Satu Islam Untuk Semua

Friday, 30 November 2018

KOLOM – Demokrasi dan Konflik Politik Jelang Pilpres


islamindonesia.id – Demokrasi dan Konflik Politik Jelang Pilpres

DR TB MASSA

Oleh: Dr. TB Massa Djafar*

 

Harry Mayo (1970), seorang ahli ilmu politik terkemuka mengatakan bahwa demokrasi adalah pilihan model sistem politik terbaik berbanding dengan sistem lain. Pernyataan ini ada benarnya, tetapi tidak sepenuhnya tepat. Ada beberapa negara seperti China, KoreaUtara, Singapura, Iran dan beberapa negara lain, tidak memilih sistem demokrasi, tapi negaranya maju. Pemerintahannya berjalan stabil, terjadi lompatan ekonomi dan berdaulat.

Perkembangan politik sepuluh tahun terakhir, melahirkan ketegangan politik. Berawal dari Pemilihan Gubernur DKI 2016, Pilgub Sumut 2017, dan pilkada lainnya. Kemudian mengkristal dalam dinamika konflik jelang Pemilihan Presiden 2019. Sebagian berpendapat, fenomena tersebut sebagai gejala menguatnya politik identitas atau berbau ideologis “Islam vs Nasionalis”.

Meskipun sekilas tampak benar, namun argumen dan katagori konflik demikian lemah. Sebab pembelahan politik demikian itu, baik kubu Jokowi dan Prabowo terdapat juga kekuatan Nasionalis dan Islam. Karenanya, konflik politik kultural yang muncul di atas permukaan bisa jadi tidak menggambarkan konflik laten.

Isu bendera tauhid, HTI, terorisme mampu menutup isu laten yang sangat berbahaya. Padahal kejahatan yang disembunyikan melalui manipulasi publik opini lebih hebat bahaya dari terorisme. Soal ketimpangan sosial ekonomi, dominasi asing-aseng dalam perekonomian, penguasaan lahan oleh segelintir orang (1 persen), menguatnya kekuatan modal memperalat negara, marjinalisasi kaum pribumi, berhasil dikaburkan melalui mekanisme demokrasi dan fungsi-fungsi perwakilan dan pemerintahan.

Pilkada, pilpres atau pemilu adalah sebuah momentum politik. Ia berfungsi sebagai kanal kebebasan, saluran aspirasi, seolah-olah rakyat berdaulat. Sementara, sebagai wujud kemarahan sosial atas ketidakadilan, keserakahan dan kesewenangan kekuasaan tak kunjung terselesaikan. Sebaliknya kekuatan kekuatan konspirasi penguasa membelokkannya kepada isu konflik kultural. Sikap reaksioner penguasa, bisa dibaca, sebagai politik pertahanan atau perlindungan. Bukan tidak mungkin, respon balik kemarahan rakyat, bisa meluas pada konflik rasial. Pengendalian kekuasaan model lama, begitu tampak, yaitu membuat kelompok tandingan mengatasnamakan kekuatan rakyat, menyeret kelompok-kelompok agama.

Pembelahan sosial politik pun tak terhindarkan. Ia bukanlah gejala alami, hanya sebuah ekses. Bisa saja sentimen konflik kultural, kemudian dikapitalisasi oleh kelompok elite manapun, untuk tujuan dan agendanya masing-masing dalam kontestasi Pilpres 2019. Kita tidak bisa membanyangkan biaya politik yang harus dibayar oleh bangsa ini.

Sebuah akrobatik politik yang dimainkan oleh kekuatan konspiratif. Celakanya, manajemen konflik itu dimainkan dengan memanipulasi peran instituisi politik, di arena demokras prosedural yang rapuh. Demokrasi telah dibajak sangat telanjang oleh kekuatan modal. Sementara kejahatan mereka nyaris tak tersentuh oleh fungsi pemerintahan dan institusi hukum, kecuali para koruptor teri.

Fenomena itu menggelitik pikiran kita, seakan ada negara dalam negara. Sukar dibantah, bahwa aparatur penegak keadilan, partai, media massa, kelompok kepentingan telah bergeser. Dari fungsi pelayanan dan keterwakilan rakyat, bergeser menjadi kekuatan konspiratif, membela kepentingan pemilik modal. Siapa saja yang melawan kepentingan konspiratif akan terstigma sebagai musuh negara, terorisme dan sebagainya. Akhirnya, pemilu, pilpres sekadar seremonial demokrasi belaka, tanpa makna. Demokrasi sekadar rutinitas, pemilu hanya sebagai alat legitimasi bagi pemburu kekuasaan.

Karenanya, siapapun pemenangnya, pilbub, pilgub, pilpres, nasib rakyat belum tentu atau bahkan tak kunjung berubah. Meskipun sebagian ilmuwan politik dan kelompok masyarakat menganggap demokrasi sebagai pilihan ideal. Tapi jangan lupa, demokrasi kerap membawa kekecewaan. Demokrasi untuk sebagian negara, hanya sebagai jalan bagi segelintir orang menikmati perubahan sosial, peluang, menunggu giliran untuk berkuasa. Jadi, apa arti demokrasi bagi rakyat, jika rakyat hanya menikmati sebatas kebebasan semu? Toh substansi kebebasan itu tak terjelma dalam wujud keadilan dan kesejahteraan.

Meskipun reformasi sudah berjalan 20 tahun, namun realitasnya, bangunan struktur kekuasaan dan ekonom justru lebih gawat dari ciri-ciri watak otoritarianisme masa lalu. Oleh karenanya, model kepolitikan hasil reformasi semakin tampak tidak sebangun dengan realitas sosial, ekonomi dan budaya bangsa.

Problematika akut yang muncul ke permukaan, hanya sebagai ekses. Saatnya, evaluasi diarahkan pada hulu pelembagaan demokrasi politik. Yaitu, bagaimana mencegah munculnya kekuatan koorporasi politik melaui institusi politik demokrasi. Adakah agenda perubahan sosial, ekonomi, politik yang fundamental ditawarkan dalam perhelatan kontestasi Pilpres 2019?

* Penulis, Ketua Program Doktoral Ilmu Politik Sekolah Pasca Sarjana Universitas Nasional

 

EH / Islam Indonesia – Sumber: Pikiran Bebas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *