Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 12 February 2023

Kolom Haidar Bagir – Bertafakkur Sesaat Lebih Baik Dari Ibadah 1000 Tahun


Islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir – Bertafakkur Sesaat Lebih Baik Dari Ibadah 1000 Tahun

Setelah membahas keutamaan amal saleh atas ibadah mahdhah naafilah, marilah sekarang kita bahas kemuliaan bertafakkur.

Syaikh Abdulqadir Jailani meriwayatkan:

“Tafakur sesaat lebih baik dari satu tahun ibadah, kemudian beliau bersabda lagi: tafakur sesaat  lebih baik dari 70 tahun ibadah, dan: tafakkur sesaat itu lebih baik dari seribu tahun ibadah”.

Ada yang mengatakan bahwa – tentu secara riwayat – bahwa hadis itu dhaif. Tapi, kemuliaan bertafakkur ini dikuatkan oleh ayat Alquran, sebagai berikut:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang bertafakkur.” (QS. Ali Imran: 190)

Yang dimaksud ibadah di sini adalah ibadah mahdhah (ritual).

Baik sekali lagi kita asumsikan bahwa ibadah itu adalah yang hukumnya Sunah. Bagi saya ini sudah cukup. Agar tak usahlah kita berdebat tentang hal yang terkait langsung dengan topik tafakkur ini.

Lebih baik, marilah kita coba lebih memahami makna dari istilah tafakkur ini. Dari bentuk sharaf (infleksi/perubahan bentuk kata)-nya, kata ini bermakna “berpikir secara intens dan mendalam tentang sesuatu”. Bukan sekadar berpikir biasa saja.

Nah, dalam hubungan ini, Syaikh Abdulqadir Jailani menafsirkan hadis di atas, sebagai berikut:

“Bertafakur tentang suatu masalah dalam hidup, dan menyelidiki sebabnya, hingga ia mendapat pemahaman – akan ‘ibrah dan hikmahnya – adalah tafakur yang bernilai ibadah satu tahun. Sedang tafakkur atas ibadah hingga mengenal hakikat ibadah itu adalah tafakkur yang bernilai ibadah 70 tahun Bertafakur tentang Allah SWT untuk mengenal-Nya demi meningkatkan kualitas kehambaan dan kedekatan kepada Allah SWT adalah tafakur yang bernilai ibadah1000 tahun.”

Apa arti dari kemuliaan bertafakkur ini?

Yaitu bahwa beragama bukanlah persoalan ritual yang banyak-banyak dikerjakan tanpa memahami hikmah dan hakikat, khususnya yang kosong dari pengenalan akan Allah SWT sebagai ujung pangkal segalanya.

Kiranya makna tafakkur ini – khususnya yang ketiga dalam tafsir Syaikh Abdulqadir Jailani – juga amat dekat dengan makna berzikir, maka jangan pernah berhenti merenung khidmat, berdiskusi dengan keikhlasan untuk mencari kebenaran, ilmu yang benar, atau ma’rifat, dengan mendaras ayat-ayat/tanda-tanda Allah, baik yang bersifat qawliyah (tekstual) maupun kawniyah (yang tersebar di alam semesta). Karena, bisa jadi kegiatan ini lebih berpahala dari beribadah ritual 1000 tahun.

Sedemikian sehingga Ibn ‘Athaillah as-Sakandari berkata: “Tafakkur adalah lampu bagi hati. Bila tafakkur tidak ada, maka hati tak akan bercahaya.”

Yang membedakan zikir dan tafakkur, seperti Abu Ali Daqqaq, menganggap dzikir lebih utama dari tafakkur. Mungkin karena dianggap bahwa mengingat Allah secara langsung dianggap lebih utama daripada mempelajari-Nya dari tanda-tandanya, sesuai lanjutan ayat di atas:

… (yaitu) orang-orang yang mengingat (berzikir akan) Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan (bertafakkur akan) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka’.

Sedangkan Hb. Abdullah Haddad membahas tafakkur dalam satu nafas dengan dzikr (ulLaaah). Dalam Risalah Mu’awanah, beliau malah mengutip ucapan Imam Ali yang menyatakan bahwa “tak ada ibadah yang lebih utama ketimbang tafakkur.”

Hb. Abdullah menekankan tentang pentingnya kehadiran (hudhur) hati dalam berdzikir. Memang ada dzikir lisan – berbeda dengan dzikir hati yang mau tak mau menghadirkan hati – tapi dzikir lisan yang tak disertai hudhur juga akan banyak mengurangi nilainya.

Hingga, dalam kesempatan lain, terkait dzikir lisan ini, Hb. Abdullah Haddad menyatakan: “… berlebihan dengan membaca wirid-wirid (baca: zikir-zikir lisan), kurangnya perhatian, dan kurangnya kehadiran hati, dan kurangnya kesadaran kepada Allah Yang Maha Tinggi, hanya memiliki sedikit manfaat…”

Seperti saya sampaikan sebelumnya, saya lebih cenderung kepada pandangan Syaikh Abdulqadir Jailani yang saya kutip sejak awal. Yakni bahwa tafakkur untuk meraih ma’rifat Allah SWT adalah sejajar dengan makna dzikir.

Catatan akhir:

kelirulah orang yang beranggapan bahwa tafakkur kurang mulia karena hanya melibatkan berfikir. Padahal, berfikir dalam ajaran Islam tak akan pernah bisa dilepaskan dari berdzikir dengan hati.

WalLaah a’lam

AL/Islam Indonesia/Featured Image: makassarwriters.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *