Satu Islam Untuk Semua

Friday, 16 July 2021

Kolom Muzal Kadim: Ikhlas itu Mudah


islamindonesia.id – Kolom Muzal Kadim: Ikhlas itu Mudah

Ikhlas itu Mudah

Oleh Muzal Kadim | Staf Pengajar di FKUI dan Anggota IDI

Ikhlas dari sisi bahasa berasal dari akar kata  خَلَصَ  yang  bermakna murni, tidak bercampur dengan yang lainnya. Dengan demikian ikhlas berarti memurnikan sesuatu.

Inti dari ikhlas adalah memurnikan penghambaan dan semua aspek kehidupan kita hanya semata-mata kepada Allah, bukan kepada selain Allah.

Sebenarnya ikhlas tidak sulit dilakukan, bila setiap saat kita selalu memandang wajah Allah. Selama pola pikir kita masih semata-mata duniawi (materi, ego, hawa nafsu, emosi, kepentingan pribadi, politik, kelompok, mazhab, dan lain-lain), ikhlas menjadi lebih sulit dilaksanakan.

Ada sebuah kisah, seorang dokter merawat anak. Ibu dari anak tersebut miskin dan tidak punya biaya. Sang Ibu berjuang keras mencari dana untuk pengobatan anaknya.

Dokter tersebut berusaha berbuat baik dengan merawat anak itu sekaligus memberikan bantuan berupa dana untuk pengobatan.

Suatu saat si Ibu berpapasan dengan sang dokter, namun dia sedang terburu-buru sehingga tidak sempat untuk menegur atau menyapanya.

Dokter itu kemudian menjadi tersinggung dan berkata dalam hati, “Ibu ini kok tidak sopan, tidak menghargai saya. Anaknya sudah dirawat dan dikasih sedekah, tapi nggak negur. Saya nggak bakalan membantu lagi.”

Ini adalah pola pikir yang duniawi (karena ego sang dokter yang merasa terhina).

Bila dia berpikir murni dan memandang wajah Allah, mungkin dokter itu akan berkata dalam hati, “Allah telah menggerakkan ibu tersebut agar berpapasan dengan saya. Mungkin dia sedang demikian panik karena kondisi anaknya yang memberat, sehingga tidak sempat menegur saya. Saya akan memberikan bantuan lebih lagi.”

Apabila dia ikhlas, ketika menghadapi situasi yang sama dia bisa menghasilkan reaksi yang jauh berbeda.

Contoh lainnya adalah misalnya suatu saat kita mendapat kritik dan nasehat, yang sebenarnya bermanfaat, dari orang yang kita anggap mempunyai status sosial di bawah kita dan kita anggap kurang pintar.

Bila berpikir dengan ego duniawi semata-mata, kita mungkin akan berkata dalam hati, “Mengapa dia berani memberi nasehat dan mengkritik saya yang jauh lebih mulia dan pintar dari dia. Siapa dia, siapa saya?”

Pola pikir semacam ini adalah tentang saya (ego dan kesombongan). Hal ini akan menutup kemungkinan bahwa kita akan mendapat manfaat yang besar bila mengikuti nasehatnya.

Tapi apabila dengan berpikir murni dan memandang wajah Allah, kita akan mempunyai respon yang berbeda: “Lidahnya telah digerakkan oleh Allah, khusus untuk memberikan petunjuk-Nya kepada saya. Orang  ini lembut dan jarang mengkritik, jadi sebenarnya dia telah bersungguh-sungguh dan ikhlas memberikan nasehat. Saya akan mengikuti nasehatnya.”

Ada kisah tentang seorang ustadz yang sering mendapat honor ceramah yang beragam. Kadang kecil, kadang besar, tetapi Ustadz tersebut tidak pernah sekalipun mempersoalkan tarif ceramahnya. Kemanapun dan siapapun yang mengundang, sedapat mungkin dia akan datang, bahkan kadang harus mengeluarkan biaya sendiri.

Karena keikhlasannya itu, Allah memberikan barokah-Nya, sehingga setiap ceramahnya selalu dilimpahi rizki dan peserta yang datang begitu banyak.

Suatu hari dia diundang ceramah di desa yang sangat miskin. Ketika akan pulang, Kepala Desa menyampaikan tanda terima kasih berupa baju batik.

Sang Ustadz tadinya akan menolaknya, namun Kepala Desa bersikeras, “Mohon baju batik kasar ini diterima, jangan ditolak. Nanti jamaah tersinggung karena baju batik ini kami beli dengan uang yang sedikit tapi halal, sebab jamaah kita tak ada kesempatan untuk korupsi.

“Mereka adalah penyabit rumput, penyadap nira siwalan, buruh harian, tukang batu, petani kecil, dan lain-lain. Uang yang terkumpul sangat sedikit, sehingga kami malu kalau kami berikan kepada Ustadz, sehingga kami belikan baju batik kasar ini.

“Ini adalah hasil kucuran keringat mereka yang sudah diniatkan dengan ikhlas,” ujar Kepala Desa.

Hati sang Ustadz tergetar mendengar ucapan itu. Dia tak kuasa menahan tangisnya. Karena keikhlasan mereka, sang Ustadz merasakan bahwa ini adalah imbalan terbesar yang pernah dia terima sepanjang hidupnya.

Semalam penuh dia tidak tidur memikirkan pemberian orang-orang kecil itu.

Sejak saat itu, setiap akan ceramah di manapun, baju itulah yang dia pakai. Sampai suatu saat istrinya bertanya, “Kenapa baju ini yang paling sering engkau pakai, padahal kainnya kasar dan coraknya biasa saja?”

“Baju ini sangat istimewa bagiku. Ini merupakan pemberian fakir miskin yang ikhlas. Bila aku memakai baju ini, tubuhku bagaikan berselimut kasih sayang mereka yang tercelup kasih sayang Allah. Keikhlasan mereka memberikan kehangatan padaku, serta selalu mengingatkanku untuk selalu ikhlas seperti mereka.”

Demikian banyak peristiwa yang kita hadapi di dunia ini, cobalah meresponnya dengan berpikir lebih murni dan selalu memandang wajah Allah. Wallahualam bissawab.[]

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Dok. pribadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *