Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 09 September 2017

ESAI – Siklon dan Anti-Siklon di Yogya (Keris Kok Bawahan Pedang)


islamindonesia.id – ESAI – Siklon dan Anti-Siklon di Yogya (Keris Kok Bawahan Pedang)

 

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Makin banyak orang bertanya kepada saya: kok kayaknya ada sesuatu di Yogya? Bagaimana saya menjawabnya? Apakah saya punya hak atau kewajiban untuk menjawabnya? Apakah saya punya pengetahuan untuk menjawabnya? Andaikan saya sedikit tahu tentang itu, lantas menjawabnya: jangan-jangan itu bukan pengetahuan saya, melainkan pendapat saya.

Dan kalau itu pendapat saya, jangan-jangan itu ternyata adalah bias dari posisi saya, dari selera saya, atau malah dari kepentingan saya. Kemudian kalau ternyata itu bias, bagaimana kalau kemelencengan atau pembiasan itu berasal dari ketidaklengkapan informasi yang saya peroleh dari luar. Atau malah merupakan produk dari prasangka dari dalam diri sendiri. Lebih parah lagi kalau prasangka itu ternyata hasil dari takhayul atau pengkhayalan subjektif dalam diri saya.

Kalau dari obrolan di angkringan, diskusi di forum, atau di koran dan media lain di Yogya saya mendengar kata mangku, paugeran, buwono, sabda, diskriminasi, wangsit, raja, bumi, perempuan, bawono, wahyu, konstitusi, laki-laki, sultanah, kaum, keraton, mahkamah, bebener, putusan, pranatan, pepener, kaisar, dalem, merah, kokoh, hukum – lantas dalam pikiran saya muncul refleksi, analisis atau pandangan: apakah saya bisa menjamin bahwa refleksi saya itu tidak bias? Yang siapa tahu merupakan keluaran dari komplikasi panjang pengetahuan sejarah subjektif saya?

Lebih parah lagi: bagaimana kalau ekspresi dan sosialisasi kata mangku, paugeran, buwono, sabda, diskriminasi, wangsit, raja dan semua itu ternyata juga bias? Bagaimana kalau berbagai kata itu diungkapkan oleh berbagai pihak Keraton Yogya, Mahkamah Konstitusi, wartawan, para ahli dan siapapun – ternyata juga bias? Bias pemahaman? Bias pengetahuan? Bias ilmu? Bias interpretasi? Bias pola pandang? Bias resolusi pandang? Bias kepentingan pandang?

Bagaimana kalau orang mengungkapkan, kemudian orang lain menerima atau menolak, dan akhirnya orang-orang lainnya lagi memperdebatkan – misalnya – kata buwono dan bawono, sabda dan wahyu, wangsit dan hidayah dan berbagai kata lagi: ternyata adalah festival bias? Parade takhayul? Pesta kegagalpahaman? Kenduri ketidakmengertian? Tumpengan ketidaklengkapan? Bahkan turnamen ketidakterdidikan? Lalu berikutnya, tatkala saya mencoba menjelaskan bahwa itu semua ternyata bias dan takhayul subjektif masing-masing pihak: ternyata penjelasan saya itu juga adalah bias, kegagalpahaman, ketidakterdidikan?

Siapa yang menentukan sesuatu itu bias atau tidak? Siapa “pancer” yang bisa menjadi rujukan untuk memfatwai kata ini itu takhayul atau bukan? Siapa yang memegang pendapat final dan pasti benar bahwa suatu ungkapan itu ngawur atau tidak? Sebagaimana keributan soal hoax, siapa yang bisa dipercaya secara keilmuan, secara kejujuran dan secara kemurnian – bahwa kabar itu hoax atau bukan hoax? Bagaimana kalau pengumuman tentang hoax ternyata adalah juga hoax?

Pada akhirnya yang berlangsung dan menjadi fakta sejarah adalah kekuatan dan kekuasaan. Yang menjadi realitas adalah penguasa. Pemerintah yang mengambil keputusan final bahwa ini hoax dan itu bukan hoax. Dan pada kondisi kepemerintahan tertentu, ketetapannya tentang hoax sangat mungkin justru merupakan yang paling hoax dari segala hoax. Masyarakat berada di tempat yang sangat jauh dari kebenaran yang jernih, pengetahuan yang jujur, serta perlakuan yang bijaksana. Sebab yang menimpa, mengepung dan menindih masyarakat terutama adalah kekuasaan.

Jadi, ketika orang bertanya ada apa sebenarnya di Yogya, jawaban maksimal saya adalah: Sedang ada lesus. Angin siklon dan Antisiklon. Semacam puting beliung. Menerbangkan dan memutar-mutar ratusan kata sehingga tak menentu arahnya. Kata-kata bertaburan tanpa kejelasan patrap kawruh-nya, hampir tak bisa ditemukan maqam maknawi, susah diidentifikasi bebener pepener-nya, ketlingsut konteksnya, kabur titik-titik koordinatnya, serta bagai hampa ruang dan waktunya.

Ada sabda, ada buwono dan bawono, ada wangsit, dan banyak lagi kata yang bercampur kabut di alam pikiran dan semesta batin Yogya. Kata dan kata diucapkan, ditulis sebagai surat keputusan, tanpa dunung, tanpa sangkan paran, tanpa sanad, tanpa matan, tanpa asbabul-kalam, tanpa hulu. Seribu sungai mengalir tidak ketahuan di mana mata airnya, dan tidak ada yang mencari akan sampai di mana sungai itu bermuara. Hujan turun diawali gerimis tanpa diketahui titik-titik air itu tumpah dari angkasa mana dan dari ketinggian berapa.

Kemudian gerimis semakin rapat titik-titik airnya, tanpa ada yang mengkonfirmasikan apakah itu limpahan dari langit, ataukah sesungguhnya gerimis dari angkasa hati di dalam diri manusia-manusia yang ditimpa gerimis. Waktu akan menyeretnya menuju peningkatan gerimis menjadi hujan, lantas hujan menjadi hujan deras. Dan ketika itu terjadi nanti, Keraton dan rakyat Yogya akan hanya menjadi orang-orang yang basah kuyup oleh hujan. Basah kuyup karena tak menyiapkan payung. Juga tidak mengembangkan pengetahuan dan penguasaan atas asal-usul dan konstelasi hujan.

Tak sampai sebulan sesudah proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pada 5 September 1945, Sultan HB IX dan Adipati Pakualam VIII mengeluarkan pernyataan: “Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan: Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.”

Hujan angin semakin intensif meliputi Yogya, dengan putaran-putaran siklon dan anti-siklon yang terus meningkat dari hari ke hari, dan “kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat” – menjadi batal ketetapan sejarahnya dan hapus substansi konstitusionalnya: karena “keris” 5 September 1945 itu menggeser posisinya di bawah kuasa “pedang” Mahkamah Konstitusi NKRI.

Daerah Istimewa Yogya dengan “pancer” Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merendahkan dirinya atau menurunkan derajat sejarahnya menjadi semacam Kadipaten, yang merupakan bawahan dari “Kerajaan Republik Indonesia”, sehingga tidak lagi “memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya”.

Surabaya, 9 September 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *