Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 20 September 2022

Kolom – Abdillah Toha: Hiburan Yang Menyentuh Hati


islamindonesia.id – Kolom Abdillah Toha: Hiburan Yang Menyentuh Hati

Tulisan ini bukan tentang musik. Meski berbicara tentang pertunjukan hiburan dan musik populer di internet. Penulis bukan ahlinya dalam bidang ini. Tulisan ini tentang kemanusiaan dan keadilan.

Episode bersambung yang diberi nama Got Talent (GT) dan tersebar di berbagai negeri tentang pencarian bakat penghibur, seringkali bukan hanya menghibur tapi juga membuat kita terharu sampai mengucurkan air mata. Kenapa?

Sebaliknya, dakwah, tausiyah, serta acara-acara keagamaan yang seharusnya menyentuh dan membuat kita menangis terharu, nyaris tak pernah terjadi. Apalagi menghibur. Sebaliknya kita dibuat takut dan kuatir tidak selamat dari api neraka atau tidak kebagian sorgaNya.

Begitu pula acara talk show politik, ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, dan lainnya, sering disajikan kering dan tidak seimbang serta menonjolkan pandangan pemilik program.

GT dirancang dengan apik, dengan juri yang professional serta penuh simpati kepada kontestan. Setiap kontestan diberi kesempatan yang sama untuk maju ke tahap berikutnya serta mengubah hidupnya menjadi artis yang sukses dan makmur.

Tidak jarang kita menyaksikan artis dengan latar belakang hidup yang susah dan tidak dikenal sama sekali sebelumnya, tiba-tiba melihat masa depan dirinya berubah total setelah berhasil menembus tahapan audisi yang tidak main-main. Air mata penonton dan juri ikut bercucuran gembira dan terharu mengikuti kucuran air mata kontestan yang tak tertahankan karena gembira.

Penilaian oleh juri sangat jujur dan obyektif tanpa melihat asal usul etnis, agama, warna kulit, usia, dan penampilan fisiknya. Bagi yang gagal maju ke tahap berikutnya, tidak dilecehkan tetapi disarankan untuk lebih banyak berlatih sebelum tampil kembali di salah satu panggung kontes seni terbesar di dunia.

Hidup memang penuh persaingan. Baik di negara demokrasi liberal maupun di negeri otokrasi. Di negeri liberal biasanya berujung dengan adanya kelompok yang disebut sebagai the privileged few (minoritas yang bernasib baik).

Kemampuan keuangannya telah membuka peluang buat anaknya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih berkualitas dan mahal, sehingga kedudukan sosial berpindah di lingkungan yang sempit itu saja.

Di negeri otokrasi, yang seharusnya lebih adil karena pemerintahnya ikut mengendalikan pasar, sering terjadi hal yang sama tetapi hanya berpindah kelompok saja. Dari kelompok penguasa lama ke kelompok penguasa baru. Mobilitas vertikal anak-anak miskin terhambat oleh keberpihakan politik.

Kompetisi tidak diharamkan bahkan baik sebagai cambuk untuk memacu prestasi warga negara dalam rangka mewujudkan kehidupan yang kreatif dan maju bagi semua. Tetapi kompetisi pun harus berkeadilan. Dan kunci dari keadilan itu sebenarnya adalah adanya peluang yang sama (equal opportunity) bagi setiap warga. Bukan membagikan kekayaan negara dalam jumlah yang sama bagi setiap warga.

Seperti dalam pertunjukan GT, setiap kontestan diberi peluang yang sama dan dinliai oleh hakim yang jujur, yang kepentingannya hanya satu, yakni mencari bakat-bakat yang tersembunyi di dalam masyarakat.

Tentu saja semua itu dilaksanakan dalam sebuah agenda bisnis hiburan yang menguntungkan penyelenggara, tetapi pada waktu yang sama menghibur dan menghasilkan manfaat sosial yang besar.

Keadilan dimulai dari bidang pendidikan karena hanya lewat pendidikan yang cukup, mobilitas vertikal bagi kaum marginal dapat diciptakan. Anak dari keluarga tukang becak atau pengais sampah jangan sampai harus meneruskan kerja orang tuanya, akan tetapi dapat menggapai karir baru yang lebih terpandang.

Pendidikan formil yang berkeadilan bukan sekadar mengajar anak murid untuk bersikap jujur dan adil. Tetapi dimulai juga dengan memberi peluang yang sama bagi semua warga atas dasar bakatnya. Bukan karena kemampuannya untuk membayar biaya sekolah.

Bea siswa harus disediakan bagi mereka yang berbakat tapi tak berkemampuan finansial. Lebih buruk lagi bila lembaga pendidikan dijadikan lahan korupsi untuk mendahulukan menerima mereka yang menyogok seperti yang terjadi belum lama ini di sebuah perguruan tinggi di Lampung.

Pendidikan yang sehat juga harus ditularkan dalam berbagai aspek kehidupan lainnya, khususnya dalam berbagai program televisi dan internet. Tontonan internet jangan sampai hanya dijadikan sebagai tempat mencari penonton sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan aspek moral dan pembangunan karakter bangsa. Bila perlu diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri.

Alhasil, kembali kepada pertunjukan hiburan di saluran GT, manusia pada umumnya sebenarnya menikmati menyaksikan kesuksesan orang yang diraih dalam persaingan yang berkeadilan. Inilah sifat fitrah manusia yang ada jauh di dalam lubuk hatinya dan yang sesekali tergugah antara lain oleh pertunjukan hiburan yang dirancang dengan cerdas dan manusiawi.

AL/Islam Indonesia/Featured Image: redbubble.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *