Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 05 July 2022

Haidar Bagir: Perlu Hati Bersih dan Welas Asih dalam Jihad Akbar Memperjuangkan Nasib Orang Tertindas


islamindonesia.id –  Dalam Alquran Surah An-Nisa ayat 75 disebutkan, “Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang berdoa: ‘Ya Allah Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu’.”

Dari segi bahasa, term jihad dalam Alquran berasal dari kata jahd dan juhd. Kata jahd biasanya diterjemahkan dengan ‘sungguh-sungguh’ atau ‘kesungguhan’, ‘letih atau sukar’ dan ‘sekuat-kuatnya’.

Adapun kata juhd biasa diterjemahkan dengan ‘kemampuan’, ‘kesanggupan’, ‘daya upaya’, dan ‘kekuatan’.

Namun sayangnya, salah satu konsep ajaran Islam yang dianggap menumbuhsuburkan kekerasan dan penyimpangan adalah jihad.

Prof. Dr. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa banyak pakar yang menilai Islam sebagai misunderstood religion, agama yang disalahpahami. Kesalahpahaman bukan saja terjadi pada non-Muslim, melainkan juga kaum Muslim.

Persoalan yang disalahpahami pun beragam. Penyebabnya dapat bermacam-macam. Yang disepakati untuk segera diluruskan adalah seputar isu kekerasan dengan merujuk kepada ayat Alquran atau hadis yang memerintahkan berjihad dan berperang.

Persoalan ini tidak jarang mengantar musuh-musuh Islam menamai Islam sebagai agama yang merestui dan menyebarkan terror, terlebih ada sebagian umat Islam dengan sikap mereka yang melampaui batas dijadikan bukti pendukung penilaian yang tidak berdasar tersebut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jihad diartikan dalam tiga persepsi. Pertama, jihad adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan.  Kedua, jihad merupakan usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa dan raga. Dan ketiga, jihad mengandung arti perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. Sehingga berjihad bisa berarti ‘berperang di jalan Allah’.

Dari pengertian ini dipahami, bahwa jihad membutuhkan kekuatan baik tenaga, pikiran maupun harta. Pada sisi lain, dipahami bahwa jihad pada umumnya mengandung risiko kesulitan dan kelelahan di dalam pelaksanaannya.

Sementara itu, istilah ijtihad merupakan terminologi dalam ilmu fiqih yang berarti mencurahkan pikiran untuk menetapkan hukum agama tentang sesuatu kasus yang tidak terdapat hukumnya secara jelas dalam Alquran dan hadis. Sedangkan arti mujahadah merupakan istilah dalam ilmu tasawuf yang berarti perjuangan melawan hawa nafsu dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam terminologi Islam, kata jihad diartikan sebagai ‘perjuangan sungguh-sungguh mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan, khususnya dalam mempertahankan kebenaran, kebaikan dan keluhuran’.

Namun demikian, istilah jihad yang berarti ‘perjuangan’ tidak selalu atau tidak semuanya berjuang (apalagi berperang) di jalan Allah, karena banyak ayat pula yang berarti berjuang dan berusaha seoptimal mungkin untuk mencapai tujuan. Misalnya, Surah al-Ankabut ayat 8 dan Surah Luqman ayat 15, yang masing-masing berbicara tentang konteks hubungan antara anak yang beriman dan orang tuanya yang kafir, dalam hal ini juga menggunakan term jihad.

Jihad yang mengandung pengertian berjuang di jalan Allah, ditemukan pada 33 ayat: 13 kali di dalam bentuk fi’il madi (kata kerja bentuk lampau), lima kali di dalam bentuk fi’il mudari’ (kata kerja bentuk bentuk sekarang atau yang akan datang), tujuh kali dalam bentuk fi’il amr (kata kerja perintah), empat kali dalam bentuk masdar, dan isim fa’il (kata benda yang menunjukkan pelaku).

Banyaknya bentuk ini mengindikasikan bahwa begitu luasnya dan beraneka ragamnya makna jihad, yakni perjuangan secara total yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Termasuk juga di dalamnya perang fisik atau mengangkat senjata terhadap para pembangkang atau terhadap musuh.

Dengan demikian, tidak tepatlah kiranya hanya memaknai jihad sebagai jihad yang mengandung pengertian berjuang di jalan Allah atau dalam bahasa lain tidak selalu jihad berkonotasi perang fisik. Apalagi seperti yang telah sedikit diulas di atas, kalau membincangkan ayat jihad tidak serta merta hanya turun pascahijrahnya Nabi s.a.w, akan tetapi ayat-ayat yang berbicara tentang jihad juga ternyata turun di Makkah.

Sehingga, kalau melihat sejarah ayat-ayat yang turun di Makkah masih berbicara seputar penanaman akidah dan keimanan. Misalnya, pada Surah al-Ankabut ayat 6 dan 69. Patron kata yang digunakan ayat ini menggambarkan adanya upaya sungguh-sungguh, atau tepatnya jihad di sini bermakna mujahadah. Jihad yang dimaksudkan adalah mencurahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk mencapai ridha Allah SWT. Karena itu, orang yang berjihad di jalan Allah tidak mengenal putus asa.

Dengan demikian, jihad yang dimaksud di sini, bukan dalam arti mengangkat senjata, karena berperang dan mengangkat senjata baru diizinkan setelah Nabi berada di Madinah, sedangkan ayat ini bahkan Surah ini turun sebelum Nabi berhijrah.

Dalam ayat lain, Surah al-Furqan ayat 52, yang juga merupakan ayat Makkiyah, Allah memerintahkan Rasul, agar berjihad dengan Alquran. Dalam konteks ini, berjihad dengan Alquran jauh lebih penting untuk dipersiapkan dan dilaksanakan dari pada berjihad dengan senjata. Tetapi berjihad dengan Alquran, hanya dapat dilakukan oleh orang yang beriman kepada Alquran sekaligus memahaminya dengan baik.

Selain itu, ayat ini ingin menunjukkan bahwa jihad tidak selalu berkaitan dengan mengangkat senjata.

Uraian di atas sangat jelas, stigma teror yang mengatas namakan agama itu jelas keliru. Karena makna jihad bukan hanya bermakna perang, tetapi sangat luas.

Lalu bagaimana halnya dengan jihad dalam memperjuangkan nasib orang atau kaum yang tertindas (mustadhafin)?

Cendekiawan Muslim Indonesia, Haidar Bagir*, dalam rangkaian twit singkatnya lewat akun @Haidar_Bagir, belum lama ini menyatakan bahwa jihad (akbar), memperjuangkan nasib orang tertindas, tentu adalah tindakan mulia. Tapi, jihad akbar harus didahului dengan jihad asghar, jihad melawan hawa nafsu (egoisme). Kalau tidak, orang bisa merasa menjadi mujahid -tapi sebetulnya sedang mengumbar egoismenya- bahkan bisa malah merusak.

Menurut Haidar, pelaku jihad tidak selayaknya merasa diri suci, lalu sombong, merendahkan orang, menebarkan kebencian, dsb. Apalagi, jihad pasti melibatkan dorongan kuat perasaan -untuk tak menyebutnya emosi. Maka, tanpa kebersihan hati dan rasa welas asih (rahmah), selalu ada risiko besar ketergelinciran yang bisa destruktif.

Allah SWT telah menengarai jenis orang-orang seperti ini dalam firman-Nya: “Dan bila dikatakan kepada mereka, ‘Jangan kalian membuat kerusakan di bumi:’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan’.” (QS. Al-Baqarah:11)

Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari keburukan ini.

*Haidar Bagir adalah Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *