Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 03 June 2020

Kolom Faqry Fakhry – Islam adalah Spiritualitas


islamindonesia.id – Islam adalah Spiritualitas

Islam adalah Spiritualitas

Oleh Faqry Fakhry | Penulis lepas (@FakhryFaqry/Twitter)

“Religion is a guy in church thinking about fishing. Spirituality is a guy out fishing thinking about God.” (John Fischer).

Agama adalah seseorang yang sedang berada di gereja, tapi pikirannya tertuju pada keasyikan mancing. Sedang spiritualitas adalah seseorang yang sedang asyik mancing, tapi pikirannya tertuju kepada Tuhan. Betulkah?

Betul, jika agama hanya dipahami sebagai institusi legal-formal.

Tidak demikian halnya jika agama (din) kita pahami dalam maknanya yang sejati. “Din” dalam Islam justru mulai dari perjanjian primordial (ruhani) manusia dengan Tuhan.

Yakni saat manusia masih berada di alam prakelahiran, saat Allah meminta janji: “‘Bukankah Aku Rabb (Pencipta dan Pemelihara-hidup)-mu?’ Kata mereka: ‘Benar! Kami bersaksi.’.” (QS al-Araf [7]: 172)

Terkait dengan ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa makna kata “din” adalah dekat dengan kata “dayn” – sama-sama berasal dari akar kata da-ya-na – yang bermakna hutang. Yakni hutang janji manusia di alam alastu ini.

Di tempat lain dalam Alquran Allah memfirmankan:

“Saat kusempurnakan sudah penciptaan fisik manusia, maka Kutiupkan ke dalamnya sebagian dari Ruh-Ku.” (QS Sad [38]: 72)

Yang ruhani inilah kiranya esensi kemanusiaan manusia: manusia di atas segalanya adalah makhluk ruhani.

“Hadapkan wajahmu lurus-lurus kepada ‘din’,’ (yakni) fitrah Allah yang atas (model)nya itu manusia diciptakan.” (QS ar-Rum [30]: 30)

“Din” kiranya sama atau identik dengan fitrah-Nya. Di tempat lain dalam Alquran, fitrah Allah ini disebut sebagai “celupan-Nya” (QS al-Baqarah [2]:13).

Jika kita jajarkan ayat yang saya kutip terakhir dengan ayat yang saya kutip sebelumnya, maka dapat kita katakan bahwa fitrah manusia adalah identik dengan unsur ruh ilahi yang ditiupkan ke dalam ciptaan manusia itu.

Ini juga kiranya makna hadis Nabi saw: “Allah mencipta Adam atas citra-Nya.”

Maka, ibadah pun (yakni ibadah mahdhah atau ritual) mesti dilihat sebagai sarana atau wahana (kendaraan) menuju terminal akhir keberagamaan yang bersifat ruhani.

Dalam salat, misalnya, dipersyaratkan khusyu, yakni kehadiran hati atau ruh kita. Demikian pula dalam ibadah qurban:

“Daging (kurban) tak sekali-kali sampai kepada-Nya, hanya ketakwaan yang sampai.” (QS al-Hajj [22]: 37)

Ini  bermakna bahwa hanya kesadaran keilahian yang ruhanilah, dan bukan sekadar ritus, yang merupakan puncak keberagamaan. Yakni, sampai atau kembali, atau menyatunya lagi ruh kita dengan Allah swt, sumber atau asal-usul ruhani kita

“Din” dalam ayat-ayat lain pun selalu dikaitkan dengan keterikatan (penghambaan) manusia (QS al-Kafirun [109]: 6) dan kesetiaannya (kepasrahan) kepada Allah Yang Esa (QS Ali Imran [3]: 19). Yakni sesuatu yang pada puncaknya bukan bersifat fisik, melainkan ruhani.

Demikian pula, kebutaan pun dikaitkan dengan mata hati yang bersifat ruhani, bukan mata fisik:

“Sebenarnya bukan mata itu yang buta. Yang buta adalah hati yang berada di dalam dada.” (QS al-Hajj  [22]: 46).

Hati, lokus ruh, adalah dasar hubungan manusia dengan Yang Ilahi:

“Berkata Arab badui: ‘Kami beriman’ … Katakanlah (Wahai Muhammad agar mereka berkata): ‘Kami telah tunduk (pada aturan lahiriah Islam),’ karena sungguh iman belum masuk ke dalam hatimu.“

Beragama, menurut Islam, adalah urusan hati, urusan ruhani. Betapa pun terkait etika, hukum, politik, dan soal-soal profan lainnya, puncak agama selalu bersifat ruhani.

Agama tak pernah bisa dilepaskan dari keruhanian (spiritualitas). Agama tanpa spiritualitas bukanlah agama, melainkan hanya simbol-simbol kosong tanpa makna.

Kita, sebagai orang beragama – berbeda dengan kaum spiritualis – percaya bahwa syariah sebagai aturan agama yang bersifat lahir (ritual) adalah sesuatu yang niscaya. Ia adalah semacam metoda yang diajarkan Pencipta kita Yang Maha Bijaksana sebagai sarana kita mencapai tujuan keberagamaan.

Meski demikian, ia bukanlah tujuan dari keberagamaan itu sendiri. Tapi, kita juga berbagi dengan kaum spiritualis yang berkeyakinan bahwa tujuan puncak hubungan kita dengan gagasan transenden yang disebut dengan Tuhan itu sepenuhnya bersifat ruhani. Maka mari jadikan agama kita, dalam segenap kesibukan kita kepada syariah, sesuatu yang sepenuhnya bersifat ruhani.

“Sungguh Allah tak melihat rupa dan bentuk kalian, melainkan melihat hati kalian.” (HR Muslim). []

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Lukisan karya Hossein Irandoust. Sumber: Pro Art Gallery and the Artist

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *