Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 18 July 2017

KOLOM – Ibnu Rusyd dan Semangat Anti Kekerasan


IslamIndonesia.id – KOLOM – Ibnu Rusyd dan Semangat Anti Kekerasan

 

Oleh: Ekky Imanjaya

“Wahyu hanya bisa  ditafsirkan dengan studi…” (Ibnu Rusyd)

 

KEKERASAN dan terorisme atas nama Islam adalah fenomena yang tak habis untuk dibahas dan dicemaskan. Di dalam negeri, misalnya, ada film seperti 3 Doa 3 Cinta, Long Road to Heaven, Mata Tertutup. Di luar negeri, ada film semacam My Name is Khan, Khuda Kayliye (Atas nama Tuhan), dan Kandahar.

Namun, sutradara senior Mesir Youssef Chachine, yang pada 1997 begitu khawatir dengan gejala menguatnya gerakan fanatisme buta  ini membuat film bertema serupa dengan cara yang menarik.  Youssef yang kristiani ini mengetengahkan persoalan pelik ini dengan jalan kembali ke masa keemasan Islam, masa Andalusia di Spanyol utara, dan meminjam biografi Ibnu Rusyd (Averroes), “raksasa” pemikir yang menginspirasi peradaban Barat Modern.  Agaknya, sang sutradara asal Mesir itu ingin menyatakan bahwa bahkan di era yang penuh damai dan salah satu puncak ilmu pengetahuan dan kesejahteraan rakyat dengan pemimpin seperti Averroes pun masih ada ancaman bahaya laten terorisme dan kejumudan. Saat itu, Andalusia adalah pusat perabadan dunia, dan tempat ideal untuk multi budaya dan kerukunan umat beragama seperti Muslim, Yahudi, Kristen, dan Gipsi.

Sekadar menyegarkan ingatan kita, Ibnu Rusyd (1126-1198) adalah salah satu tokoh besar dalam peradaban Islam.  Ia dikenal sebagai  filsuf Islam paling cemerlang dan humanis. Tapi sebenarnya, ia lebih dari itu, ia juga seorang Hakim Agung, astronom, matematikawan, fisikawan, dan pakar kedokteran. Salah satu sumbangannya sebagai fakih (ahli fiqih) adalah rangkaian kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasih yang memuat fiqih empat madzhab Imam Besar Suni, yang menandakan semangat toleransi dan pluralitas. Di bidang filsafat, ia menyatakan kedekatan dan kerjasama antara hukum Islam dengan filsafat, lewat Fasl al-Maqal Wa Taqrir Ma Baina Al-Syariah Wa Al-Hikmah Min Al-Ittisal (Makalah Penentu Tentang Hubungan Antara Syariah Dengan Falsafah). Di buku itu, ia menegaskan  bahwa tak ada pertentangan antara wahyu dan akal, antara agama dan ilmu, antara syariah dan filsafat; dan pemikiran kritis adalah syarat untuk menafsirkan Alquran.

Dan yang paling kontroversial adalah buku Tahafut al-Tahafut (Kerancuan di atas Kerancuan), yang adalah kritik terhadap al-Ghazali  (1058-1111) khususnya buku Tahaful Al-Falasifah (Kerancuan Filsafat), yang otomatis  membela Ibnu Sina (Avicenna) (980–1037) dan Al Farabi (AL-Pharabious) (870-950).

Tapi, bagi peradaban Barat, Ibnu Rusyd lebih dari itu. Ia adalah jembatan bagi terciptanya Abad pencerahan (Reinassance), karena ia adalah penerjemah dan komentator terbaik Aristoteles, sosok yang nyaris terlupakan di masa itu, di samping filsafat Yunani dan Romawi kuno lainnya. Ia dikenal dengan sebutan “Komentator”. filsuf Barat seperti Thomas Aquinas adalah termasuk yang terpengaruh dengan pemikirannya.”Averroism,” sebuah tradisi filsafat berdasarkan metodenya, terus berlanjut di Eropa hingga Abad ke-17.

Film Destiny diawali dengan ditangkapnya seorang Kristen oleh pemerintah Prancis Selatan yang ketahuan menerjemahkan karya-karya “terlarang” Ibnu Rusyd. Ia dibakar hidup-hidup dimuka umum. Sang ayah, yang  tengah kesakitan karena “api unggun” itu menyuruh anaknya untuk ke Spanyol, tepatnya ke Kordoba, untuk menemui sang filsuf di wilayah Andalusia, yang kala itu adalah masa kejayaan Islam. Maka bertemulah ia dengan Ibnu Rusyd sang penasehat Khalifah dan Hakim Agung, yang senang berkumpul dengan keluarga Gipsi Spanyol pimpinan penyanyi jalanan Marwan. Di sana, berkumpul juga Nasser anak sulung khalifah yang pengikut setia sang filsuf  dan putra mahkota, dan Abdallah atau Burhan, adiknya yang hobi berpesta dan berdansa.

Rupanya, di dataran Eropa itu, ada sekelompok Cult, yang ingin berkuasa dengan dalih agama. Mereka mempunyai  cara untuk mencuci otak anggotanya untuk menjadi militant dan jumud dan hanya mendengarkan petuah pemimpinnya Syeikh Said. Bagi mereka, misalnya, musik dan tarian adalah haram. Tapi, tujuan utama adalah, seperti terlihat di film ini, berkuasanya sang Syeikh, bukan urusan ideologis atau teologis.

Dan mereka pun merekrut si bungsu Abdallah, dan mulai merecoki kuliah-kuliah Ibnu Rusyd. Simak adegan berikut ini:

Ibnu Rusyd (memberi kuliah): ada seorang pemalas yang bodoh yang baru belajar dua ayat al-Quran, dan kemudian bertingkah sebagai seorang pemborong kebenaran Ilahiah. Apakah dia seorang yang saleh? Pemahaman yang hakiki terhadap ayat-ayat suci membutuhkan refleksi, riset, dan kerja tahunan.   Jika kita percaya pada orang yang menganggap dirinya jenius itu, kita mengabaikan ayat ini:  “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”. (surat Lukman, 31: 6—EIJ). Tak seorang pun yang dapat mengklaim kebenaran utuh”.

(Seorang pengikut Syeikh Said fanatik memotong)

Orang: “Tak juga Khalifah Mansyur?”

Ibnu Rusyd: “  Imam Malik berkata, sambil menunjuk makam Rasulullah:  “Semua orang bisa dipertanyakan kecuali orang yang ada di situ”. Imam Syafii berkata: “Sebuah opini yang benar bisa jadi terlihat salah, dan sebaliknya”.

Orang:  “al-Quran itu sudah jelas. Apakah Anda menghasut untuk meragukannya?

Ibnu Rusyd: “Nabi bersabda:“Jika Anda mencari kebenaran, Anda akan punya dua bagian: Jika itu mengarah pada kesalahan, ia akan diberikan imbalan.  Maka katankanlah: “Wahai Tuhanku, berikanlah aku ilmu…”.”

Orang: (memotong):“ilmu? Bagaimana dengan iman?”

Ibnu Rusyd: “Apakah  Anda sedang menggugat Tuhan?”

(dan Ibnu Rusyd menutup dialog dengan pernyataan akhir):

Ibnu Rusyd: “Wahyu hanya bisa  ditafsirkan dengan studi”.

Namun, masalahnya, semakin lama pengaruh sekte keras itu semakin melebar, bahkan sudah sampai tingkat aksi. Hal ini begitu mencemaskan sang filsuf yang mengomentari sebuah kasus: “ Dia mengulang-ulang tanpa pemahaman, seperti burung Beo. Bagaimana  bisa mereka membunuh perasaan anak-anak muda itu dan mengubahnya menjadi kriminal?”.

Di lain pihak, saat Abdallah ditahan dan diselamatkan dari pengaruh kaum militan, ia hanya menjawab dengan ayat-ayat Quran yang keras. Ibnu Rusyd pun berkomentar: “kamu cuma mengulang apa yang orang lain ucapkan. Kamu baca puisi dan quran dan sudah merasa menjadi seorang akademisi? Tahu apa kamu tentang astronomi, filsafat, dan sebagainya? Apakah kamu cukup tahu tentang cinta? Tentang hidup? Tentang keadilan? Sehingga itu cukup untuk membuatmu berkata bahwa kamu sedang menyebarkan firman Tuhan?”.  Lantas Ibnu Rusyd mengeluh: “Mengapa aku tetap menulis, tetapi ide-ideku tak pernah sampai ke orang-orang?”.

Kejumudan, kebuntuan pemikiran, hilangnya daya kritis akibat metode cuci otak dan bila kaifa(tanpa-pertanyaan-mengapa) adalah salah satu sebabnya. Karena itulah, karakter Ibnu Rusyd, di film yang diputar di Cannes 1997 itu, dikisahkan  berdialog tentang hubungan akal dan wahyu, yang sebenarnya adalah intisari dari Fashl Maqal:

Wahyu ditujukan bagi mereka yang diberkahi akal. Itulah umat manusia. Hukum Ilahi menggabungkan wahyu dengan akal.  Ini termasuk menentukan sebab dan akiba,  wahana dan tujuan. Wahyu meliputi akal, dan akal meliputi wahyu…beberapa anak-anak merancukan Antara agama dan ketidaktahuan. Beberapa orang dewasa menjadikan ketidaktahuan menjadi agama….Terdakwa muda kita itu diarahkan menuju  kebinasaan. Tanpa disadari, mereka dipaksa sesat….

Permasalahannya, di film ini, sang Khalifah Mansyur adalah sosok yang egois dan menelantarkan kedua anaknya. Dan pengaruh Syeikh Said begitu kuat, hingga membuat Istana memutuskan untuk membakar semua buku-buku Ibnu Rusyd yang dianggap memecah belah negeri itu dan menyesatkan banyak pikiran anak muda. Maka perjuangan pun dimulai: bagaimana menyelamatkan buku-buku karya Ibnu Rusyd itu.  Salah satunya adalah membawanya ke Mesir, ke pesantren Al Razi, salah satu nama besar Islam lainnya. Ia berkata: “Saya tidak selalu sependapat dengan Ibnu Rusyd. Tapi mengingat kondisi seperti ini, adalah tugas saya untuk menyelamatkan buku-bukunya”.

Josef, orang Kristen dari Prancis itu, pun kembali ke negerinya sambil membawa buku-buku sang Filsuf, walau ia rasa berat untuk pulang kampung. Baginya, Kordoba adalah negerinya yang kedua, karena “dimana ada pengetahuan, di situlah tanah air kita. Dan  kebodohan adalah tempat yang asing”. Karena itulah, Andalusia, baginya adalah “tanah humanisme dan cinta”, mengingat sebagian besar Eropa kala itu ada dalam masa kegelapan dan kemunduran.

Dan kita tahu bahwa, walau buku-buku dibakar, tapi, seperti yang dilansir adik sang Khalifah dan menjadi catatan penutup film ini, “buah-buah pikiran itu punya sayap, dak tak seorang pun yang dapat mencegah mereka untuk terbang”. Sayangnya, pikiran-pikiran jumud yang pro-kekerasan juga punya sayap. Dan kaum moderat-humanis pun  berlomba-lomba dengan ide-ide buruk yang makin berkembang biak itu. Hingga sekarang.

 

 

*) Ekky Imanjaya adalah dosen tetap School of Media and Communication, BINUS Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Salah satu pendiri  sekaligus redaktur rumahfilm.org  itu kini sedang menempuh studi S3 di bidang Kajian Film di University of East Anglia, Norwich, Inggris

 

Sumber: Islam Indonesia

3 responses to “KOLOM – Ibnu Rusyd dan Semangat Anti Kekerasan”

  1. Hardi says:

    Tertarik liat filmnya. Bisa di download di mana ya?

  2. ada di YouTube juga kok

  3. Film Destiny sekarang ada di Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *