Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 25 November 2021

Kolom Abdillah Toha: Ulama atau Auliya?


islamindonesia.id – Kolom Abdillah Toha: Ulama atau Auliya?

Ulama atau Auliya?

Oleh Abdillah Toha | Pemerhati Sosial, Politik, dan Keagamaan

Ada paling sedikit tiga kelompok Muslim di negeri ini yang berbeda cara pendekatan keberagamaannya.

Pertama, ada kelompok yang menekankan pentingnya memperdalam pemahaman ilmu keagamaannya dan berguru kepada ulama atau ahli agama yang mumpuni.

Kedua, ada yang menganggap bahwa Islam adalah sepenuhnya masalah kerohanian dan akhirat sehingga cukup berguru kepada para wali atau penerusnya.

Lalu ada kelompok ketiga yang sering dijuluki sebagai Salafi, yang menolak pendekatan kedua kelompok di atas dengan menekankan pada identitas kemusliman dan menjauhi apa yang mereka anggap sebagai bid’ah atau inovasi baru dalam praktik keberagamaan.

Tulisan di bawah ini akan membahas konsekuensi dari berbagai pendekatan itu, khususnya dua kelompok pertama di kalangan ahlul Sunah wal jamaah.

Ulama adalah jamak (plural) dari alim yang berarti orang berilmu. Dalam Alquran kata ulama tidak banyak disebut. Ketika disebut, ia dihubungkan dengan ilmuwan yang menguasai dan kagum atas fenomena alam. Bagi Muslim, ulama lebih sering diartikan sebagai ahli agama, padahAlquran menggunakan istilah lain untuk ahli agama, yakni ulul albab dan ahlul dzikr.

Ada kekisruhan lain juga dalam terminologi. Orang awam bila menyebut orang alim maksudnya orang yang berperilaku saleh yang banyak beribadah.

Auliya atau awliya’ adalah jamak dari wali yang punya banyak arti. Ia bisa berarti orang yang mencintai dan dicintai serta dekat dengan Allah yang biasa disebut sebagai waliyullah, dan bisa juga berarti pengasuh, guardian, wali nikah, dan sebagainya.

Untuk tujuan tulisan ini penulis membatasi makna alim sebagai ilmuwan dan ahli agama, sedang wali adalah orang yang yang dekat dengan, mencintai, dan dicintai Allah. Wali juga diartikan sebagai orang yang telah mencapai derajat atau maqam dan ahwal tinggi dalam hirarki sufi.

Wali biasanya diasosiasikan juga dengan karomah, yakni kepemilikan kelebihan di atas orang biasa, sejenis mukjizat, seperti kemampuan melihat peristiwa di masa depan (kasyf), berjalan di atas air, terbang, dan lain sebagainya.

Wali dan alim bisa bergabung dalam diri satu orang. Bahkan dalam definisi tasawuf irfan, wali adalah orang berilmu sekaligus dengan sifat luhur, tawadhu’, dan saleh. Namun di kalangan ahlul Sunah wal jamaah (aswaja) di Indonesia dalam praktiknya orang menempatkan dan lebih menghormati wali daripada alim, yakni mereka yang diduga memiliki karomah. Karenanya majelis-majelis yang diselenggarakan oleh ‘wali’ atau atas nama wali yang sudah tiada, mendatangkan lebih banyak pengunjung dibanding majelis ilmu.

Kepada para wali, orang mengharapkan berkah dan menganggap doanya lebih manjur. Ziarah kubur untuk tujuan yang sama jarang terjadi di makam orang alim tetapi lebih banyak terjadi di makam para wali.

Di kalangan wali dipercaya ada yang disebut sebagai wali mastur dan wali majdzub. Wali mastur adalah wali yang menyembunyikan kewaliannya dan berperilaku seperti orang biasa agar tak terdeteksi kewaliannya oleh orang lain. Wali majdzub biasanya adalah wali yang berperilaku aneh bak orang tidak normal kejiwaannya. Tidak mudah membedakan antara wali majdzub dengan orang yang benar-benar tak waras.

Benar bahwa Allah berfirman “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tiada ketakutan dan tiada pula dia bersedih (hati). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa keapada Allah.” (Q.S. Yunus [10]: 62-63), namun Allah dalam Alquran jelas berfirman bahwa orang berilmulah (alladzina utul ‘ilma) yang diangkat derajatnya lebih tinggi di kalangan orang beriman (QS 58:11).

Ada juga beberapa riwayat hadis Nabi yang menekankan tingginya derajat orang berilmu dan Nabi dengan jelas bersabda bahwa ulama lah sebagai pewaris Nabi, bukan auliya. Sesungguhnya Walisongo sebagai penebar Islam pertama di negeri ini adalah ulama yang diberi gelar wali. Atau bisa jadi mereka orang-orang alim yang sekaligus juga wali.

Majelis para wali ini lebih mengandalkan ritual zikir dan sejenisnya daripada keilmuan. Akibatnya, bagi banyak anggota Muslim awam, ibadah ritual termasuk tahlil, haul, mauludan, zikir, dan sejenisnya dianggap lebih utama dari tadarus memperdalam ilmu agama seperti tafsir, fiqih, sirah, dan lainnya.

Akibat sampingannya, banyak Muslim yang merasa sudah menjadi Muslim yang baik tanpa harus memiliki pengetahuan agama yang cukup yang dapat membimbingnya menjadi manusia yang utuh, berakhlak, dan, berkemajuan.

Sebagai akibat sampingan lain, karena menjadi wali lebih mudah mengundang pengikut, banyak ustad dengan pengetahuan agama yang cekak lebih tertarik mewalikan dirinya daripada sekadar menjadi guru dan ustad biasa. Modal untuk itu cukup dengan penampilan dan busana yang pas dan hafal doa-doa dan zikir yang panjang.

Para wali karbitan ini banyak yang memasarkan doa-doa mujarab dengan membawa berbagai hadis, umpamanya, agar kita membaca zikir atau wirid tertentu agar seluruh dosa kita di masa lalu terampuni. Bukan dengan bertaubat atau beramal saleh.

Mengkultuskan wali itu jauh lebih besar risikonya dibanding memilih ulama mana yang kepadanya kita harus berguru. Memilih guru yang ulama lebih jelas ukuran dan kriterianya, sedang kewalian itu seringkali tak tampak sehingga kita bisa keliru menyangka bahwa seseorang itu wali. Bahkan ada adagium yang mengatakan bahwa hanya wali yang tahu siapa yang benar wali.

Apalagi kalau yang dielu-elukan adalah orang setengah tidak waras yang dianggap wali majdzub. Sikap seperti ini, di samping tidak mendidik Muslim awam yang lain, juga akan membuat orang luar memandang Muslim yang demikian sebagai komunitas yang tidak rasional dan terbelakang.

Rasanya di kalangan Muslim di Barat tidak ada fenomena wali seperti di sini, kecuali barangkali di kelompok tarekat sufi. Saya bisa salah, tapi jarang kita dengar ada upacara-upacara besar sejenis haul, maulid, burdah, ziarah kuburan wali, dan sejenisnya di sana. Karenanya, kesannya Muslim di Barat lebih progresif jalan pikirannya dan tidak ketinggalan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan kehidupan modern.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud agar kita meninggalkan sisi kerohanian dari ajaran Islam dalam bentuk tradisi baik yang diwariskan oleh leluhur kita. Yang perlu diperhatikan adalah sisi kerohanian pun harus dilandasi dengan pengetahuan dan ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan.

Wallah a’lam.[]

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Dok. Pribadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *