Satu Islam Untuk Semua

Monday, 06 November 2017

KOLOM – Abbas bin Ali bin Abi Thalib, Simbol Persaudaraan


islamindonesia.id – KOLOM – Abbas bin Ali bin Abi Thalib, Simbol Persaudaraan

 

*Fauziah Salim As Shabbah

 

Banyak sudah kisah yang diabadikan dalam sejarah Arab tentang cinta dan gairah seperti kisah Qais dan Laila,  Antar dan Abla, Cleopatra dan Mark Antony … dan lain-lain. Kami membaca semua kisah-kisah itu di sekolah dan berbagai media. Tapi agar tenggelam dalam gairah yang membawa makna paling indah dari persaudaraan sejati sepanjang sejarah, kita seharusnya belajar dan meniru kisah Sayyidina Abbas bin Ali bin Abi Thalib dengan saudara tirinya Sayyidina Hussein.

Setelah wafatnya Sayyidah Fatimah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata pada saudaranya Aqil: “Carikan aku wanita yang terlahir dari jawara Arab agar lahir darinya anak yang pemberani dan penolong bagi saudara-saudaraya.” Wanita itu adalah Sayyidah Ummul Banin Fatimah al Amiriyah, ibu Sayyidina Abbas. Selain dia sendiri berkhidmat untuk Hasan, Husain dan Zainab, wanita keturunan jawara Arab ini juga mewakafkan putranya, Abbas, untuk berkhidmat pada saudaranya Husain dan melindunginya sepanjang hayatnya hingga mereka berdua gugur sebagai syuhada bersama di padang Karbala tahun 61 Hijriah.

Sesungguhnya persaudaraan dan perangai Abbas yang mulia, yang mendorong Husain memilihnya membawa benderanya di Karbala. Husain pun merasa nyaman di sampingnya. Dan hubungan akrab tidak hanya terjalin dengan saudaranya Husain saja, Abbas juga menjadi pendukung, pelindung, dan penolong Hasan dan Zainab.

Apa yang membuat saya menyampaikan kisah sangat singkat tentang hubungan dua saudara tidak sekandung ini? Banyaknya kasus di pengadilan seputar perselisihan saudara disebabkan oleh harta, warisan, atau persoalan pribadi dan pecahnya keluarga. Persaudaraan yang saling bertengkar di antara mereka hingga ke titik perpecahan. Persaudaraan dimana mereka tidak memasuki rumah-rumah saudaranya yang lain. Persaudaraan yang ketika mereka saling bertemu di jalan tidak saling menyapa dengan salam. Persaudaraan yang tidak saling mengunjungi kecuali pada hari raya dan momen tertentu dan ketika salah satunya tertimpa musibah, mereka tidak saling menanyakan.

Seandainya setiap saudara berpedoman pada Al Abbas, belajar dari perjalanan hidupnya, tidak akan kita lihat putusnya tali silaturahmi yang merebak di masyarakat kita. Walau mereka hanya mengamalkan sebagian dan yang paling mudah dari akhlak Abbas, mak akan terwujud persaudaraan yang aman, bahagia, dan kokoh (stabil).

Dikatakan dalam sejarah, sesungguhnya Abbas memanggil Husain dengan “Wahai saudaraku” hanya sekali, yaitu ketika hari Asyura; saat dia jatuh dari kudanya ke tanah dengan kedua tangan yang terpotong. Ketika itu, dia mendambakan melihat manusia yang paling dekat dengannya sebelum dia meninggal dunia. Pada momen menyakitkan itu, Abbas memanggil Husain dengan ucapan “Hampiri aku wahai Saudaraku”. Dengan segera Husain menghampirinya, lalu membersihkan debu dan darah dari wajah dan mata Abbas. Pandangan Abbas pun tertuju pada saudaranya untuk yang terakhir kalinya sebelum dia menghembuskan nafas terakhir di pangkuan Husain. Dia pun meninggal dengan menggambarkan dan mengisahkan ketinggian makna persaudaraan, kesetiaan, dan cinta. Husain pun menangisinya dengan tangisan sekeras-kerasnya dan berkata dengan ucapannya yang tekenal itu, “Kini punggungku patah, dayaku semakin sedikit, dan musuhku semakin senang.”

Inilah persaudaraan hakiki yang patut dicontoh… dia berada di sisi saudaranya di setiap keadaan. Hingga dalam kondisi yang paling berat dan sulit sekali pun, Abbas tetap setia pada saudara. Maka, ketika Abbas mengalami derita dan musibah yang begitu besar, di hari terjadinya peristiwa Karbala, dia tidak kecewa, marah, gila atau mundur. Bahkan dia setia dan bisa dipercaya oleh saudaranya. Abbas bersamanya dan tidak berpisah hingga kedua tanganya terputus dan syahid di jalan perjuangan. Dia pun naik ke puncak kemuliaan dan keluhuran budi hingga kisahnya, seperti kisah teridah dua saudara, abadi sepanjang sejarah.

*Penulis adalah anggota keluarga Kerajaan Kuwait yang aktif menjadi pengacara dan kolomnis. Kolomnya tersebar di berbagai media Arab, termasuk Alarabiyah.net

YS/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *