Satu Islam Untuk Semua

Monday, 19 July 2021

Kolom Muzal Kadim: Tuhan Menurunkan Martabat-Nya Agar Dikenali Manusia


islamindonesia.id – Kolom Muzal Kadim: Tuhan Menurunkan Martabat-Nya Agar Dikenali Manusia

Tuhan Menurunkan Martabat-Nya Agar Dikenali Manusia

Oleh Muzal Kadim | Staf Pengajar di FKUI dan Anggota IDI

Pengantar

Tulisan ini hanyalah sebuah upaya untuk mempelajari materi yang sangat sulit dalam tasawuf, yaitu martabat wujud. Bagi saya menulis adalah sarana untuk belajar, karena sebelum menulis saya harus membaca literatur dan berdiskusi dengan para ahli yang memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan materi yang akan dibahas.

Dalam tulisan ini, Anda pasti akan banyak menemukan kekurangan dan kekeliruan, mohon koreksi dari para pembaca. Selamat menyimak.

Cara Mengenal Tuhan

Ada yang mempertanyakan bagaimana mungkin manusia yang demikian rendah dan terbatas dapat mengenal Tuhan yang demikian tinggi dan Maha Tak Terbatas?

Demikian tak terbatas Keagungan, Kesucian, Keindahan, Kebesaran, Kesempurnaan, dan Kekuasaan-Nya, memang tidak mungkin bagi manusia yang martabatnya rendah ini bisa mengenal dan berinteraksi dengan-Nya menggunakan bahasa Tuhan.

Tuhan memang rindu untuk dikenal oleh manusia, karena itu Tuhan menciptakan manusia. Dalam hadis qudsi Allah berfirman:

“Aku adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal, maka Kuciptakan makhluk (alam semesta dan manusia), melalui cerminan-Ku itu mereka mengenal-Ku.”

Namun untuk mengenal Tuhan, manusia tidak mungkin memakai bahasa Tuhan, karena itu Dia menurunkan martabat-Nya agar bahasa-Nya dapat dipahami oleh manusia.

Analoginya seperti orang dewasa yang berbicara dengan anak. Mereka akan menggunakan bahasa dan simbol yang dapat dipahami anak, bukan menggunakan bahasa-bahasa yang abstrak. Manusia hanya dapat mengenal Tuhan setelah Dia menurunkan martabat-Nya bertingkat-tingkat.

Martabat tertinggi yang tidak mungkin dijangkau oleh manusia, bahkan tidak terdefinisikan dengan apapun juga, adalah Zat-Nya (yang paling gaib di antara yang gaib). Pada martabat ini Tuhan tidak bisa disebut, bahkan tidak bernama.

Lalu dari martabat Zat, Tuhan menurunkan martabat-Nya ke martabat Ahadiyah. Barulah di martabat ini Tuhan  bisa disebut dengan sebutan “Allah”.

Lalu Tuhan menurunkan lagi martabat-Nya ke martabat Wahidiyah. Martabat ini merupakan martabat Sifat dan Nama Tuhan yang merupakan manifestasi dari kerinduan Tuhan untuk dikenal.

Cermin-Cermin Tuhan

Dari Sifat dan Nama Tuhan itulah turun perbuatan Tuhan yang dikenal oleh manusia, yang disebut sebagai cermin Tuhan. Cermin Tuhan ada tiga, yaitu alam semesta (segala ciptaan selain manusia), manusia, dan Alquran.

Jadi manusia bisa mengenal Tuhan melalui alam semesta (makrokosmos), melalui dirinya sendiri (mikrokosmos), dan melalui Alquran. Namun di antara unsur-unsur tersebut sesungguhnya tak ada yang dapat mencerminkan-Nya secara sempurna, bahkan sekelumit pun tidak.

Dalam  surah asy-Syura ayat 11 disebutkan laisa kamitslihi syaiun (Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya).

Ketiga unsur tersebut sebenarnya sudah mempunyai cetak biru (blue print) di alam yang lebih tinggi di sisi Tuhan. Namun manusia yang awam seperti kita, tidak dapat mengenal dan memahami tingkat tersebut, sehingga Tuhan harus menurunkan martabat-Nya ke yang lebih rendah agar dapat dikenal.

Hanya manusia pilihan seperti Nabi Muhammad saw, para nabi, dan para wali – yang hijab cermin Tuhannya sudah terbuka – yang dapat mengenal Tuhan melalui martabat yang lebih tinggi.

Manusia-manusia seperti ini ruhnya dapat naik ke martabat yang lebih tinggi sehingga mereka dapat mengenal martabat Nama-Nya, Sifat-Nya, dan bahkan masuk ke dalam kefanaan martabat Zat-Nya.

Alam Semesta

Alam semesta (baik yang nyata maupun yang gaib) merupakan cermin ketakterbatasan Tuhan yang Maha Dahsyat. Dengan berbagai temuan di bidang ilmu pengetahuan alam, yang dahulunya belum diketahui sekarang mulai terbuka, sehingga semakin lama semakin tampak ketakterbatasan-Nya.

Dalam surah al-Anbiya ayat 30 disebutkan:

“Maka tidakkah orang yang mengingkari kebenaran itu memperhatikan bahwa langit dan bumi (pernah menjadi) satu kesatuan tunggal, yang kemudian Kami pisah-ceraikan?”

Kesatuan tunggal dalam ayat di atas menunjukkan rencana tunggal yang mendasari semua ciptaan serta menunjukkan ketunggalan Sang Maha Pencipta.

Manusia

Manusia juga merupakan cermin Tuhan. Dalam hadis qudsi disebutkan: “Barangsiapa yang mengenal dirinya maka sungguh dia akan mengenal Tuhannya.”

Manusia terdiri dari unsur fisik dan unsur batin. Unsur fisik maupun batin dalam tubuh manusia sangatlah kompleks. Demikian kompleksnya manusia, sehingga sering disebut sebagai alam semesta kecil (mikrokosmos).

Di dalam tubuh manusia ada sistem saraf, kardiovaskular, saluran cerna, saluran kemih, muskuloskeletal, reproduksi, darah, hormon, enzim, imun, dan lain-lain. Demikian pula di dalam manusia ada unsur batin, yaitu ruh, akal, qalb, dan nafs.

Ruh ini berbeda dengan unsur fisik maupun unsur-unsur batin lainnya di dalam manusia, karena ia berasal dari Tuhan secara langsung. “Dan telah Kutiupkan ke dalam jasadnya Ruh-Ku.” (QS al-Hijr [15]: 29)

Begitu ruh berada dalam keselarasan, maka manusia akan mencapai kesempurnaan, keindahan, kebenaran, kedamaian, dan ketenangan. Inilah tujuan dari semua perjalanan dalam kehidupan manusia untuk mengenal Tuhannya.

Berbeda dengan malaikat, manusia diberikan kebebasan untuk memilih, mengenal Tuhan lewat ruhnya atau memilih kecenderungan jasadnya. “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (QS al-Balad [90]: 10).

Alquran

Alquran juga merupakan cermin Tuhan, yaitu hakikat maknanya yang utuh. Bukan hanya teks dan juga bukan penafsirannya. Kebenaran spiritual yang terkandung dalam Alquran berlapis-lapis dan sangat mendalam, meliputi masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.

Alquran merupakan Kalam Allah yang ditujukan kepada manusia melalui Nabi Muhammad saw dan sudah diturunkan martabatnya sehingga dapat dipahami mereka.

Sebagai makhluk yang rendah dan terbatas, manusia sungguh beruntung karena diberikan karunia yang demikian besarnya untuk dapat membaca Kalam Allah yang sedemikian tinggi dan tak terbatas.

Meski demikian, walaupun Kalam Allah sudah diturunkan martabatnya supaya dapat dipahami manusia, ia masih merupakan sesuatu yang berat.

Dalam surah al-Muzammil ayat 5, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.”

Surah ini menekankan kepada Nabi Muhammad saw akan tugasnya yang berat sebagai utusan Allah dan selanjutnya dia akan menerima Kalam Allah yang juga berat.

Kalam Allah ini sedemikian beratnya sehingga dalam surah al-Hasyr ayat 21 Allah berfirman, “Sekiranya Kami turunkan Alquran ini kepada sebuah gunung, pastilah kamu akan mendapati gunung tersebut terpecah belah disebabkan takut kepada Allah.”

Allah menurunkan (unzila) Alquran dalam konteks seperti menurunkan hujan sebagai rahmat. Sebagaimana disebutkan di dalam Alquran, kata unzila digunakan apabila menyebutkan hujan dalam konteks memberikan rahmat, bukan bencana (QS al-Anfal [8] 11 dan asy-Syura [42]: 28).

Namun ketika menyebutkan hujan sebagai penyebab bencana (QS Hud [11]: 44 dan al-Ahqaf [46] 24), Alquran tidak pernah menggunakan kata unzila.

Kata unzila di sini juga bisa berarti Allah memberikan karunia yang tiada taranya kepada manusia dengan menurunkan martabat Kalam Allah yang demikian tinggi, tak terbatas, dan mulia dari Lauhulmahfuz sedemikian rupa, sehingga ia bisa dibaca dan dipahami oleh manusia yang rendah dan terbatas di alam dunia ini.

Hakikat Alquran sudah dituliskan secara utuh di Lauhulmahfuz sebelum alam semesta diciptakan. Lalu hakikat tersebut diturunkan martabatnya secara bertingkat-tingkat agar bisa dipahami manusia.

Ia menggunakan bahasa yang perbendaharaan katanya paling kaya di dunia (yaitu bahasa Arab) melalui wahyu kepada Nabi Muhammad saw secara bertahap selama 23 tahun. Wallahualam bissawab. []

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Manuskrip Martabat Tujuh. Sumber foto: NU online

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *