Satu Islam Untuk Semua

Friday, 05 November 2021

Kolom Abdillah Toha: Menghadapi Berbagai Jenis Fobia


islamindonesia.id – Kolom Abdillah Toha: Menghadapi Berbagai Jenis Fobia

Menghadapi Berbagai Jenis Fobia

Oleh Abdillah Toha | Pemerhati Sosial, Politik, dan Keagamaan

Dr Abdullah Ali, asisten profesor dan staf pengajar pada Zaytuna College di California, baru-baru ini memperkenalkan istilah baru Imanophobia, di samping yang sudah tenar Islamophobia.

Phobia atau fobia adalah sebuah penyakit yang menyangkut kejiwaan, di mana penderita dibayang-bayangi rasa takut berlebihan terhadap suatu keadaan tidak nyata yang dipersepsi olehnya sebagai ancaman. Ada berbagai macam fobia.

Ada klaustrofobia yakni takut akan ruang sempit dan tertutup,  acrofobia takut pada ketinggian, hemofobia takut melihat darah, dan banyak lagi. Rasa takut berlebihan ini kemudian bisa berkembang ke rasa benci dan dia berupaya untuk menghindari, menjauhi, atau bahkan memusnahkan yang dipersepsinya sebagai ancaman terhadap kelangsungan hidup atau ideologi dan keyakinannya itu.

Penyebab fobia umumnya karena yang bersangkutan pernah mengalami, menyaksikan, atau mendengar peristiwa yang dipersepsinya sebagai ancaman, atau karena imajinasi yang berlebihan akibat dari mengalami atau membayangkan suatu peristiwa.

Khawatir tidak cukup oksigen untuk bernafas, misalnya, membuat seseorang fobia terhadap ruang sempit atau kerumunan orang yang berdesakan. Dia akan merasa sulit bernafas, meski oksigen normal dan cukup untuk ukurannya. Otaknya memberi informasi salah yang mengakibatkan reaksi yang keliru.

Foto ilustrasi. Sumber: Google/Unknown

Islamofobia adalah imajinasi bahwa Islam itu agama yang berbahaya dan karenanya Muslim harus dijauhi atau bila perlu dienyahkan dari muka bumi. Ini adalah akibat dari beberapa peristiwa terorisme yang dilakukan oleh beberapa gelintir Muslim yang mengakibatkan semua Muslim dianggap sama.

Yang menarik, menurut Dr Abdullah Ali, fobia tidak terbatas ditujukan kepada agama tapi juga kepada kelompok orang beriman, tidak peduli agamanya apa. Ini terjadi di negara maju, khususnya di Amerika Serikat. Yang belakang ini diberi nama Imanofobia olehnya.

Islamofobia di Amerika menurutnya banyak menjangkiti kelompok konservatif dan ekstrim kanan khususnya di kalangan pemeluk Kristen Evangelis, tetapi tidak di kalangan Liberal dan Sekuler pada umumnya.

Sebaliknya, dan ini yang menarik, kelompok Liberal yang menganggap agama sebagai barang usang dan bertentangan dengan science, dan kebanyakan dari mereka sudah meninggalkan agama, banyak yang terjangkit fobia terhadap orang yang beriman kepada kekuatan supra natural, tidak peduli agamanya apa. Dedengkotnya di sini antara lain Richard Dawkins dan pengarang best seller Homo Sapien Yuval Noah Harari. Kedua orang ini dikultuskan oleh kelompok neo-atheis.

Bagaimana dengan di Indonesia? Jelas di sini ada yang terjangkiti Islamofobia tetapi karena jumlahnya kecil (minoritas) dan tidak berani muncul terang-terangan ke permukaan, maka dampaknya tidak terlalu terasa seperti yang terjadi di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Di sebagian negeri Barat dan India atau Myanmar, Islamofobia telah mengakibatkan timbulnya korban-korban fisik, sosial, dan politik.

Sebaliknya di negeri kita ada yang terjangkiti penyakit Kristenfobia dan Cinafobia. Juga sampai batas tertentu masih tersisa komunisfobia. Contoh kongkritnya adalah peristiwa Mei 1998 menjelang jatuhnya Soeharto yang mengakibatkan banyak korban di kalangan WNI keturunan Tionghoa. Lalu ada juga terjungkirnya Ahok dari panggung politik dan bahkan menjadi korban proses pengadilan yang tidak semestinya.

Kemudian ada juga fobia antar aliran di dalam agama yang sama. Kita sudah menyaksikan beberapa perlakuan dan peristiwa kekerasan  fisik dalam bentuk pengusiran dan perusakan tempat ibadah oleh kelompok Muslim mayoritas terhadap pengikut aliran Syiah dan Ahmadiyah di negeri kita. Di beberapa negeri bahkan saling membunuh.

Foto ilustrasi. Sumber: Google/Unknown

Ada juga fobia terhadap aliran Salafi/Wahabi yang menimbulkan sikap yang berlebihan. Ini semua bermula dari polarisasi politik yang menggunakan agama dan aliran agama sebagai bagian dari politik identitas. Ujungnya ada penggunaan istilah kadrun dan kampret dalam politik sejak pilkada DKI 2019 yang masih berlanjut sampai sekarang.

Kelompok kadrun dianggap sebagai kelompok Muslim ekstrem yang menginginkan penerapan syariah di segala bidang, sedang kampret dianggap oleh mereka sebagai Muslim munafik yang telah luntur imannya. Masing-masing pihak punya kekhawatiran yang berlebihan terhadap kemungkinan jatuhnya negeri ini ke tangan lawan politiknya.

Karena semangat yang berkobar-kobar untuk menghentikan lawan dan khawatir jangan sampai negeri ini jatuh ke tangan lawannya, sebagian Muslim Indonesia telah kehilangan keseimbangan dalam berpikir rasional.

Sebagai contoh, misalnya, belum lama ini ada cendekiawan yang punya program YouTube berkala dalam bidang politik, mendadak menyatakan diri sebagai Muslim yang tidak percaya kepada syariah. Bahwa semua aturan hukum dalam kitab suci Alquran menurut dia sudah tidak berlaku lagi saat ini.

Saya melihatnya ini sebagai salafifobia yang kemudian menggiringnya kepada pemahaman agama Islam yang keliru. Syariah itu ya agama itu sendiri meski dalam rinciannya bisa terjadi perbedaan penafsiran dalam kasus-kasus tertentu. Kedua, cendekiawan itu gagal memisahkan syariah untuk pribadi dan untuk sebuah komunitas atau negeri yang plural, baik plural antara maupun intra agama.

Kita tahu bahwa kelompok salafi yang cenderung puritan, menderita apa yang saya sebut sebagai bid’ahfobia. Mereka memaknai syariah sebagai aturan hukum agama yang ketat, berlaku sampai kiamat berdasarkan makna harfiah teks Alquran, tanpa melihat konteks turunnya ayat yang bersangkutan. Perkembangan zaman yang terus berubah dan budaya lokal tidak boleh dijadikan dasar penafsiran syariah.

Semua ini sebenarnya kembali kepada kemampuan dan kemauan kita untuk berpikir dan bertindak secara rasional dan proporsional. Proporsional dalam arti tidak selalu melihat segala sesuatu yang berbeda dengan pandangan kita, sebagai bahaya dan ancaman besar dan nyata terhadap eksistensi kita.

Dari sisi negara, sikap fobia individu atau kelompok tidak bisa diatasi lewat aturan dan penegakan hukum. Fobia hanya bisa diminimumkan lewat pencerahan dan pendidikan. Yang bisa dibatasi dengan ancaman hukum adalah perbuatan buruk yang menimpa orang lain sebagai akibat sikap fobia, seperti provokasi dan ujaran kebencian di ruang publik yang berpotensi membuat kegaduhan dan perseteruan.

Salah satu penyebab lain dari sikap fobia adalah rasa cemas dan tidak aman (insecure) terhadap hari depan. Adalah tugas pemerintah yang baik untuk menebar optimisme dan menciptakan rasa aman bagi warganya dengan meminimumkan ketidakpastian hari depan bagi warganya.

Sedangkan untuk menghadapi tantangan Islamophobia di Barat dan negeri lain, di satu sisi tokoh ulama dunia harus terus menerus memberikan pengertian dan pendidikan yang benar tentang apa itu Islam sebenarnya, dan di sisi lain umat Islam harus bersatu dalam menyusun kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan pertahanan, agar tidak mudah bergantung dan dizalimi oleh kekuatan besar asing.

Yang lebih penting lagi, menjaga generasi baru dan muda Islam agar tidak tergelincir dan menjadi korban imanfobia. Tanda-tanda dan gejala meninggalkan agama di kalangan anak muda sudah tampak karena adanya pengaruh budaya Barat sekuler dan karena ulah generasi tua Muslim yang dianggap usang, bertengkar terus, dan tidak dirasakan telah membawa manfaat dan maslahat bagi umat.

Wallah a’lam

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Dok. Pribadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *