Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 21 February 2015

Bisakah Jakarta Bertahan di Tengah Kerasnya Tekanan Pembatalan Eksekusi Mati Warga Asing?


Terpidana mati Andrew Chan and Myuran Sukumaran.

Setelah menetapkan hukuman mati atas sejumlah terpidana kasus narkotika warga negara asing, tekanan terhadap Jakarta datang bertubi-tubi. Di antaranya dari Brasil dan, lebih menohok, Australia.

Menurut sejumlah media, Presiden Brasil Dilma Rousseff menolak surat kepercayaan Duta Besar Indonesia atau yang dikenal dengan credential.

“Kami pikir hal yang penting adalah terjadi perubahan keadaan sehingga kita jelas terkait hubungan Indonesia dengan Brasil,” kata Rousseff kepada para wartawan setelah upacara resmi pemerintah di Brasilia. “Yang kami lakukan adalah sedikit memperlambat penerimaan surat kepercayaan, tidak lebih dari itu,” ujarnya.

Duta Besar Indonesia untuk Brasil, Toto Riyanto, hadir di Istana Presiden Brasil di acara pada hari Jumat (20/2/2015) bersama-sama dengan diplomat yang baru ditunjuk dari Venezuela, El Salvador, Panama, Senegal, dan Yunani, tetapi tidak ikut serta dalam upacara.

Penolakan tersebut berarti Dubes Toto Riyanto tidak akan mewakili Indonesia dalam acara resmi di Brasil. Padahal, Toto hadir secara fisik di Istana Presiden di Brasil dengan harapan menerima surat kepercayaan.

Tindakan Brasil ini kemudian dipandang mengirimkan pesan diplomatik yang tegas.

Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Armanatha Nasir mengatakan belum dapat bicara sekarang.

Sebagai informasi, warga Brasil, Marco Archer, dihukum mati pada tanggal 17 Januari setelah dinyatakan bersalah melakukan perdagangan narkoba.

Duta Besar Brasil di Indonesia kemudian ditarik Presiden Rousseff sebagai protes kematiannya. Warga Brasil lainnya, Rodrigo Gularte, dijadwalkan dieksekusi di Indonesia atas dasar pelanggaran hukum yang sama.

Tekanan dari Selatan

Tekanan yang tak kalah keras datang dari Australia. Perdana Menteri Australia Tony Abbott, Rabu (18/2/2015), mendesak Indonesia untuk mengingat ‘kontribusi besar’ Canberra dalam bantuan tsunami tahun 2004
dan ‘membayar kemurahan hati itu’ dengan membatalkan eksekusi dua warganya yang divonis mati dalam kasus perdagangan narkotika di Bali.

Indonesia telah menegaskan bahwa Andrew Chan (31 tahun) dan Myuran Sukumaran (33 tahun), pemimpin kelompok perdagangan narkoba yang disebut Bali Nine, termasuk di antara kelompok narapidana berikutnya yang  akan menghadapi regu tembak. Namun, pihak Indonesia masih tutup mulut tentang kapan eksekusi akan berlangsung dan narapidana asing mana saja yang akan bergabung dengan dua warga Australia itu.

Abbott mengatakan, dalam meningkatkan tekanan terhadap Jakarta, ia terus berusaha “menjadi suara pribadi yang terkuat” kepada Presiden Indonesia Joko Widodo dan memperingatkan bahwa dirinya akan merasa “sangat sedih” jika permintaannya untuk membatalkan eksekusi itu diabaikan.

“Australia telah mengirim bantuan miliaran dollar,” katanya, merujuk pada bencana tsunami yang menewaskan 220.000 orang di 14 negara. Dari jumlah itu, hampir 170.000 orang berasal dari Indonesia.

“Kami mengirim sebuah kontingen besar angkatan bersenjata kami untuk membantu Indonesia dengan bantuan kemanusiaan… Saya ingin mengatakan kepada rakyat Indonesia dan Pemerintah Indonesia, kami di Australia selalu ada untuk membantu kalian dan kami berharap bahwa kalian mungkin bisa membalas dengan cara ini pada saat ini.”

“Kami akan membuat ketidaksenangan kami diketahui. Kami akan membuat rakyat Indonesia tahu bahwa kami merasa sangat kecewa,” kata Abbott ketika ditanya apa yang akan terjadi jika eksekusi tetap berlangsung.

“Saya tidak ingin memberikan penilaian yang buruk terhadap hubungan terbaik dengan seorang teman dan tetangga yang sangat penting. Namun, saya harus mengatakan, kami tidak bisa mengabaikan hal seperti ini begitu saja jika usaha yang kami lakukan diabaikan oleh Indonesia.”

Pada Selasa, Chan dan Sukumaran diberi secercah harapan ketika perpindahan mereka ke Nusakambangan ditunda. Kejaksaan Agung mengatakan, eksekusi terhadap mereka tidak akan terjadi pada minggu ini. Kantor berita AFP melaporkan, penundaan itu untuk merespons Canberra yang mendesak tersedianya lebih banyak waktu bagi keluarga untuk bersama orang-orang terkasih mereka dan terkait kapasitas di Nusakambangan.

Meskipun demikian, pemerintah menegaskan eksekusi terhadap warga Australia itu, yang divonis mati bersama warga Perancis, Ghana, Brasil, dan Nigeria, akan tetap dilakukan setelah permohonan grasi mereka ditolak Presiden.

Di tengah derasnya tekanan dan protes yang terjadi, Presiden Jokowi harus mampu memegang keputusan hukum yang telah dibuat. Rakyat Indonesia memerlukan kepastian hukum terkait perdagangan narkoba yang terus meningkat di negeri ini. Jika Jakarta lemah menghadapi berbagai tekanan itu, jaringan mafia narkoba internasional kemungkinan besar  tidak akan jera—bahkan mungkin akan meningkat tajam di masa datang.

(MK/Islam Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *