Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 18 December 2016

KOLOM — Benarkah Agama Berpotensi Rusak Akal?


islamindonesia.id  — KOLOM — Benarkah Agama Berpotensi Rusak Akal?

dr-fauzi

A. Fauzi Yahya *

Kemampuan melakukan proses berfikir adalah salah satu anugerah Ilahi pada manusia yang begitu berharga. Bahkan kemuliaan manusia tercermin dari keruntutan proses fikir yang menuntun kearifan bersikap. Pergumulan pemikiran memungkinkan terjadi karena  adanya data baru yang diterima. Proses dinamis dalam update pola pikir ini adalah keniscayaan yang tak terhindari untuk terus mengembangkan diri.

Rene Descartes mengatakan Cogito ergo sum (aku berfikir maka aku ada). Allamah Thabathai dalam buku Light within Me menegaskan bahwa akal adalah “nabi” personal manusia karena melalui akal inilah manusia dapat menerima pesan-pesan Ilahi dan menerapkannya di ruang publik dalam bentuk keterjagaan kesucian. Nabi bersabda: “La dina Liman La Aql Lahu ( Tiada agama bagi mereka yang tidak menggunakan akalnya). Kaidah umum juga mengajarkan: “Al Insan hayawanun natiq” (manusia itu adalah hewan berakal/berwacana). Ayat ayat suci Al-Qur’an bertaburan dengan dorongan agar manusia merenung dan berfikir tentang Tuhan maupun tentang penciptaan-Nya.

Proses berfikir sistematis ternyata bersifat universal. Pertemuan antara manusia dari berbagai penjuru dunia terjalin karena adanya kesamaan dalam penataan pola pikir. Melalui tata atur fikir ini, maka manusia  telah berkontribusi terhadap pencapaian berbagai kemajuan pengetahuan dan teknologi serta pengorganisasian institusi hingga sistem kenegaraan.

Keruntutan dan kejernihan proses berfikir akan menempatkan seseorang di ranah obyektif. Menggapai obyektifitas ini memerlukan usaha yang terus-menerus. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan interferensi (gangguan) atau bias yang berperan terhadap absurditas berfikir sehingga alih-alih menjadi pola pikir yang konstruktif malah dapat menjadi bersifat destruktif.

Kekeliruhan pengajaran agama adalah salah satu faktor bahkan kadang menjadi faktor dominan yang berpotensi merancukan sistematika berfikir manusia. Kerancuan pengajaran agama dalam jangka panjang akan merasuk ke dalam ruang bawah sadar (subconscious mind) hingga mendorong proses berfikir pintas tanpa melalui sistematika pola pikir yang semestinya. Dengan pengajaran agama demikian ini maka yang ada adalah dogma bukan proses menjadikan seseorang berfikir sistematis dan kritis.

Kepintasan berfikir dalam pengajaran agama ini mungkin terpicu oleh anggapan bahwa “ Tuhan “ mudah ikut campur dalam berbagai urusan manusia. “Tuhan” mengurus langsung berbagai hal seperti rizki, jodoh, kematian, menentukan keputusan ideal hingga berperan terhadap proses kenaikan kelas dan serta mengubah cuaca. “ Tuhan” pun berperan langsung terhadap kejadian  sakit dan sehat. “Kun fa ya kun’ telah menjadi mantera ajaib keterlibatan langsung Tuhan. Bisa dimengerti bila “Tuhan” pun menentukan siapa yang tepat memimpin sebuah provinsi atau negara.

Padahal, sebagai konsekuensi hidup di alam, manusia harus mengerti dan menghargai proses hukum alam. Para dokter sebelum melakukan intervensi terhadap tubuh manusia maka dia mutlak harus memiliki pengetahuan anatomi bahkan hingga tingkat anatomi sel serta belajar memahami faal tubuh dan reaksi tubuh terhadap berbagai gangguan (patofisiologi). Para ahli geologi pun belajar memahami karakter isi bumi sebelum melakukan sesuatu. Berbagai disiplin ilmu menuntut pemahaman termasuk dalam menjalankan roda organisasi bisnis dan insitusi publik.

Demikian pula sesungguhnya agama mengajarkan ikhtiar maksimal untuk mengkaji hukum-hukum alam tersebut sebelum bersandar pada konsep tawakal. Ajaran agama seperti halnya disiplin ilmu lain juga memiliki konsep-konsep pembelajaran dengan sistematika berfikir yang sama. Kelebihan pengajaran agama adalah menuntun juga proses gerakan hati agar tidak menjadi bias dalam mendapatkan jalan menuju-Nya.

Selain itu, ketidaktepatan pengajaran agama telah mendorong kemutlakan kebenaran. Ajaran dan mazhab agama kerap dipandang sebagai penentu seseorang telah pasti berada di dalam kebenaran-Nya. Keyakinan akan kepastian kebenaran itu menisbikan kehadiran yang lain untuk berada dalam kebenaran.

Agama dan mazhab seolah menjadi mesin cuci yang mensucikan bagi setiap orang. Jadi kalau anda ingin suci maka masuklah agama dan mazhab tertentu maka “habrakadabra” Anda langsung menjadi “orang yang suci”.  Ilusi kesucian ini memudahkan sang “ilusionis” itu meremehkan kemuliaan manusia lain. “Kesucian” buatan ini memicu orang mudah menjadi “hakim” bagi ajaran atau perilaku individu lain.

Kesalahan pengajaran agama seperti itu menyandera obyektifitas dan memandegkan secara mendadak proses berfikir. Penafsiran sepihak kalam Ilahi dan tutur Nabi yang suci menjadi pembenar terhadap penghentian proses berfikir kritis yang sesungguhnya diajarkan oleh agama. Kemerdekaan berfikir yang merupakan anugerah Ilahi tak lagi ada setelah kekeliruan ajaran agama mengkooptasinya. Padahal, sebagaimana dikutip dalam Alquran surah Saba ayat 24, Baginda Nabi Agung pun memberi kemungkinan pihak lain berada dalam kebenaran.

Ajaran agama tentu saja tidak hanya berkaitan dengan keruntutan proses berfikir saja. Mengagung-agungkan rasionalitas belaka bukan hal bijak dan bahkan bisa tak punya makna bagi nilai-nilai kemanusiaan. Agama menuntut kesucian berfikir. Mensucikan proses berfikir itu adalah menjaga obyektifitas atas berbagai bias yang ada. Bias-bias itu bak “setan setan” penggoda untuk mengarahkan pada subyektifitas diri.

Seorang Muslim sebaik apa pun dia dianjurkan untuk rutin beristighfar, memohon pengampunanNya. Istighfar di gulita yang hening dalam linangan air mata menegaskan pengakuan bahwa pola pikir dan gerakan jiwa kita masih berpotensi terkandung bias yang mengeruhkan obyektifitas menuju jalanNya. Untuk itu kita selalu berharap ampunanNya akan keterbatasan diri dan memohon kepadaNya untuk menuntun kita agar selalu jernih dalam melangkah bersandar seluruh fakultas (daya) yang kita miliki.

Rasionalitas semestinya terbangun beriringan dengan kematangan spiritualitas .“It takes  two to tango”.Rasionalitas dan spiritualitas adalah dua dimensi yang tak terpisahkan. Kesatuan rasionalitas dan spiritualitas itu mewujud menjadi keindahan. Keduanya menjadi bangunan ideal mewujudkan kemuliaan manusia. Keduanya membedakan manusia dan hewan. Rasionalitas dalam dekapan spiritualitas mengangkat derajat kemanusiaan menjadi makhluk yang paling mulia di atas bumi. Manusia yang memiliki keduanya dengan utuh adalah insan kamil. Kita membutuhkan para arif yang menuntun umat manusia mengarah pada jalanNya dalam kesucian jiwa tanpa menumpulkan kemuliaan akal anugerahNya.[]

 

* Pemerhati Masalah Sosial

 

AJ/ Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *