarnya itu adalah tentang Lailatul Qadar, malam suci Ramadan.

Berdasarkan observasi ada juga variasi regional. Di Asia Selatan kita akan menemukan banyak umat yang beriman yang mengunjungi kuburan mereka yang telah meninggal dan meminta pengampunan bagi mereka.

Di dunia Persia, rue liar (sejenis tanaman, peganum harmala dalam bahasa latin) dibakar sebagai dupa untuk menangkal kejahatan dan menyucikan rumah-rumah.

Di dalam Islam Syiah, hari itu juga ditandai sebagai hari kelahiran Imam al-Mahdi, seorang tokoh eskatologis penting yang diyakini sedang dalam masa okultasi. Orang-orang yang beriman berdoa untuk kemunculannya pada waktu yang tepat.

Dalam lingkaran esoterik, Lauhulmahfuz dan pembagian dalam hidup ini akan menjadi konsep teologis penting yang terkait dengan tradisi undian Arab, teknik terhitung dalam horoskop yang digunakan untuk menentukan “undian” tertentu dari seorang individu. Ada praktik-praktik khusus seputar hal ini yang akan saya sebutkan nanti.

Bagi para sejarawan, Shab e Barat mungkin menunjukkan kegiatan ritual pra-Islam yang diislamkan dan diamalkan. Bagi para sarjana pemikiran Islam, festival ini adalah suatu hal yang menarik untuk dapat memahami konsep nasib dan takdir.

Ide tentang takdir adalah sesuatu yang diperdebatkan dengan sengit, tetapi satu pendekatan yang mengakui kedaulatan Tuhan namun sambil mengakui elemen kehendak bebas melihat Shab e Barat sebagai keseimbangan sempurna dari keduanya: Perbuatan manusia adalah produk dari niat dan tindakan mereka, namun mereka hidup dalam batasan apa yang telah Tuhan tetapkan.

Ada pembagian nasib yang tidak bisa dilawan, penerimaan hal-hal tertentu di luar kehendak bebas manusia seperti saat kematian seseorang, atau malapetaka.

Ketetapan Tuhan kemudian tidak membatalkan kehendak bebas manusia, tetapi memberikan batasan di mana ia beroperasi sambil mengakui beberapa hal yang berada di luar batasan itu.

Bagi mereka yang memperingati hari ini, semoga doamu didengar dan puasamu berhasil.[]

*Catatan redaksi: Artikel ini merupakan terjemahan bebas dari utas yang dibuat oleh Ali A Olomi dalam akun Twitter-nya: @aaolomi

PH/IslamIndonesia/Foto utama: HDQWalls

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *