Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 30 September 2018

KOLOM – Guru Agama dan Negara


islamindonesia.id – Guru Agama dan Negara

 

Oleh: Azyumardi Azra

 

Dalam kecenderungan peningkatan intoleransi di sekolah, guru-guru mata pelajaran IPA di SMP dan SMA dan mapel fikih dan akidah di MTs dan MA sering disebut terkontaminasi pandangan politik yang tidak kompatibel dengan Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah tentang potret guru agama (2018) mencoba melacak pandangan para guru agama tentang agama dengan politik dan negara Indonesia.

Pertama-tama, para guru agama umumnya (82 persen) yang diteliti di 11 kota/kabupaten di lima provinsi setuju Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan syariah Islam. Ini mungkin kabar agak menggembirakan karena para guru juga sekaligus menyatakan, tidak ada lagi hal yang perlu dipermasalahkan di antara Islam dan negara; Pancasila dan UUD 1945 [implisit NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika] sudah final, dan karena itu tidak perlu diubah lagi.

Namun, di antara para guru ini, ada kalangan yang menerima NKRI berdasarkan Pancasila, tetapi ingin mengislamkan hukum Indonesia. Kelompok ini bahkan menginginkan agar NKRI menerapkan hukum jinayah (kriminal) syariah seperti potong tangan dan rajam.

Mereka adalah pendukung ‘Piagam Jakarta’ dalam Pembukaan UUD 1945 sebelum dicoret pada 18 Agustus 1945, yaitu ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Mereka berpendapat, keinginan itu bisa terwujud jika para pemimpin Muslim mau sepakat untuk pelaksanaan syariah Islam dalam wadah NKRI.

Penting dicatat, hasil penelitian sekaligus mengindikasikan, sekitar 18 persen guru agama secara implisit menolak Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan, sekitar 23 persen guru menyatakan dukungan kepada ormas yang memperjuangkan penegakan syariah Islam secara menyeluruh oleh negara.

Kelompok guru ini berpendapat wajib bagi umat Islam mengubah Indonesia menjadi negara Islam dalam bentuk kekhilafahan (khilafah). Bagi mereka, tanpa khilafah seperti pada masa pasca-Rasulullah, mustahil cita-cita penerapan syariah dapat diwujudkan.

Karena itu, bisa dipahami jika guru kelompok itu memiliki semacam afinitas dengan HTI yang telah dibubarkan pemerintah. Umumnya mereka tidak menjadi anggota resmi HTI, tetapi mendukung cita, tujuan, dan retorik HTI, misalnya, tentang negara yang harus diganti dengan khilafah dan sekaligus pemimpin thagut yang telah menjadi antek kapitalisme, sosialisme dan neolib.

Meski memiliki pandangan positif tentang khilafah, para guru umumnya, khususnya kelompok kedua, tidak menyetujui pemahaman jihad sebagai perang dan aksi kekerasan lain seperti terorisme. Oleh karena itu, mereka menolak ISIS yang mengklaim melakukan jihad untuk mendirikan khilafah atau negara Islam (dawlah Islamiyah, disingkat Da’is).

Pembelahan pandangan dan sikap guru agama seperti itu, bisa diduga, juga mengimbas dalam persepsi mereka tentang demokrasi. Sebagian besar menerima demokrasi karena sesuai dengan Islam. Bagi kelompok ini, demokrasi sesuai dengan Islam yang menekankan kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan penghargaan pada setiap manusia.

Lebih jauh, kelompok ini memandang demokrasi sebagai aktualisasi ayat Alquran wa syawirhum fil amri (QS Ali Imran 159). Juga sesuai dengan praktik Nabi Muhammad SAW di negara Madinah yang sering bermusyawarah, berkonsultasi, dan berkompromi baik dengan sesama Muslim maupun umat Yahudi [secara implisit juga penganut Kristianitas] dalam mengambil keputusan. Singkatnya, demokrasi adalah musyawarah seperti diajarkan Islam.

Sebaliknya, ada kelompok guru dalam jumlah yang sepadan dengan menolak NKRI dan Pancasila (sekitar 18 persen) yang berpendapat, demokrasi tidak sesuai dengan Islam. Argumen-argumen penolakan itu mengingatkan orang pada hujah-hujah HTI.

Simak alasan penolakan ini; Islam tidak mengenal kedaulatan rakyat yang ada dalam demokrasi. Sebaliknya, yang ada ialah kedaulatan Tuhan (hakimiyah Allah). Senapas dengan itu, kedaulatan Tuhan itu ada pada syariah. Karena itu, kaum Muslim harus tunduk kepada syariah, bukan syariah yang tunduk kepada kaum Muslimin atau rakyat secara keseluruhan.

Selaras dengan itu, para guru agama juga berbeda dalam hal apakah non-Muslim boleh atau tidak boleh menjadi presiden. Sebagian besar guru membolehkan dengan alasan kesetaraan sesama manusia. Kelompok kedua menolak non-Muslim menjadi pemimpin secara mutlak berdasarkan ayat QS al-Maidah 51; dan menjadi pemimpin di bidang lain atau lebih rendah dari poisisi presiden, Kelompok ketiga menolak non-Muslim menjadi presiden, tapi menerima untuk posisi lebih rendah.

Dengan perbedaan pandangan cukup signifikan yang tidak kondusif bagi sistem politik Indonesia, seyogianya pemegang otoritas dalam rekrutmen dan pembinaan guru agama mencermati gejala tersebut. Jika tidak direspons dengan langkah tepat dan segera, pandangan tidak suportif itu dapat terus berkembang mengancam Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *