Kolom Buya Syafii – Islam dan Kemerdekaan Beragama Institusional (1)

islamindonesia.id – Islam dan Kemerdekaan Beragama Institusional (1)
Oleh Ahmad Syafii Maarif
Seri artikel ini hampir sepenuhnya berdasarkan saduran dari tulisan Prof. Ahmet T. Kuru, “Islam and Institutional Religious Freedom” tertanggal 27 September 2019 (Lih. Religious Freedom Institute, 316 Pennsylvania Ave SE, Suite 501, Washington, DC 20003).
Kuru, Guru Besar Ilmu Politik San Diago State University, Amerika Serikat, adalah seorang Turki kelahiran Rotemburg, Jerman, 23 April 1982. Karya terbarunya berjudul Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison (Cambridge University Press, 2019).
Jika ingin
mendalami tulisan Kuru di atas, mohon dibaca juga buku terbarunya ini. Sebagian
karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Cina, Prancis, dan Turki.
Kajiannya memang tidak dengan mengutip sumber-sumber ajaran Islam, tetapi
berdasarkan analisis realitas sejarah politik, khususnya sejak abad ke-9 sampai
sekarang di kawasan Asia Barat Daya dan sampai batas tertentu meliputi Afrika
Barat. Titik balik kemunduranMuslim itu, menurut Kuru,
terjadi pada masa rezim Saljuk pertengahan abad ke-11 yang mengebiri
kemerdekaan berpikir para pakar/ulama.
Di antara temuannya adalah penolakannya terhadap pendapat yang mengatakan bahwaIslammundur karena ajarannya sendiri atau karena akibat penjajahan Barat. Bagi Kuru, terdapat sejumlah faktor internal umat Muslim mengapa mereka menjadi manusia yang terpinggirkan selama sekian abad.
Saya sudah lama
mengatakan umat Muslim mundur karena kerapuhan dari dalam, bukan terutama
karena faktor luar. Dengan mengikuti karya Kuru ini, saya semakin yakin bahwa
pendapat yang saya pegang selama ini punya pijakan sejarah yang kuat.
Menurut hemat, saya yang berbeda dengan Kuru, sekiranya para ulama dan penguasa
Muslim setia kepada diktum otentik Alquran, sebenarnya tidak perlu terjadi
pemisahan ketat antara kedua entitas itu, sebagaimana yang pernah berlaku
sampai masa Umar bin Khattab kemudian sebentar di bawah pemerintahan Umar bin
Abdul Aziz dari puak Umayyah.
Tetapi sejarah
mencatat lain, pesan agung Alquran tentang politik kekuasaan telah lama
ditimbun di bawah debu kekuasaan berbagai imperium, maka umat Muslim menjadi
bingung selama bilangan abad yang panjang tentang bagaimana semestinya corak
sistem politik dalam Islam. Adalah sebuah ironi yang memalukan, pengakuan
sebagai umat terbaik ternyata harus bingung selama puluhan abad.
Selamat mengikuti analisis Prof Kuru berikut ini!
Pada Juli 2019, Parch Center telah mengeluarkan sebuah laporan mengenai
pembatasan-pembatasan agama di seluruh dunia. Sekalipun negeri-negeri mayoritas
Muslim hanya merupakan seperempat dari semua kasus yang diteliti dalam laporan
itu, mereka lebih tiga perempat dari kasus itu, “dengan undang-undang dan kebijakan
pembatasan terhadap kemerdekaan beragama.”
Di dunia Muslim, terlebih lagi pada tingkat tinggi, pembatasan-pembatasan legal
yang diatur pemerintah terhadapkemerdekaan beragamasecara
langsung bertalian dengan aneka macam masalah, termasuk tentang kemerdekaan
berbicara, pers, dan berkumpul.
Itulah sebabnya mengapa jika orang berupaya memelopori demokratisasi di dunia Muslim harus secara mendalam mempelajari pembatasan-pembatasan terhadap kemerdekaan beragama, bahkan jika mereka memandang agama sebagai sebuah kekuatan reaksioner.
Pertanyaannya adalah:
Apa yang menjelaskan pembatasan kemerdekaan beragama tingkat tinggi yang
mewabah di dunia Muslim?
Kemerdekaan beragama haruslah dipahami dalam dimensi individual dan
kelembagaan. Yang pertama, melindungi kebebasan individu untuk berbuat
sejalan dengan kepercayaan agamanya, secara privat atau publik. Yang kedua,
melindungi kebebasan organisasi-organisasi keagamaan agar berfungsi dalam
masyarakat yang sesuai dengan iman mereka.
Pemahaman yang semata-mata bersifat individualistik terhadap demokrasi liberal
berpandangan bahwa kemerdekaan beragama individual mungkin akan aman tanpa
kemerdekaan beragama dalam kelembagaan. Tetapi dalam kenyataannya, keduanya
saling bergantung.
Apakah Islam menolak pemisahan agama dan negara? Kemerdekaan beragama
individual dan dalam bingkai kelembagaan memerlukan suatu tingkat tertentu
pemisahan agama-negara. Jika negara sepenuhnya menegakkan sebuah agama tertentu
secara legal, finansial, diskriminasi berkepanjangan terhadap mereka yang tidak
mengikuti agama tertentu itu pasti terjadi. Bukan saja kelompok terakhir ini
yang mengalami diskriminasi itu, mereka yang seagama tetapi lain aliran juga
akan mengalami hal serupa.
Bersambung ke bagian 2.
PH/IslamIndonesia/Sumber: Harian Republika (28/1)/Foto: Daan
Leave a Reply