Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 04 January 2022

Kolom – Andito Suwignyo – Kembali ke Daerah: Mencari Hidup yang Lebih Otentik


Islamindonesia.id – Kolom – Andito Suwignyo – Kembali ke Daerah: Mencari Hidup yang Lebih Otentik

Kembali ke Daerah: Mencari Hidup yang Lebih Otentik

Oleh: Andito Suwignyo, penggiat Pendidikan Sosialis Indonesia

Pada masa lalu, kata ‘daerah’ merujuk ke desa. Orang daerah artinya orang yang berasal dari desa. Saat itu, nyaris seluruh wilayah di Indonesia adalah desa-desa. Hanya daerah yang dekat dengan pelabuhan besar saja yang berkembang menjadi kota.

Memang kondisi desa dan kota sangat timpang. Infrastruktur dan orang-orangnya beda jauh. Perbedaan ini menginspirasi, atau dieksploitasi oleh dunia film, sebagai benturan budaya atau kesenjangan ekonomi. Tema-tema FTV tentang dokter kota yang kesengsem dengan gadis desa, anak orang kaya yang nyasar ke desa, keluguan orang desa saat ke kota, dll. Sebenarnya stereotipe kolonial memandang inlander, kemudian diteruskan kaum feodal dalam menyikapi rakyat jelata. Novel “Max Havelaar” dan “Gadis Pantai” menggambarkan kultur feodal tersebut dengan sangat baik.

Pasca ledakan teknologi telekomunikasi dan internet, konsep desa dan kota mencair. Infrastruktur di era SBY dan Jokowi yang menggila, membuat hambatan-hambatan transportasi dan logistik berkurang drastis. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik (Perka BPS) Nomor 120 tahun 2020, jumlah desa perkotaan meningkat dari 15.786 menjadi 29.640 dalam waktu sepuluh tahun 2010 – 2020. Sedangkan jumlah desa perdesaan berkurang 7.043 dari 61.340 menjadi 54.297. Wilayah-wilayah penyangga kota-kota besar menjelma sebagai kota baru. Daerah-daerah lain berdandan sendiri menjadi desa perkotaan baru seiring pemekaran wilayah. Jumlahnya mencengangkan.

Lalu, apa makna ‘kembali ke daerah’, saat wujud desa berubah menjadi kota?

Jika hakikatnya orang di Indonesia adalah ‘orang desa’, maka ‘kembali ke desa’ bermakna pulang ke udik, kampung halaman, tempat lahir dimana kita dididik dan dibesarkan oleh tradisi lokal. Nilai-nilai itulah yang menjiwai dan membekali hidup kita saat berada di dunia multikultural.

Dalam konteks spiritual, ‘kembali ke desa’ berarti juga kembali ke fitrah, kembali ke asal penciptaan dan kejadian. “(sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.” (QS. Ar-Rum : 30). Muslim Indonesia menerjemahkannya dengan mudik setiap Idul Fitri. Orang yang mencibir “Bikin dosa di kota, bermaaf-maafan di kampung.” pasti gagal paham melihat kearifan lokal ini.

Pada tataran sosiologis, kembali ke desa bermakna kembali ke basis komunitas, pengaman sosial kita. Lingkungan yang menjadikan kita sebagai bagian dari keluarga besar, yang siap menolong kita dalam kondisi apa pun.

Di kota, yang kita maknai sebagai medan pertarungan untuk survive, mungkin mengetuk pagar tetangga pun tidak digubris. Mendahulukan sikap curiga kepada orang lain adalah aturan baku. Apalagi minta bantuan lebih dari itu, mustahil.

Di desa, kita bisa numpang makan gratis tanpa kita menjatuhkan wajah kita. Saling bantu terjalin tanpa kalkulasi materi. Komunikasi bisa berjalan sepanjang hari. Seolah-olah waktu berhenti. Karena itu rumah-rumah di desa pada umumnya tidak punya pagar halaman. Setiap warga adalah bagian dari keluarga besar daerah tersebut. Keluarga dalam makna harfiah.

Pada ranah ekonomi, kembali ke desa berarti peruntungan baru. Pada era Orde Baru, banyak warga desa terhipnotis untuk perbaikan nasib. Yang miskin ikut transmigrasi. Yang lain, menjual sawahnya, sebagai modal anaknya bekerja di kawasan industri. Pakai seragam, “kerja di PT”, dengan upah UMR, adalah prestise orang desa. Yang ekonomi menengah, migrasi ke kota. Siapa tahu bertemu dokter cakep seperti yang dia tonton di FTV.

Sebagian kaum milenial menatap desa dari sudut pandang lain. Lahan desa yang menganggur, atau diolah seadanya, dijual dengan harga murah, memberikan inspirasi bagi mereka, yang dikenal dengan sebutan petani berdasi. Mereka menata ulang produksi dan pemasaran hasil pertanian. Mereka mengubah wajah desa yang kumuh dan tertinggal menjadi daerah yang prospektif secara bisnis dan berhasil menyejahterakan warganya.

Sayangnya, usaha milenial kota membangun desa masih kalah jauh dengan petani muda yang meninggalkan desa. Kementerian Pertanian mencatat petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun pada 2019 hanya berjumlah 2,7 juta orang, sekitar 8 persen dari total jumlah petani di Indonesia.

Dalam konteks kekinian, desa diartikan lebih luas, tidak sekadar geografi. Maka ‘kembali ke desa’ bermakna kembali ke basis komunitas kita dimana eksistensi kita dihargai dan saling menjaga harkat martabat setiap orang. Desa bisa berarti komunitas epistemik, basis ideologis, atau lingkungan yang mengasah passion kita secara profesional. Desa adalah tempat dimana kita tumbuh dan dikenal secara otentik.

Dengan bekal itu, kita melenggang ke ibukota. Kita berharap menang dan eksis saat bertarung di dunia global, kota yang menghimpun segala kekuatan kapital dan sosial politik. Disana kita bersekutu dengan orang-orang yang punya kepentingan material sama. Tapi di lain waktu, kita saling libas dengan mereka. Tidak ada relasi yang tulus.

Tapi tidak masalah jika kita kalah. Kita tidak otomatis hancur menjadi debu. Kita tinggal mundur selangkah, kembali ke basis, mengasah gergaji, untuk maju bertarung lagi. Begitu seterusnya. Mengapa kita tidak bisa habis? Karena kita punya basis, yang konkret. Karena di basis, kita menjadi makhluk otentik.

AL/IslamIndonesia/Foto utama: Dok. Pribadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *