Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 25 March 2014

Keadilan dalam Sejarah Islam


foto:lequotidien.sn

 

“Demi Allah, jikalau putriku Fatimah mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong kedua belah tangannya.” (Hadits Bukhari).

JAZIRAH Arab sebelum 571 M laksana hutan rimba. Keadilan merupakan barang asing bagi orang-orang Arab saat itu. Segala sesuatu ditentukan oleh kekuatan materi dan otot. Siapa yang kuat, berhak memangsa yang lemah.

”Etos kerja mereka adalah murua’ah (keberanian dalam berperang),kebrutalan menjadi-jadi.Hanya yang kuat yang dapat bertahan dan itu berarti yang lemah dienyahkan atau dieksploitasi secara memilukan,”tulis Karen Armstrong dalam Muhammad, A Biography of the Prophet. 

Situasi tersebut terus terjadi dan seolah menjadi kehendak Tuhan.Hingga pada suatu hari lahirlah seorang bayi Arab asal suku Quraisy yang diberi nama Muhammad, yang memiliki arti yang terpuji.Tuhan kemudian memberi jalan kepada orang Arab lewat wahyu yang disampaikan kepadanya.

Karut marut sosial dan centang perenang moral yang dimiliki masyarakat Arab secara perlahan dibenahi lewat jalan itu. Keadilan ditegakan, hukum kembali diberlakukan. Muhammad memberikan kesadaran kepada orang-orang bahwa hukum adalah aturan main dalam hidup. Dan seolah mengikuti keyakinan seorang Socrates, ia menjalankan hukum sesuai dengan apa yang ia ketahuinya. Maka bergeraklah hukum sebagai panglima:tidak pandang bulu dan wajib konsisten.

Begitu konsistennya, hingga Muhammad sendiri menjamin keabsahan aturan hukum tersebut dengan kata-katanya yang sangat terkenal: “Demi Allah, jikalau putriku Fatimah mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong kedua belah tangannya.”

Setiap perkataan dan perbuatan pasti akan diuji.Begitu juga dengan yang terjadi dengan Muhammad. Suatu hari, seseorang mengaku pernah mendapat pukulan tak sengaja dalam satu pertempuran dari Muhammad. Ia merasa tak terima dan menuntut Muhammad untuk merasakan apa yang ia rasakan kala terpukul oleh Muhammad.

Namun Muhammad sangat bersabar dengan ujian tersebut. Dengan tenang, ia lantas membuka pakaiannya dan memberikan perutnya untuk dipukul sang penuntut. Dan alih-alih memukul, si penuntut malah menghamburkan ciuman ke perut sang lelaki suci tersebut sambil berujar: “Ya, Allah aku tidak memiliki niat sedikit pun untuk memukul perut kekasihMu yang agung. Aku hanya ingin menciuminya saja. Tidak lebih.”

Syahdan, puluhan tahu setelah kejadian itu, di masa pemerintahan rasyidin ketiga, seorang Yahudi Mesir mengajukan gugatan kepada Khalifah Umar ibn Khattab di Medina. Pasalnya ia merasa keberatan dengan rencana pembangunan masjid di atas tanah miliknya oleh Amir ibn Ash, sang gubernur Mesir. 

Mendapat pengaduan tersebut, Khalif Umar lantas mengumpulkan segala bukti dan saksi. Keputusan terakhirnya: Amir ibn Ash telah berlaku tidak adil dengan mengambil secara paksa tanah milik Yahudi tua tersebut.Maka tanah itu harus dikembalikan kepada pemiliknya dengan disertai pembayaran ganti rugi imaterial sejumlah uang. Lagi-lagi hukum berlaku tanpa mengenal agama dan ras.

Sikap adil menjadi salah satu ciri yang memperkuat nilai-nilai moral spiritual sepanjang 30 tahun pemerintahan rasyidin. Itu dibuktikan dengan terselenggaranya praktek hukum secara konsisiten dan tanpa mengenal diskriminasi. 

Situasi tersebut menyebabkan terjadinya keseimbangan sosial yang maksimal. Tanpa rasa takut, setiap orang menuntut dengan bebas setiap ada haknya yang belum terpenuhi. “Secara hukum saat itu, situasi clean governance berjalan dengan prima,”ujar Mohamad Arkoun dalam sebuah artikelnya di Majalah Ulumul Qur’an

Ideal sebuah fungsi hukum tentu saja adalah menyeimbangkan antara hak dan kewajiban masyarakat. Karena itu, diperlukan orang-orang yang selain memahami bab-bab hukum juga yang terpenting adalah bisa melaksanakan tugas penyeimbangan sosial tersebut. Itu penting, karena jika hanya mengandalkan kepahaman belaka, tanpa idealisme maka yang terjadi adalah hukum hanya menjadi “prajurit” dan bisa diarahkan kemana saja. Akibatnya ketidakseimbangan sosial pun terjadi: praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dianggap tradisi. 

Supremasi hukum atau hukum sebagai panglima bukanlah sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh Indonesia. Sebagai bangsa yang mengaku beradab, sudah selaiknya kita menengok kembali esensi ajaran-ajaran agama besar tentang keadilan. Terlebih, Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas manusia Indonesia memiliki sikap yang jelas terhadap supremasi hukum. Lalu apa lagi yang harus ditunggu? Bukankah kita tidak ingin kembali jatuh ke era jazirah Arab sebelum 571 Masehi?

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *