Satu Islam Untuk Semua

Friday, 24 December 2021

Kolom Muzal Kadim: Makna Batin Kisah Nabi Nuh


islamindonesia.id – Kolom Muzal Kadim: Makna Batin Kisah Nabi Nuh

Makna Batin Kisah Nabi Nuh

Oleh Muzal Kadim | Staf Pengajar di FKUI dan Anggota IDI

Ketika Nabi Adam wafat, beliau berwasiat bahwa Allah tidak akan meninggalkan manusia sendiri di muka bumi. Dia akan mengutus para nabi untuk membimbing mereka dan menyelamatkan mereka. Para nabi itu memiliki nama, sifat, dan makna batin yang berbeda, namun bertujuan sama, yaitu Tauhid.

Waktu berlalu sejak wafatnya Nabi Adam.

Banyak hal berubah di muka bumi.  Wasiat Nabi Adam mulai dilupakan. Kesalahan yang lalu kembali terulang, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Sebelum lahirnya Nabi Nuh, telah hidup lima orang saleh dari kakek kaum Nabi Nuh. Mereka hidup selama beberapa zaman. Mereka adalah Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Setelah kematian mereka, orang-orang membuat patung mereka untuk menghormati dan sebagai peringatan terhadap mereka.

Seiring waktu dan zaman, timbul berbagai dongeng dan khurafat yang membelenggu akal manusia bahwa patung-patung itu memiliki kekuatan khusus, sehingga mereka menyembah patung-patung tersebut.

“Mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan ) tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.’.” (QS Nuh Ayat 23)

Dalam situasi seperti ini, Allah mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan kaumnya kepada Tauhid .

Nabi Nuh merupakan keturunan kesembilan dari Nabi Adam, dan merupkan nabi pertama yang mempunyai kaum dalam jumlah besar.

Setiap kisah para nabi dalam Al-Quran selalu mempunyai makna batin yang lebih dalam.

Kisah Nabi Nuh ini mungkin merupakan kisah yang paling kontroversial dari sisi makna batin yang diuraikan dalam Fusush al-Hikam, karya Ibnu Arabi yang khusus membahas makna batin dari kisah para nabi dalam Al-Quran. 

Ibnu Arabi menafsirkan kisah para nabi dengan metode takwil, yaitu pemahaman Alquran dengan menggali makna batinnya yang lebih dalam, karena memang, seperti disabdakan Nabi saw sendiri, Alquran memiliki banyak lapis makna. Meski pun demikian lapis makna itu tak bertentangan satu sama lain, bahkan dengan makna literal (harfiah)-nya.

Sabda Nabi SAW, “Sungguh Al-Quran memiliki (aspek) lahir dan batin. Untuk setiap batin ada batinnya, sampai tujuh lapis.”

Sifat syirik dan kufur kepada Allah yang ada pada kaum Nabi Nuh menyebabkan hilangnya keseimbangan antara tanzih (transenden) dan tasybih (imanen) dan hancurnya akal, serta kosongnya kehidupan dari fitrah dan tujuan utama, yaitu Tauhid.

Kakek dan leluhur kaum Nabi Nuh adalah orang-orang yang saleh, sesuai fitrah dan seimbang dalam Tauhid. Mereka meyakini bahwa Tuhan adalah Tanzih (Maha Suci dari segala kemiripan dengan makhluk, tidak terbatas, dan tidak terjangkau oleh manusia), namun sekaligus Tasybih (sangat dekat dengan manusia, bahkan menjadi satu dengan manusia, mempunyai ciri kemanusiaan seperti Maha Mendengar, Maha Melihat, dan yang lain).

Namun, seiring waktu kaum Nabi Nuh menjadi terlalu tasybih, sehingga mereka beriman kepada Tuhan yang terlalu manusiaswi, yang disimbolkan dengan berhala dan patung.

Nabi Nuh adalah seorang hamba yang dijaga Allah, sehingga akalnya tidak terpengaruh oleh kondisi tersebut.

Allah mengutus Nabi Nuh untuk menyeimbangkan Tauhid kaumnya yang terlalu tasybih tersebut.

Namun dakwah Nabi Nuh mengalami tantangan yang besar. Sangat sulit  untuk “mentanzihkan” masyarakat yang sudah terlarut demikian dalam kepada “ tasybih”. Mereka sudah demikian meyakini Tuhan hanya dalam sisi tasybih saja.

Mereka tidak mengenal makrifat sisi Tanzih Tuhan.

Bahkan bagi anak Nabi Nuh sendiri, dakwah ayahnya terasa sangat asing dan jauh:

“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: ‘Hai anakku, naiklah bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir.’ Anaknya menjawab: ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah.’ Nuh berkata: ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditelenggelamkan.” (QS Hud Ayat 42-43)

Nabi Nuh dan kaumnya sebenarnya merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Namun terdapat ketidak-sesuaian yang menunjukkan belum sempurnanya maqam dan dakwah Nabi Nuh. Nabi Nuh sangat tanzih sedangkan kaumnya sangat tasybih, sehingga terdapat jarak yang jauh.

Maka Allah berkehendak untuk menyempurnakan maqam Nabi Nuh sekaligus misi dakwah kepada kaumnya, sehingga Allah menenggelamkan kaum Nabi Nuh dalam makrifat Allah, dan pada akhirnya mereka mengenal Allah dan menyempurnakan Tauhid mereka.

Semuanya adalah “makar” Allah Yang Maha Berkehendak. Semua Kehendak-Nya adalah indah dan sempurna. Wallahualam. []

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Fine Art Images

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *