Satu Islam Untuk Semua

Monday, 12 September 2022

Kolom Haidar Bagir: Sejarah Politik (Awal) Pembentukan Mazhab-mazhab dalam Islam dan Biang Konflik di antara Mereka (Bagian 2 – Habis)


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir: Sejarah Politik (Awal) Pembentukan Mazhab-mazhab dalam Islam dan Biang Konflik di antara Mereka (Bagian 2 – Habis)

Sejarah Politik (Awal) Pembentukan Mazhab-mazhab dalam Islam dan Biang Konflik di antara Mereka (Bagian 2 – Habis)

Oleh: Haidar Bagir

Meski setelah itu mayoritas umat Islam masih menginginkan -bahkan mendesak- Ali bin Abi Thalib untuk menjadi Khalifah, pecahnya konflik terbuka sudah tak terbendung lagi. Hasilnya, terjadi tiga perang saudara.

Awalnya Perang Jamal yang melibatkan Ummul Mukminin Aisyah. Meski sebagian sejarawan mencatat penyesalan mendalam Siti Aisyah atas keterlibatannya dalam perang tersebut, keadaan sudah kadung menjadi lebih tak terkendali.

Mu’awiyah dan kelompoknya yang memang sudah lama menunggu kesempatan, segera masuk gelanggang. Terjadilah Perang Shiffin. Dengan “kecerdikan”-nya yang khas, dia pun memaksa naik ke tampuk kepemimpinan. Hingga akhirnya Ali bin Abi Thalib terbunuh oleh anggota kelompok Khawarij.

Khawarij sebelumnya telah memberontak kepada sang khalifah dalam sebuah peperangan yang disebut Perang Nahrawan. Berdasar keyakinan keagamaan ekstrem mereka -yang menempatkan Mu’awiyah sang pemberontak, dan Ali yang mereka anggap bersalah memberi konsesi kepada Mu’awiyah, sebagai telah kafir- menyatakan keduanya sebagai halal darahnya.

Perpecahan umat tidak berhenti sampai di situ saja, tapi berlanjut hingga mencapai puncaknya pada pembunuhan Sayidina Husain dan seluruh keluarganya di Karbala oleh bala tentara Yazid bin Mu’awiyah. Bahkan hal ini terus berlangsung hingga prosekusi terhadap para keturunan Husain.

Saya tentu tak bisa menggunakan tulisan sederhana ini untuk membahas secara detil semua peristiwa di atas. Apalagi hal ini telah ditulis dalam berbagai buku sejarah Islam yang autoritatif. Cukuplah saya katakan di sini bahwa, bermula dari (pemicu-pemicu) inilah mazhab-mazhab dalam Islam terkristalkan.

Seperti akan kita lihat nanti, sesungguhnya lahir dan terbentuknya mazhab Ahlus-Sunah juga merupakan respons terhadap konflik-konflik di antara kaum Muslimin ini (akan saya bahas dalam tulisan setelah ini).

Yang pasti, setelah itu Dinasti Umayah makin kuat bercokol. Sebagian ulama/pemikir Islam, termasuk Abul A’la al-Maududi, tak segan menyebut berkuasanya Mu’awiyah dan para keturunannya, sebagai menandai transisi dari kepimpinan khilafah penerus Nabi kepada mulk (kerajaan). Bahkan, meski pada kenyataannya bukan tak ada pemimpin yang lurus dalam dinasti ini, di kalangan para ulama Suni sendiri ada yang mengidentifikasi dinasti ini sebagai wujud dari ramalan Nabi saw tentang akan tibanya “kerajaan yang menggigit” (mulk adh), yang dilanjutkan dengan kerajaan-kerajaan diktator, dst.

Bahkan, pada kenyataannya, (kerajaan-kerajaan yang menyebut dirinya) khilafah atau amirat, atau kesultanan, dsb. itu justru memanipulasi pengelompokan di kalangan umat Islam -khususnya mazhab-mazhab- yang ada, sebagai sarana mereka membangun basis konstituen dan mendapatkan dukungan politik. Inilah wujud politik identitas yang memecah-belah dalam sejarah Islam sejak awal sejarahnya.

Kerajaan-kerajaan ini, pada umumnya, justru memperkuat kecenderungan konflik mazhab untuk tujuan politik praktis. Dengan kata lain, prasangka, ketakutan, beserta hoax besar-besaran diproduksi -termasuk juga hadis-hadis palsu. Maka, kebencian antar mazhab pun makin menggelembung.

Dinasti Umayah, yang -pada umumnya- tak menutupi kecenderungan anti Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, banyak dicatat melakukan upaya-upaya terbuka untuk mendiskreditkan mereka. Tapi, bahkan Dinasti Abbasiyah, yang melegitimasi kekuasaannya dengan hubungan kekerabatan dengan Nabi pun, melakukan hal yang tak banyak berbeda.

Dinasti-dinasti Syiah pun bukannya tak punya kontribusi dalam hal ini. Termasuk Dinasti Shafawi dan Buwayhi. Kecenderungan ini bahkan berlanjut sampai sekarang. Kita melihat, misalnya, bagaimana kepentingan geopolitik negeri-negeri di Timteng telah ikut menyiram bara di atas percikan permusuhan di antara mazhab-mazhab ini. Khususnya setelah kemenangan kaum Syiah di Iran di bawah kepemimpinan Ayatullah Khomeini, dan ketakutan negeri-negeri Arab -yang didukung AS dan Eropa- terhadap dampak politis kemenangan itu atas negeri mereka dan cengkeraman hegemoni mereka. Perang Teluk, perang saudara di Afghanistan, kemunculan al-Qaidah dan ISIS pada khususnya, serta pemberontakan di Syria adalah tonggak-tonggak pentingnya.

Latar belakang sejarah dan politik ini kiranya perlu diketahui oleh lebih banyak orang, agar mereka tidak terperangkap dengan bias-bias dan kebohongan-kebohongan yang dipakai untuk saling mendiskreditkan mazhab yang berbeda. Agar mereka tak menganggap konflik mazhab sebagai konflik benar-salah, yang memiliki sebab-sebab dan akar dalam doktrin mazhab-mazhab itu. Memang harus diakui ada masalah-masalah real dalam hubungan antarmazhab ini. Termasuk, ekstremitas di masing-masing kelompok, fanatisme, arogansi, bahkan kebodohan. Tapi, saya berani mengatakan, bahwa sebagian besar biang konflik ini merupakan pekerjaan tangan-tangan jahat dalam sejarah umat Islam sendiri.

(Habis)

EH/Islam Indonesia/Foto Utama: whiteboardjournal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *