Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 09 February 2020

Kolom Abdillah Toha – Syariah untuk Siapa?


islamindonesia.id – Syariah untuk Siapa?

Syariah untuk Siapa?

Oleh Abdillah Toha | Pemerhati Sosial, Politik, dan Keagamaan

Hukum Islam yang juga dikenal sebagai Syariah atau Fiqih dan sisi hukuman dan pidananya dikenal sebagai Hudud atau Jinayah telah banyak dibahas oleh ahlinya dari berbagai sudut. Terakhir ketika saya membaca tulisan bernas Gus Nadir (prof Nadirsyah Hosen) tentang makna ijma’ dalam hukum syariah, saya makin yakin bahwa fiqih itu memang kompleks dan bukan konsumsi awam.

(Baca tulisan Nadirsyah Hosen di sini: Klaim Terjadinya Ijma’: Benarkah?)

Ada syariah, ada fiqih, dan ada hudud. Apa bedanya? Menurut sebagian ulama, syariah adalah hukum Islam yang dalilnya sudah pasti (qat’i) dan karenanya berlaku untuk semua tempat dan segala zaman. Tidak dibolehkan ada ijtihad disitu. Syariah yang berarti “jalan menuju sumber air”, sangat luas cakupannya dan bisa diartikan sebagai keseluruhan agama itu sendiri. Syariah adalah way of life Muslim.

Fiqih secara etimologis berarti pemahaman manusia tentang syariah. Dia sebagiannya juga berurusan dengan wahyu Allah yang masih dimungkinkan untuk multi tafsir (dhanni) serta bagian dari perilaku yang tidak diatur dalam syariah. Disini ijtihad diperkenankan dan karenanya tidak mengherankan bila ketentuan fiqih bisa berbeda antara ulama satu dan lainnya. Hudud berurusan dengan pelanggaran (pidana) dan hukumannya.

Hukum syariah ini beda dengan hukum sekular atau hukum negara dalam banyak segi. Pertama, substansinya seringkali berbeda. Negara tidak mewajibkan salat dan haji dan tidak melarang warga untuk bergunjing tentang aib orang, umpamanya. Syariah masuk kedalam kehidupan pribadi orang per orang sedang negara hanya mengatur perilaku orang yang berdampak kepada pihak lain.

Kedua, hukum syariah dibuat bukan hanya mencakup kehidupan di dunia tetapi juga di akhirat. Syariah mengatur hukuman di dunia (hudud) tetapi juga pelanggaran tertentu ditunda hukumannya di akhirat. Hukum negara hanya mengatur dan menerapkan hukum disini dan kini.

Syariah mengatur ganjaran/pahala bagi yang berbuat baik sedang hukum sekular tidak memberi hadiah balasan bagi mereka yang taat hukum dan berbuat baik. Grasi dan pemaafan hukuman (di akhirat) dalam syariah diperoleh bila pelaku bertobat, sedang hukum negara tidak mengakui pertobatan.

Ketiga, hukum sekular hanya melihat sisi zahir dari manusia sedang hukum Islam meliputi sisi batinnya seperti niat manusia. Pendek kata, syariah mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan dengan sesama manusia sedang hukum negara hanya mengatur hubungan antara manusia dengan segala sesuatu yang hidup di bumi.

Keempat, sumber hukum syariah adalah wahyu Allah dan Sunah Nabi. Karenanya pada prinsipnya syariah berlaku untuk semua yang mengaku Muslim di manapun dia berada. Hukum agama juga berlaku untuk setiap zaman dengan pengecualian seperti disebut diatas. Hukum negara tidak begitu. Dibuat atas dasar kesepakatan bersama dan berlaku hanya bagi warga dalam batas wilayah tertentu sampai saat diubah dengan kesepakatan baru.

Kelima, hukum syariah mencakup apa yang wajib, boleh (mubah), dianjurkan (Sunah), tak dianjurkan (makruh), dan dilarang (haram). Hukum sekular hanya mengatur kewajiban dan larangan bagi warga negara. Syariah hanya berlaku bagi pemeluknya sedang hukum negara berlaku bagi seluruh warga negara.

Bagi pelajar awam seperti saya, makin dalam masuk ke fiqih makin bingung jalan mana yang akan kita ambil dan tidak mustahil bisa tersesat jalan. Orang awam disarankan untuk ikuti saja ulama tetapi tidak ada petunjuk jelas kriteria ulama yang bagaimana yang harus diikuti. Ulama yang disebut sebagai pewaris Nabi itu dalam istilah Alquran dinamai ahluzikr dan ulul-albab.

Belum lagi kita bicara kompleksitas tafsir Quran. Ribuan buku tafsir ditulis oleh ratusan mufassir untuk menjelaskan maksud sebenarnya dari wahyu Allah. Ilmu hadis yang rumit juga membagi-bagi hadis yang sahih, lemah, palsu, perawi yang bisa dipercaya dan seterusnya, makin membuat agama ini jadi lebih rumit, sehingga kadang-kadang kita berpikir agama ini diturunkan untuk siapa? Buat mayoritas yang awam atau hanya untuk minoritas elit yang berilmu.

Renungan ini ingin menyampaikan betapa hukum syariah saja sudah banyak menimbulkan perselisihan yang tak terselesaikan bagi Muslim. Umat kemudian terbelah menjadi penganut berbagai mazhab dan aliran dengan segala fanatismenya, sampai bila perlu mazhab yang satu mengkafirkan mazhab yang lain.

Salah satu sisi penting dari kehidupan bernegara adalah adanya kepastian hukum. Tanpa itu negeri akan sulit dikelola dan keteraturan akan hilang. Dalam soal kepastian hukum, hukum sekular relatif lebih memberikan kepastian dibanding hukum syariah. Bila ada perselisihan, ada institusi pengadilan yang memberi kata akhir.

Institusi hakim (qadhi) dalam hukum Islam hanya terdapat di negeri yang hukumnya murni hukum Islam. Perbedaan pendapat dan perselisihan yang menyangkut hukum Islam di negeri yang memiliki hukum nasional, lebih bergantung kepada fatwa ulama daripada institusi yang disepakati bersama. Sedangkan fatwa ulama bisa berbeda-beda dan tidak mengikat.

Jalan Keluar

Karena semua itu, ketika orang mengajak kita memberlakukan hukum Syariah di negeri kita, tidak salah jika ada yang bertanya syariah yang mana? Syariahmu atau syariahku? Syariahmu melarang tahlil dan ziarah kubur, syariahku tidak. Syariahku menganggap bunga bank yang wajar bukan riba, syariahmu mengharamkan. Syariahmu megatakan jihad itu memerangi orang kafir, syariahku mengutamakan jihad sebagai perang melawan hawa nafsu sendiri. Dan seterusnya.

Oleh karena itu, jalan keluar untuk menjaga ketertiban dan kerukunan bersama serta kepastian hukum  barangkali adalah memberi tekanan pada tujuan (maqasid) syariah  daripada tetek bengek rincian fiqih yang njlimet.

Pertama, syariah hanya diberlakukan untuk urusan pribadi, bukan kelompok, dan bukan yang menyangkut transaksi dengan pihak lain. Salah satu sumber permasalahan agama adalah organized religion yakni digunakannya agama sebagai identitas bersama dalam berbagai kelompok yang berlainan.

Kedua, dalam menyusun aturan hukum negara, bagian dari syariah yang bisa menjadi input adalah nilai-nilai moral dan etika yang merupakan bagian dari nilai-nilai universal Islam. Bukan rincian aturannya.

Ketiga, makna ma’ruf dalam amar ma’ruf tidak sekadar diterjemahkan sebagai perbuatan baik tetapi semua yang telah menjadi adat, kebiasaan, dan kesepakatan bersama dalam masyarakat setempat. Munkar adalah yang bertentangan dengan itu.

Keempat, dominasi fiqih dalam syariah harus dibenahi secara proporsional. Fiqih hanya satu bagian dari syariah yang sangat luas lingkupnya menyangkut tauhid, akhlak, dan hukum. Setiap hukum yang ditetapkan oleh fiqih juga harus mencerminkan sisi  lain dari syariah yang lebih bersifat universal. Dominasi ulama yang kebanyakan laki-laki juga harus diimbangi dengan mendorong lebih banyak ulama wanita karena umumnya fiqih cenderung merugikan posisi perempuan.

Kelima, dalam urusan perdata dan amaliyah seperti perkawinan, cerai, warisan, dan sejenisnya, Muslim diberi kebebasan untuk memilih akan menggunakan Syariah atau hukum negara sesuai dengan rasa keadilan dan pemahaman masing-masing, tanpa harus meninggalkan prinsip dan nilai Islami yang utama.

Renungan ini tidak bermaksud sama sekali mengatakan bahwa hukum sekular lebih unggul dari hukum Islam. Hukum yang sepenuhnya dijiwai oleh nilai-nilai adab dan keadilan dalam Islam seharusnya jauh lebih menjamin perlindungan kepada rakyat. Kenyataannya dalam praktik sering tidak begitu.

Masalahnya adalah ketidakpastian ketentuan fiqih dan syariah yang membayangi Muslim. Kita tidak bisa serta merta mengharap semua Muslim yang mayoritasnya awam dalam ilmu agama untuk menjadi ahli agama dan berijtihad sendiri-sendiri.

Intinya, jangan biarkan satu setengah milyar Muslim di dunia terombang ambing oleh rumitnya Syariah dan Fiqih. Berikan kepada mereka pegangan pasti yang lebih memberi kepastian hukum yang berasaskan rasa keadilan dan sekaligus menghindar dari konflik berkelanjutan yang sama sekali bukan merupakan tujuan diturunkannya wahyu Allah.

Lebih berbahaya lagi bila ketiadaan kepastian dan multi tafsir Syariah dimanfaatkan sebagai pembenaran oleh punya kekuatan untuk tujuan politik atau duniawi mereka, seperti telah terbukti dalam perjalanan sejarah kekuasaan Islam pasca wafatnya Nabi SAW dan Khulafa Al-Rasyidun. Ujungnya selalu awam dan rakyat jelata yang menjadi korban.

Wallah a’lam.

PH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *