Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 17 December 2015

Empat Sembah ala Wedhatama


Oleh Parni Hadi

Ini mungkin yang disebut Islam Kejawen, yakni Islam yang dipengaruhi atau bercampur dengan tradisi dan kebudayaan Jawa. Mungkin juga, ini salah satu bukti sebuah Islam organis. Islam yang terus hidup, tumbuh di kalangan masyarakat Jawa.

Shalat itu tiang agama Islam dan kunci penting bagi semua kebaikan, sabda Muhammad Rasulullah Saw seperti diriwayatkan Thabrani (HR Thabrani). Seturut itu, banyak kyai mengatakan, shalat adalah amalan manusia yang dihisab pertama di alam akhir.

Shalat, sering dibaca sholat atau “salat” dalam bahasa Jawa atau sembahyang. Ada yang bilang, sembahyang berbau ajaran pra-Islam, khususnya agama Hindu. Alasannya, sembahyang adalah singkatan menyembah Hyang, yang merupakan sebutan para dewa Hindu.

Orang Jawa tradisional, biasa menyebut Allah dengan Gusti Allah, Pangeran, Gusti Kang Maha Kuwasa, Maha Welas Asih, Hyang Suksma dan Hyang Widhi. Dalam agama Hindu, Tuhan dipanggil Hyang Widhiwasa.

Karena nama-nama itu buatan manusia, sesuai bahasa dan lingkungan sosial-budaya masing-masing, ada anggapan bahwa penyebutan yang berbeda-beda itu tidak menjadi masalah. Jadi, istilah sembahyang bisa diterima. Tujuannya sama, kilah orang Jawa, yang oleh Clifford Geertz dikategorikan sebagai Muslim minimal atau Abangan.

Banyak orang Jawa yang tertarik masuk Islam, karena adanya kepercayaan kepada yang gaib. (QS 2:3). Tradisi dan kepercayaan pra-Islam banyak berurusan dengan yang gaib, seperti kesaktian, azimat, kemampuan meramal, tenung, ilmu pelet dan kemampuan melihat makhluk halus.

Dalam rangka lebih mendekatkan diri secara bathin dengan Allah, banyak penganut Islam di Jawa yang mengamalkan “empat sembah” yang disebut Serat Wedhatama, karya Mangkunegara IV. Empat sembah itu adalah sembah raga, sembah cipta/kalbu, sembah jiwa/suksma dan sembah rasa. Ada anggapan bahwa ke empat sembah mengadopsi empat urutan dalam belajar tasawuf, yakni Syariat, tarekat (thariqat), makrifat dan hakekat (ada yang menyebut hakekat dulu, baru makrifat).

Syariat, dulu sering diucapkan Sarengat, artinya aturan agama tentang perintah dan larangan yang harus dipatuhi. Dasarnya adalah percaya kepada Tuhan, tanpa tanya ini-itu. Tarekat (thariqat), artinya jalan atau petunjuk yang memberi pengertian kepada akal-pikiran, sehingga kepercayaannya kepada Tuhan kuat, tidak ikut-ikutan. Dalam Islam ada dalil naqli, yakni Alquran dan Hadits, dan aqli atau akal-pikiran.

Hakikat (haqiqat), orang Jawa menyebutnya “kakekat”, artinya “weruh kang sejati” (tahu yang sejati). Makrifat artinya kemampuan untuk melihat yang gaib sebagai tataran tertinggi dalam tasawuf. Karena itu, banyak orang ingin “ujug-ujug” , langsung segera menempuh jalan Makrifat, tanpa menjalankan Syariat dulu.

Padahal, Wedhatama sebagai buku “piwulang” (ajaran) untuk mencapai “ngelmu kasampurnan” (ilmu kesempurnaan) menganjurkan ke empat sembah harus dijalankan siang malam.

Sembah raga disamakan dengan sholat lima waktu sesuai dengan syariat Islam. Ini bagi pemula untuk mencapai ilmu yang lebih tinggi bagi. Pokok tujuannya adalah memaksa atau melatih membiasakan diri untuk “berdiam hening”. Tata lakunya serba tertib, teratur dan tekun.

Untuk melaksanakan sembah raga, orang harus “bersuci” dengan air (wudhu). Hasil sembah raga adalah membuat badan sehat wal’afiat dan memberi sikap tenang. Orang yang berbadan sehat dan tidak berpenyakitan, sehat juga pikirannya, hingga inderanya menjadi tenang dan siap untuk melakukan sembah kedua, yaitu sembah kalbu/cipta.

Sejumlah kyai menyarankan muridnya untuk belajar tasawuf mulai dengan sholat Syariat: “Contohlah Nabi Muhammad, tak pernah tinggalkan sholat”. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *