Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 08 December 2022

Kolom – Musa Alkadzim: Menjelang Persalinan Keenam: Sebuah Renungan


Islamindonesia.id – Musa Alkadzim: Menjelang Persalinan Keenam: Sebuah Renungan

Sebagai lelaki kita sering mendengar doktrin bahwa kita lebih kuat daripada perempuan. Kita bangga dengan ilusi itu, dengan membawa-bawa dalil agama sebagai pembenarannya. Kita hidup dalam budaya yang cenderung meremehkan perempuan dengan segala rupa persepsi negatif yang menyertainya.

Tetapi benarkah semua doktrin itu? Benarkah lelaki selalu lebih kuat, sempurna dan hebat dibandingkan perempuan? Benarkah budaya yang mengagungkan lelaki ini dibenarkan agama, khususnya Islam?

Jawaban saya tegas: TIDAK. Jelas sekali lelaki tidak selalu lebih sempurna dan kuat dibandingkan perempuan. Pembuktiannya sederhana dan empiris sekali: manakah lelaki yang bisa benar-benar menjadi ibu? Manakah ada lelaki yang berani mengambil kesempatan hidupnya demi orang lain sebagaimana seorang ibu mengorbankan hidupnya demi putra-putrinya?! Pastilah tidak banyak, dan mungkin, makin hari pengalaman hidup kita mengajarkan bahwa pahlawan-pahlawan seperti itu semakin sedikit ditemukan.

Satu hal yang mudah kita amati dari kelebihan seorang ibu adalah ketika menjelang persalinan. Sang ibu dipaksa mengandung bayi selama 9 bulan dengan segala kesulitan dan deritanya. Derita kian memuncak menjelang persalinan. Lalu di saat-saat persalinan, sang ibu harus menghadapi situasi antara hidup dan mati. Dan sang ibu tetap menjalaninya, dengan penuh sabar dan rela, meski dia belum tentu bisa melihat sang anak besar dan membalas jasa-jasa kebaikannya.

Perempuan yang lebih hebat dan pemberani lagi ialah yang rela menjalani semua proses derita itu untuk kedua, ketiga dan sekian kali berikutnya. Ibu seperti ini tentu layak dapat pangkat berbeda dibanding yang hanya sekali melahirkan anak dan berhenti. Meski ibu dengan satu anak itupun sudah melampaui kesempurnaan dan kehebatan banyak lelaki yang tidak pernah dalam seumur hidupnya mau berkorban nyawa atau dibayangkan harus memilih hidup dan mati untuk siapapun. Dua jenis manusia ini tak bisa dibandingkan.

Sekarang kita patut bercermin dan bertanya: maukah kita menghadapi situasi hidup-mati untuk orang lain? Benar-benar hidup-mati untuk orang lain, apapun atribut manusia itu (meski dia anak, ibu, ayah, saudara atau teman kita sendiri), yang belum tentu mampu dan mau membalas kebaikan kita? Pernahkah kita punya kekuatan kerelaan, kesabaran dan ketulusan seperti itu?! Pernahkah? Mari kita jawab dengan jujur, dalam diri masing-masing.

Kalau belum pernah, dan mungkin tidak pernah menghadapinya, maka kita semua harus merunduk malu di hadapan ibu kita, istri kita dan semua ibu yang telah menjalani semua itu tanpa pernah merasa berhak dihormati, bahkan seringkali masih harus menjalani penghinaan dan cemoohan dari yang lain serta hidup dalam budaya yang tetap saja mengagung-agungkan lelaki tanpa alasan dan dalil yang jelas dan masuk akal.

Marilah kita belajar rendah hati dan mengerti, karena itulah inti dari inti ajaran Islam. Inti dari inti Islam sebagai kepasrahan pada kebenaran; kebenaran bahwa kita bukan apa-apa, makhluk yang serba kurang, serba memerlukan curahan Rahmat dan bantuan Kesempurnaan Ilahi, Tuhan sekalian alam yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

AL/IslamIndonesia/Featured Image: smkperintis.sch.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *