Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 05 March 2019

Kolom – Haidar Bagir: Apakah non-Muslim itu Kafir? (Bagian 2)


islamindonesia.id – Kolom – Haidar Bagir: Apakah non-Muslim itu Kafir? (Bagian 2)

 

Tentang Kristen dan Trinitas

Boleh jadi ada yang masih merasakan kemusykilan. Jika non-muslim memang tidak identik dengan kafir, dan kekafiran adalah kategori moral, lalu bagaimana memahami firman Allah:

Sesungguhnya kafir-lah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah adalah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada tuhan selain Tuhan yang Esa.” (QS al-Ma’idah [5]: 73)?

Salah satu kemungkinan tafsir ayat ini adalah, yang dimaksud al-Qur’an itu bukan Trinitas sebagai yang diyakini kaum Nasrani, tapi Triteisme Monophysite tertentu – yakni penganut keyakinan bahwa Tuhan benar-benar tiga dengan meyakini bahwa Jesus adalah benar-benar Tuhan (yang qadim dan azali). Yang pertama, yakni Trinitas, tetap merupakan tauhid, yakni tiga dalam satu (unitas). (Yakni, yang dua adalah semacam tajalli-Nya, jika mengikut pandangan ‘irfan). Dalam konteks ini, menarik untuk dicatat bahwa Hujjatul Islam Imam al-Ghazali memiliki pandangan unik saat menguraikan bahwa kalimat laa ilaaha illallaah itu sesungguhnya dipersepi dan dihayati secara bertingkat, tidak monolit. Bahkan menurutnya, ketika umat Kristen menyebut Allah sebagai tsalitsu tsalatsah (salah satu dari yang tiga), pernyataan ini tidaklah dipahami bahwa Allah itu tiga. Sebaliknya, Allah itu Esa, namun tiga ditinjau dari sifatnya. Dalam kata-kata mereka sendiri, kutip al-Ghazali, “Allah itu Esa secara jauhar dan tiga secara oknum”. “Oknum” disini sebagai sifat.[1] Dengan kata lain, betapapun al-Ghazali menolak doktrin ini beliau tetap adil untuk mengakuinya sebagai mengandung satu jenis monotheisme tertentu.

Al-Syahrastani, dalam Al-Milal wa al-Nihal, menyatakan yang kurang lebih sama. Yakni bahwa yang disebut aqanim (jamak dari oknum) adalah bukan dalam hal substansi (jauhar). Kesimpulannya, bahwa yang ditunjuk al-Qur’an bukanlah para penganut Trinitas, melainkan kaum Kristen Ya’qubiyah dan Mulka’iyah/Mulkaniyah yang memang percaya pada gagasan adanya tiga Tuhan tersebut.[2]

 

Kekafiran sebagai Kategori Moral

Jika kita teliti teks-teks al-Qur’an dan Hadis, kita mendapatkan kesan kuat bahwa kekafiran adalah juga suatu kategori yang akarnya bersifat moral, bukan teologis. Selain berlaku atas orang-orang yang menyangkal kebenaran yang telah diyakininya akibat hawa nafsu dan vested interest (kepentingan diri), kekafiran adalah soal akhlak buruk dan ketiadaan concern pada orang-orang susah, yakni pengabaian terhadap amal shaleh. Inilah satu bentuk kekafiran yang dipahami sebagai taqabbul al-‘adam wa malakah (oposisi antara negasi dan habitus), yakni terkumpulnya (sifat-sifat buruk) dalam diri seseorang, sehingga bisa disebut tidak beriman.

Nabi Muhammad saw. pernah dengan tegas menyatakan:

Agama itu akhlak yang baik”

Dalam hadis lain, Nabi saw. secara langsung menyejajarkan kualitas akhlak dengan keimanan:

“Orang beriman yang paling sempurna amalnya adalah yang paling tinggi akhlaknya”

Imam ‘Ali pernah mengatakan:

“Ada orang beragama tapi tidak berakhlak, dan ada yang berakhlak tapi tidak bertuhan”

Sabda Nabi Muhammad saw. dan pernyataan Imam Ali ini bisa dilihat sebagai sindiran, bahwa orang beragama yang tak berakhlak mulia, alih-alih dapat disebut orang baik atau shaleh, justru lebih tepat dikategorikan kafir. Bukanlah dari keimanan –sebagai jantung keberagaman—harusnya lahir akhlak mulia dan tindakan-tindakan kebaikan yang sejalan dengan prinsipi-prinsip moral universal? Dapatkan seseorang dikategorikan beriman ketika akhlak dan tindakan-tindakannya bahkan berseberangan dari prinsip-prinsip kebaikan?

Nabi saw. juga bersabda:

“Tidak termasuk orang yang beriman siapa saja yang kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (HR. Bukhari)

Pada kesempatan lain, dalam sebuah hadis terkenal, Nabi saw. bersabda:

Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang peminum khamr ketika ia sedang meminum khamr. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang mencuri.” (HR. Bukhari)

Dalam sabda-sabda Nabi saw. di atas, keimanan secara tegas dipertautkan dengan kesadaran dan kepedulian sosial. Keimanan bukan semata keyakinan yang terpendam di dalam hati. Sikap acuh dan “masa bodoh” terhadap kesusahan orang lain atau pelanggaran terhadap syariat secara tegas dinyatakan sebagai keadaan “tidak beriman”, yakni kekafiran terselubung.

Demikian pula dalam ibadah mahdhah. Shalat, alih-alih mengandung pujian Allah, justru sebaliknya Allah sebut sebagai tindakan mendustakan agama jika tak diikuti dengan kesadaran dan empati sosial yang riil.

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS al-Ma’un[107]: 1-7).

Bukankah “mendustakan” agama adalah esensi kekafiran itu sendiri?

Masih berhubungan dengan pengidentikan keimanan dengan empati sosial, dalam hadis lain Nabi saw. bersabda:

“Tak beriman seseorang dari kalian hingga dia menginginkan bagi saudaranya apa yang dia inginkan bagi dirinya sendiri.”

 

Penutup

Apakah dengan demikian saya sedang menyatakan bahwa semua agama sama? Tentu tidak.

Kita sebagai muslim yang mu’min percaya bahwa Islam adalah agama yang paling sempurna. Yang menyempurnakan dan meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang ada pada agama-agama sebelumnya. Tapi, adalah beda soal kebenaran (truth claim) dan soal keselamatan (salvation claim). Agama lain bisa salah (secara truth claim), tapi tak lantas berarti bahwa pengikutnya (yang karena ketidaktahuan/ketidakyakinan tidak menerima) tak akan selamat (salvation claim).

Meski multi tafsir, ayat 62 dalam surah al-Baqarah bisa ditafsirkan ke arah itu. Yakni dalam konteks ke-non-musliman orang-orang yang atas mereka hujjah belum tegak. Bahwa orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in (menurut sebagian ulama, kategori Shabi’ini bisa mencakup agama Hindu, Buddha, Majusi, dll) yang percaya pada Allah, hari akhir, dan akhirat –selain muslim (yang disebut alladziina aamanuu)- akan selamat. Wallahu a’lam bishshawab.

Selesai.

Baca juga:

Sumber Asli: Haidar Bagir, Islam Tuhan, Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau,  (Cet.I; Mizan, 2017.), h. 199-210.

Catatan redaksi:  Artikel ini pernah di-publish secara on-line oleh panrita.id. Atas izin dari penulis yang bersangkutan, redaksi Islam Indonesia menerbitkannya kembali.

Catatan Kaki:

[1] Imam al-Ghazali, Fadha’il al-Anam min Rasa’il Hujjah al-Islam al-Ghazali, disunting oleh Nuruddin Alu ‘Ali (Tunis: al-Dar al-Tunisiyah lin-Nasyr, 1972), h. 49.

[2] Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, cet. II (Beirut: DKI, 1992), II: 249 dan 254.

 

PH/IslamIndonesia/Photo: Tempo

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *