Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 13 December 2022

Kolom – Musa Alkadzim: Habaib dan Muhibbin


Islamindonesia.id – Musa Alkadzim: Habaib dan Muhibbin

Pelajar bahasa Arab umumnya mengerti betapa logisnya bahasa Arab. Para pakar bahasa ini sampai sering menulis tata bahasa ini bersanding dengan tata makna atau yang lebih umum dikenal dengan logika. Seolah keduanya saling melengkapi, lantaran bahasa Arab memang punya keunikan dalam kedalaman makna yang terungkap melalui susunan huruf dan kata.

Begitu konsistennya relasi kata dan makna itu sehingga dalam semua derivasi kata tertentu ada medan makna yang terus menyertainya. Susunan huruf dan bunyi fonetik tiap kata dapat menjadi medan makna suatu kata, sehingga kata turunan (derivat) tidak akan menyimpang dari kata dasarnya.

Contohnya adalah kata hubb (حب), yang bermakna cinta. Dari kata dasar inilah muncul kata habib, yang secara harfiah dapat bermakna subjek yang mencintai sekaligus objek yang dicintai. 

Mengapa habib harus mencakup makna subjek dan objek cinta? Karena secara logis cinta itu harus timbal balik, hingga cinta itu dapat dirasakan kedua belah pihak.

Maka itu, jika kita mencintai objek yang tidak bisa atau tidak berpotensi untuk mencintai atau merasakan cinta kita, seperti batu atau uang kertas, maka jelas cinta kita ini patut dianggap tercela dan sia-sia. Itulah mengapa cinta dunia dianggap sebagai tercela dalam Islam karena dunia tidak berpotensi mencintai kita.

Atas dasar itulah mengapa kata habib mengandung arti subjek dan objek cinta, yakni pemberi dan penerima cinta, karena hubb hanya berlaku di antara makhluk berperasaan yang berpotensi memaknai cinta ini. Jika tidak, maka relasi yang terjadi itu tidak bisa diungkapkan sebagai hubb (cinta), tapi relasi yang percuma.

Dalam hubungan cinta ini ada yang secara khusus diungkapkan sebagai subjek, yakni muhibb (jamaknya muhibbin) dan ada yang secara khusus diungkapkan sebagai objek, yakni mahbub.

Tapi habib mengandung arti subjek sekaligus objek cinta, dalam arti tidaklah ada habib yang hanya mau dicintai tapi tidak mampu atau gagal mencintai.

Jika kita mau analisis lebih dalam, posisi habib tertinggi dipegang oleh yang menjadi subjek dan pelaku cinta, yang menyulut hubungan cinta ini, dengan segala atribut kesempurnaan yang ada padanya, sehingga dia layak menyandang gelar ini.

Dengan demikian, habib menjadi representasi hubungan cinta sejati, karena dia mencintai sekaligus dicintai. Dia sudah sepatutnya menempati posisi tertinggi dalam hubungan cinta ini.

Namun demikian, dalam ruang sosial dan kultural, kita menemukan habib ini ada yang bersifat kebetulan, dan ada yang bersifat keputusan.

Habib kebetulan adalah orang yang dikenal sebagai keturunan Nabi Muhammad, kecintaan dan pujaan hati seluruh kaum Muslimin. Habib kebetulan ini masih harus berjuang untuk mencintai orang yang mencintai Nabi dan keturunannya.

Tapi ada habib keputusan yang telah memutuskan mencintai keturunannya karena kecintaannya pada Nabi. Habib keputusan ini secara ruhani dan moral kedudukannya lebih tinggi daripada habib kebetulan, meski dalam ungkapan umum dia disebut sebagai muhibbin.

Saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa dalam hubungan cinta, kaum muhibbin berkedudukan lebih tinggi secara ruhani dan moral dibandingkan dengan kalangan yang secara sosial dan kultural disebut sebagai habib atau habaib. Alasannya, kaum muhibbin dengan sukarela dan kehendak sendiri memulai hubungan cinta ini tanpa pamrih. Paling tidak mereka tidak mengungkapkan dengan berbagai cara pamrih itu di dunia ini.

Sedangkan sebagian habib yang kebetulan keturunan Nabi belakangan ini lebih getol menuntut cinta dari kaum muhibbin, sedangkan mereka tidak membalas dengan cinta yang setimpal. Bahkan tidak jarang muncul sikap dan perilaku yang menghina muhibbin.

Padahal secara ontologis, tidak akan ada habib atau habaib di muka bumi ini jika tidak ada muhibbin. Bila karena satu dan lain alasan tiba-tiba para habib ini harus tinggal di negeri seperti Beijing atau Riyadh, akankah mereka dihormati dan dicintai dan disanjung sebagai habib sebagaimana mereka di negeri seperti Indonesia?

Saya kira jawabannya jelas tidak. Para habib di Beijing dan Tokyo, atau Riyadh, umpamanya, hanya akan menjadi warga biasa-biasa saja, tidak akan ada yang peduli dengan statusnya sebagai keturunan Nabi.

Atau untuk lebih tepatnya, di Beijing, Tokyo dan Royadh para habib tidak akan memiliki muhibbin sebanyak yang mereka miliki seperti di Indonesia ini.

Maka itu, saran saya kepada para habaib agar lebih menjaga diri, peduli, mengerti dan rendah hati. Kalian dipilih dan diputuskan untuk dicintai oleh umat yang hendak mengungkapkan cinta mereka kepada Kanjeng Nabi, yang pada gilirannya Kanjeng Nabi ini hingga detik-detik akhir hidupnya di bumi ini terus memanggil-manggil umatnya: ummati ummati ummati— kata beliau menurut riwayat.

Jagalah hubungan itu dengan menempatkan cinta muhibbin sebagai titipan yang harus disampaikan kepada sang Mahbub sejati, yakni Baginda Nabi Besar Muhammad Saw.

AL/Islam Indonesia/ Featured Image: klatenkab.go.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *