Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 21 March 2021

Kolom Abdillah Toha: Sama Agamanya Beda Tuhannya?


islamindonesia.id – Kolom Abdillah Toha: Sama Agamanya Beda Tuhannya?  

Sama Agamanya Beda Tuhannya?

Oleh Abdillah Toha | Pemerhati Sosial, Politik, dan Keagamaan

Seseorang datang kepada saya mengeluh bahwa setelah mengikuti pengajian seorang ustad dia tidak mendapatkan ketenangan tetapi justru menjadi gelisah dan stres. Saya tanya kenapa? Jawabnya ustad itu marah-marah terus, berbicara dengan nada mengancam, dan bahwa hidup ini penuh cobaan yang harus kita lewati dengan berpegang teguh tanpa kompromi kepada aturan agama.

Dia mengaku terbujuk ikut dalam pengajian karena ingin mencari ketenangan batin. Yang diperolehnya sebaliknya. Saya tidak memberi jawaban seperti yang akan saya uraikan di bawah ini tapi menyarankan agar mencari pengajian lain yang dibimbing oleh ustad yang lebih dalam ilmunya.

Memerhatikan perilaku beberapa ustad dan dai, tampaknya belakangan memang ada fenomena keberagamaan yang menjurus pada adanya agama yang sama dengan “tuhan” yang berbeda. Ada paling sedikit dua kelompok ustad. Ada ustad yang tuhannya pengancam dan penghukum dan lebih menonjolkan azab neraka daripada pahala sorga, dan ada pula ustad yang Tuhannya rahman dan rahim, maha pengasih, penyayang, dan pengampun. Agamanya sama, kiblatnya sama, nabinya sama,  tapi tuhannya bisa berbeda.

Benar bahwa Allah banyak memberi peringatan kepada manusia dan akan menjadi hakim dan penilai serta penguasa tunggal di hari akhir (maliki yaumiddin), tetapi Allah juga Rahman dan Rahim yang mandahului maliki yaumiddin dalam surah al-Fatihah yang tiap hari kita baca dalam salat.

Allah juga sering mengulang dalam wahyu-Nya, sifat-Nya yang Maha Pengampun dan Pemaaf bagi mereka yang bertaubat dan beramal saleh. 113 dari 114 surah dalam Alquran dimulai dengan bismillahirrahmanirrahim ditambah satu yang menyebutnya di dalam tubuh sebuah surah.

Benar pula bahwa dalam beribadah sesuai hadis, kita diminta untuk berada dalam posisi antara khauf (takut) dan raja’ (berpengharapan/optimis), akan tetapi takut kepada Tuhan dalam Islam tidak boleh dimaknai sebagai takut kepada Tuhan yang menyeramkan. Khauf dalam Islam adalah rasa khawatir kehilangan dan ditinggalkan oleh Maha Kekasih yang kita kasihi.

Sebagian umat sekarang menjadi pemarah, hidup dalam ketakutan, dan perasaan terancam, bahwa dunia ini seluruhnya buruk, dan semua kekacauan dan kesalahan ini penyebabnya dan yang disalahkan adalah non-Muslim dan Muslim yang tidak mengikuti jalan pikiran mereka. Tidak terlalu salah bahwa kehidupan di planet ini penuh dengan ketidakadilan tetapi mereka lupa bahwa ketidakadilan yang utama adalah ketidakadilan terhadap diri kita sendiri.

Ketika kita tidak menjaga kesehatan kita, ketika kita membiarkan diri kita bodoh dan tidak mengasah potensi kecerdasan kita, ketika kita bermalas-malas dan hanya mengharap rezeki jatuh dari langit, ketika memilih pemimpin yang tidak cakap, ketika kita merusak lingkungan alam, ketika kita salah memahami maksud dan makna wahyu, maka sebenarnya kita sedang tidak adil kepada diri kita sendiri.

Umat Islam sering bingung mengapa doa-doanya sering tidak diijabahTuhan padahal doa-doa orang “kafir” sering terkesan dikabulkan dengan kemajuan-kemajuan yang mereka capai dan menang dalam berbagai konflik dan peperangan.

Sebagian Muslim bahkan sudah setengah putus asa dan hanya menunggu kedatangan imam akhir zaman yang dijanjikan yaitu Imam Mahdi. Mereka lupa bahwa Tuhan sudah memperingatkan kita bahwa Allah tidak akan mengubah nasib manusia sampai manusia itu memulai dengan mengubah nasibnya sendiri.

Salah mempersepsi Tuhan dalam kehidupan membawa konsekuensi yang berakibat panjang. Kita akan hidup tidak tenang, stres, dan terus-menerus menyalahkan pihak lain atas kesalahan kita sendiri. Tuhan pengancam dan penghukum akan terus menerus mengawasi kita lewat ustad-ustad itu bahwa di sekitar kita selalu ada setan-setan kafir dan karenanya kita harus selalu curiga dan waspada.

Sedang Tuhan Pengasih dan Penyayang, yang kasih-Nya kepada hamba-Nya ribuan kali lebih besar dari kasih ibu kepada anaknya, akan selalu mendidik dan menawarkan jalan keluar bagi kesulitan yang kita hadapi dengan memberi peluang kepada kita untuk mengoreksi sikap dan perilaku kita.

Di sisi lain, mereka yang agamanya membawa Tuhan penghukum itu bukannya tidak menawarkan ganjaran bagi yang patuh. Seringkali balasan balik Tuhan itu digambarkan lewat jalan pintas yang cepat dengan melakukan apa yang disebut sebagai jihad. Yakni memerangi kaum kafir, tidak peduli apakah itu kafir yang memerangi kita atau tidak.

Maka lahirlah tipe jihadis teroris yang mendambakan ganjaran cepat bidadari dengan mencari mati di jalan jihad. Seorang anggota Densus 88 pernah bercerita kepada saya tentang teroris yang mengeluh kenapa dia yang tertangkap hidup, bukan yang tertembak mati.

Atau mereka menjanjikan kemenangan Islam lewat banyak bertakbir dan menyuarakan kemarahan sehingga akan lahir sebuah pemerintahan yang adil dibawah sistem kekhalifahan. Tidak mereka sadari bahwa Islam telah melewati masa kekhalifahan dalam sejarahnya yang tidak merepresentasikan Islam dengan benar. Raja-raja despotik turun-temurun mengangkat dirinya sebagai khalifah dan memerintah dengan tangan besi dan berdarah-darah.

Yang lebih memprihatinkan adalah ustad-ustad pembawa Tuhan penghukum ini telah menempatkan dirinya sebagai wakil Tuhan dengan memonopoli penafsiran agama. Segala sesuatu yang baru, dicari dulu sisi haramnya, bukan manfaatnya.

Mereka yang berada diluar penafsirannya diberi label sebagai kelompok munafik atau sesat. Korbannya adalah para pengikut ustad-ustad itu, kelompok awam yang kebanyakan sudah dalam keadaan lemah dan tertekan kemudian diminta untuk berkorban demi “perjuangan” Islam.

Sesungguhnya Islam sebagai wahyu yang diturunkan kepada Rasul terakhir sama sekali bukan beban tetapi sebuah kenikmatan besar bagi penganutnya. Benar bahwa Muhammad disebut sebagai pembawa berita gembira (bashir) dan pembawa peringatan (nadzir), tetapi Nabi saw dalam interaksinya dengan umat selalu mendahulukan misinya sebaga bashir. Sebagai nadzir, junjungan kita Nabi Muhammad saw lebih menekankan kepada menghindari perilaku buruk yang ujungnya kita sendiri yang akan menerima akibatnya di sini dan kini.

Islam juga tidak membebani penganutnya lebih dari yang mampu dipikulnya dan Islam adalah agama yang optimis, agama yang membawa ketentraman hati, bukan agama yang menimbulkan stres dan kegalauan dengan wajah bersungut-sungut dan selalu mencari mangsa dan musuh untuk ditebas.

Perlakuan tidak adil oleh pihak luar terhadap umat, bila ada, harus dicari jalan keluarnya dengan lebih dahulu melihat ke dalam dan menemukan kesalahan dan kelemahan kita. Pihak luar tak akan berani memperlakukan umat dengan tidak adil bila umat tidak lemah dalam berbagai segi. Namun ini topik lain yang panjang dan harus dibahas terpisah dalam kesempatan lain. Wallah a’lam. []

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Abdillah Toha/Twitter

One response to “Kolom Abdillah Toha: Sama Agamanya Beda Tuhannya?”

  1. Usep Halim. says:

    Kenapa SAMA agamanya,tapi BEDA Tuhannya ???.
    Ini sesuatu yg HARUS diluruskan,walaupun memang banyak seperti itu !.
    Contoh ISLAM,banyak diartikan BERAGAM,yg mengartikan ISLAM itu PENGHUKUM atau ISLAM itu maha PEMURAH.
    Ini perlu ditempatkan sesuai dg SITUASI dan KONDISINYA.
    Salah satu contoh yaitu keterangan: Asida alal Kuffar , Ruhama bainahum= Keras pada Pelanggar/pengingkar,Kasih sayang pd sesamanya/pelaksana kebaikan.
    Islam harus MAMPU membedakan para PELANGGAR dan PENGINGKAR yg akan merusak pd kedudukan dan keberan ISLAM itu sendiri,dg ISLAM yg hanya dipahami luarnya saja,dg ISLAM yg dibawa Rosul2 Allah sejak Adam A.S dipilihnya sampai Rosul terahir Muhamad Rosul Khotamun Nabiyin,yg membawa KETELADANAN bagaimana sebagai manusia yg harus jadi TELADAN ,USWATUN HASANAH / KETELADANAN dlm MENATA KEHIDUPAN DIDUNIA ini dg jabatan Kholifah fil Ard.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *