Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 12 December 2018

KOLOM – Introspeksi


islamindonesia.id – KOLOM – Introspeksi

 

 

Oleh Abdillah Toha | Pemerhati Sosial, Politik dan Keagamaan

 

 

Dalam sebuah tausiyah yang disebarkan lewat media sosial, seorang ustaz yang habib dan cukup banyak pengikutnya, menyatakan kecewa atas mulai banyaknya Muslimin yang mengecam habaib dan bahkan meninggalkan cara dan tariqah habaib. Padahal negeri ini sebelumnya selalu berpegang dan menghormati dzuriyah Rasulullah SAW. Dia membawa dalil dan syair yang memperingatkan Muslimin bahwa bila ingin selamat dunia dan akhirat maka satu-satunya jalan adalah tetap berpegang teguh kepada habaib dan tariqahnya.

Harus diakui bahwa belakangan ini banyak Muslim mempertanyakan ulah sebagian dai habib yang sangat menyimpang dari pendahulunya yang sejuk, santun, dan berilmu. Sebagai akibatnya, banyak murid dan pengikut habaib menjadi bingung, delusional, dan mempertanyakan kemurnian dakwah habib-habib itu. Tidak sulit memperkirakan bahwa sebagian mereka kemudian bahkan menjadi sangat kritis dan mengecam. Lebih lagi masyarakat luas di luar lingkungan santri. Mereka bertanya-tanya siapa dan apa sebenarnya yang sedang terjadi pada Islam dan Muslimin saat ini.

Dai habib yang kecewa itu, meski barangkali maksudnya baik, tapi  keliru cara dan pendekatannya. Seharusnya ia tidak menyalahkan dan mengingatkan orang luar pengikut habaib tapi melakukan introspeksi dan menujukan tausiyahnya kedalam, ke kalangan habaib sendiri. Seharusnya dia bertanya apa sebab dan mengapa ada gejala orang-orang yang kritis dan marah kepada sebagian habaib. Seharusnya dia menyoal habaib yang jadi sasaran kritik, tidakkah mereka sadar bahwa jalannya keliru dan tidak sesuai dengan dalil-dalil dan syair yang dibacakan yang bisa menjadikan habaib sebagai panutan.

Introspeksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya “peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dan sebagainya) diri sendiri; mawas diri”. Memang ada kecenderungan ego manusia ketika dikritik, instingnya segera membela diri dengan menyalahkan pengkritik atau pihak lain. Bukan menerima kritik sebagai jalan untuk memperbaiki diri tetapi menggunakannya untuk menyerang balik yang mengeritik.  Padahal, kritik yang baik itu sebenarnya adalah nasehat yang gratis. Petunjuk ada yang tidak beres dalam diri kita.

Harus diakui bahwa selama beberapa tahun terakhir ini, berhubungan dengan makin kerasnya persaingan politik, peranan dan pengaruh dai habib makin menonjol. Habib menjadi favorit untuk dilibatkan  dalam kampanye politik karena dianggap punya banyak pengikut. Sangat disayangkan bahwa orang-orang ini kebanyakan menceburkan diri kedalam keberpihakan politik secara terbuka dalam dakwahnya dengan menyandang atribut habib. Lebih gawat lagi orang yang hidungnya mancung banyak yang disebut atau menyebut dirinya habib. Akibatnya sesama Muslim menjadi terbelah dan dakwah Islam menjadi dakwah politik.

Tingginya minat politisi untuk melibatkan habib dalam kampanye politik berakibat terjadinya inflasi habib dan dai baru secara mendadak. Sebagian dari mereka bahkan sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk dijadikan ustaz atau guru agama tingkat permulaan karena ilmunya yang  sangat terbatas. Yang penting mereka menyandang gelar habib lengkap dengan kostum sorban dan gamis lalu berdiri di panggung memegang mikrofon. Lebih memprihatinkan lagi ketika orang seperti itu berbicara keras untuk memantapkan posisinya bagi membangunkan emosi pendengarnya dengan menggambarkan dirinya sebagai pemberani dan tidak takut mati sebagai mujahid.

Akibat sampingan dari semua ini, beberapa habib sejati yang berilmu tinggi kemudian menarik diri dan menolak menonjolkan kehabibannya sehingga para habib baru itulah yang menjadi  tersohor dan lengkaplah kemudian kesan masyarakat awam tentang kualitas habib. Organisasi para dzuriyah Nabi pun diam dan berpangku tangan, tidak berupaya mengoreksi keadaan, entah karena tidak sanggup atau barangkali merasa tidak perlu dan menganggap masalahnya tidak terlalu serius untuk diluruskan.

Banyaknya orang menyandang gelar habib masa ini sebenarnya adalah sebuah fenomena baru. Sebelum ini dzuriyah Rasul SAW di negeri ini lebih banyak dijuluki sebagai sayid, meski belakangan gelar sayid itupun sudah jarang dipakai. Dahulu gelar habib adalah milik para sayid yang terpandang dan dianggap sebagai guru mulia dengan ketinggian ilmu dan kesalehannya yang diakui banyak pihak. Gelar itu melekat dengan sendirinya dari mulut ke mulut karena kecintaan para pengikut dan murid-muridnya. Mereka adalah para pembimbing agama yang santun dan ikhlas dan tidak mengharapkan pujian atau kompensas dalam bentuki lain dalam berdakwah.

Gelar habib yang melekat pada orang-orang saleh itu justru menjadi beban tanggung jawab berat untuk menjaga nama baik Islam dan berupaya sekuat tenaga meneruskan misi Nabi Muhammad SAW yang berlandaskan akhlak yang mulia. Bukan untuk berbangga-bangga dan menonjolkan nasabnya yang mulia, bukan pula untuk dijadikan modal meraih status sosial tertentu bersama segala ikutannya.

Karena itu, bagi para habib yang sudah mulai merasakan dampak negatif terhadap nama baik pendahulu kita, sekali lagi jangan menyalahkan pihak lain tetapi harus melakukan introspeksi kedalam, mengoreksi diri sendiri, mendidik kembali para habib yang menyimpang, mempelajari penyebab segala kemunduran ini, dan mencari jalan keluar yang tepat  agar mereka kembali ke jalan yang benar, jalan para salafusshalih.

Bila gagal melakukan ini dan penyimpangan demi penyimpangan berjalan terus, maka tradisi kedamaian dan kerukunan yang dibangun selama ratusan tahun oleh habaib terdahulu bakal lenyap dan wajah Islam Indonesia akan berubah menjadi Islam yang minus rahmatan lil alamin. Semoga hal ini tidak terjadi dan Allah akan memberikan petunjuknya kepada kita semua serta menolong kita untuk menjaga dan menjauhkan bangsa dan negeri ini dari segala musibah. Amiin ya Rabb.

 

 

AT – 12122018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *