Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 18 December 2019

Kolom Abdillah Toha: Islam Turun-Temurun


islamindonesia.id – Kolom Abdillah Toha: Islam Turun-Temurun

Islam Turun-Temurun

Oleh Abdillah Toha | Pemerhati Sosial, Politik, dan Keagamaan

Saya kira banyak dari kita yang pernah menyaksikan pendapat, kesaksian, atau ujaran orang asing, Barat khususnya, yang menjadi mualaf atau mempelajari Islam dan mendapati Islam sebagai agama yang penuh kebaikan dan keindahan. Berlawanan dengan yang sering digambarkan oleh media masa mereka dan islamophobis di negerinya.

Tidak seperti kita sebagian besar umat Islam yang dilahirkan Muslim dan sudah turun temurun memeluk agama Islam, mereka mencari dan menemukan Islam, sedang kita sudah sejak lahir menganggap Islam bagian dari hidup dan identitas kita yang tidak perlu dipertanyakan lagi.

Akibatnya Islamnya orang-orang baru itu seringkali lebih segar dan lebih mencerahkan karena berhasil menangkap esensi Islam sebenarnya, sedang Islam kita mandeg, bahkan sering menimbulkan masalah. Islam kita bak menu yang disiapkan untuk dijejalkan kepada kita sejak lahir sedang mereka memilih sendiri menunya dan menemukan inti dari Islam yang paling bergizi.

Sebagian yang jadi mualaf itu bahkan kemudian menjadi ulama dan ahli serta da’i yang efektif seperti Yusuf Hamzah, Maurice Bucaille, Yusuf Islam, Jeffrey Lang, Muhammad Asad, atau ilmuwan seperti Karen Amstrong, Anne Marie Schimel, dan banyak lagi, sementara Islam warisan yang turun temurun milik mayoritas Muslim pada era ini lebih banyak menimbulkan mudarat daripada manfaat, dalam bentuk konflik, kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan.

Tentu saja ajaran agama yang diwariskan oleh orang-orang tua kita tidak boleh semena-mena dianggap berdampak negatif. Ada bagian nilai-nilai positif yang perlu dipertahankan seperti kebersamaan, penghargaan pada kearifan lokal, zikir, dan berbagai sisi spiritual Islam lainnya. Namun harus diakui banyak pula tuntunan yang sudah tidak sesuai tuntutan zaman dan sebagai pewaris kita merasa sudah cukup dan tak perlu menggali lebih lanjut.

Ketika ada rencana besar menteri pendidikan baru untuk melakukan perubahan dan pendekatan segar dalam sistem pendidikan nasional dengan apa yang disebut sebagai “memerdekakan belajar”, tampaknya pendidikan agama dilupakan dan bukan merupakan bagian dari rencana besar pemerintah tersebut. Hanya ada satu langkah kecil yang sempat diungkap oleh menteri agama tentang rencana memindahkan materi yang menyangkut khilafah dari mata pelajaran fiqih ke mata pelajaran tarikh (sejarah Nabi).

Perdana Menteri Mahathir Muhammad di Malaysia  yang kecewa kepada kaum Melayu (Muslim) yang sulit maju padahal telah diberikan berbagai peluang istimewa, belum lama ini menuai kritikan dan kontroversi ketika beliau memerintahkan agar jam pendidikan agama yang berlebihan di sekolah-sekolah umum dikurangi. Mahathir menganggap itu sebagai salah satu penyebab kemunduran Melayu.

Dalam diskusi di sebuah grup whatsapp dimana saya menjadi anggota, kita membahas apakah anak didik juga perlu ‘dimerdekakan’ agar dapat mencari dan menemukan (kembali) sendiri esensi agamanya yang otentik. Bukan agama yang dijejalkan dari kecil oleh para pengajar dengan pendekatan dan tekanan  pada hafalan dan praktik ritual. Bukan pula agama yang diajarkan hanya sekadar sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat.

Lihatlah apa yang terjadi sekarang di kalangan umat yang mengklaim mayoritas di negeri ini. Berkelompok kelompok dalam mazhab dan manhaj, saling menyerang dan menuduh sesat, membahas hal-hal yang trivial seperti halal haramnya mengucapkan selamat natal, melawan otoritas pemerintah yang resmi, menyebarkan berbagai kebohongan, hoax, dan seterusnya. Bagi Muslim turun temurun ini, Islam adalah sebuah simbol. Islam adalah identitas. Islam adalah fiqih. Islam adalah garis pembatas antara yang paling benar dan tidak benar.

Bila ada umat yang tidak masuk golongan itu, maka mereka adalah Muslim yang hanya dalam nama. Sebagian Muslim lain adalah yang beranggapan bahwa Islam adalah agama ritual yang tidak ada hubungan dengan memajukan kehidupan duniawi. Hanya sebagian kecil Muslim yang tercerahkan dan progresif yakni para pelajar dan ilmuwan yang tidak puas hanya menerima Islam sebagai warisan tetapi terus mengejar dan mencari cahaya Islam yang sebenarnya.

Kita sepakat bahwa anak didik tidak boleh dikosongkan dari pendidikan agama sejak kecil karena ada risiko besar bahwa kekosongan itu akan diisi oleh pengaruh keyakinan lain yang lebih buruk. Apalagi Nabi SAW telah mengingatkan kita bahwa semua jiwa dilahirkan dalam keadaan fitrah dan kedua orang tuanya lah (baca: lingkungannya) yang (bisa) menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

Jadi apa yang harus kita lakukan? Kita harus melakukan perubahan pendekatan pendidikan agama Islam di sekolah. Anak didik dari semula sudah harus diisi dengan esensi akidah dan syariah yang berhubungan dengan kemanusiaan dan kemajuan. Fiqih cara berwudhu dan shalat kita ajarkan tetapi lebih banyak waktu harus disisihkan untuk pendidikan akhlak dan dorongan berbuat untuk kebaikan bagi bersama.

Seorang peserta diskusi yang merupakan praktisi pendidikan memberikan contoh bahwa di sekolahnya sudah sejak lama dilaksanakan pendidikan akidah dan syariah berbasis akhlak dan amal saleh. Pelajaran sirah Rasul, fiqih, dan penafsiran Alquran pun diarahkan kesana. Paradigmanya, mendidik anak sejak awal tentang Islam sebagai agama yang rahmah dan penuh kasih sayang. Penekanan diberikan pada pelajaran ihsan dan Asma’ul Husna.

Bila di kalangan ulama saja perbedaan pendapat dibolehkan, maka anak sejak kecil pun perlu diajarkan berpikir kritis termasuk pada sisi-sisi agamanya yang menimbulkan persoalan. Harus dibiasakan bertanya dan berpendapat, bukan sekadar menerima satu arah sebagai Islam bawaan. Dengan demikian keyakinan anak sejak kecil akan lebih kuat dan tidak mudah tergoyahkan dan sekaligus merupakan keyakinan yang tidak membawa kerusakan.

Tidak mudah mengubah semua itu tetapi harus dipikirkan dan dilaksanakan sejak sekarang. Islam dengan nilai-nilai universalnya yang agung seharusnya menjadi pemimpin di dunia. Tidak seperti sekarang dimana kita melihat Islam berada di urutan terbawah hampir dalam segala bidang dan bahkan tertindas di berbagai kawasan.[]

PH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *